🌺🌺🌺🌺🌺
“Entah, kenapa wanita yang sekarang berada di hadapanku menjadi sosok asing, tak seperti ibu yang semasa kecil amat menyayangiku. Ataukah ini semua adalah kasihnya yang berbeda?”
-Fatim-
🌺🌺🌺🌺🌺
Aku kembali memesan ojek online dan pulang ke rumah, setelah memperoleh ketenangan.
“Sampai jumpa danau, suatu saat aku akan kembali lagi,” lirihku mengucapkan salam perpisahan, seolah Sucipto ada di sana.
***
Bapak dan ibu duduk di teras. Aku tak terlalu percaya diri dengan merasa aku sedang ditunggu.
Setelah mengucapkan salam, tak luput diri ini mencium punggung tangan kedua orang yang kucinta.
Bapak terbatuk-batuk. Entah disengaja atau tidak. Ibu panik, masuk ke dalam rumah. Lalu secepat kilat keluar dengan membawa segelas air minum dan minyak kayu putih. Aku memijat tengkuk lelaki yang rambutnya mulai memutih ini.“Fatim, kamu ke mana aja? Ibu dan bapak telpon berkali-kali, tapi enggak diangkat.”
Spontan aku mengatupkan mulut, ada belasan panggilan tak terjawab dari bapak dan juga ibu. Pengelihatan ini sedikit buram karena banyak menangis. Aku membuka ponsel pun hanya untuk memesan ojek online. Tak sadar jika ada panggilan masuk.
“Maaf, Pak … maaf, Bu. Nada deringnya Fatim matiin, jadi enggak kedengeran kalo ada telepon masuk,” jawabku parau, tertunduk merasa bersalah.
“Sudah … sudah, Bu. Lagipula sudah terjadi, mau diapakan lagi?”
Aku masih terdiam tak mengerti arah pembicaraan mereka berdua.
“Tadi calon besan dateng ke sini, lamarannya dipercepat, dimajukan Fatim ….” Ibu bersungut-sungut. Entah, kenapa wanita yang sekarang berada di hadapanku menjadi sosok asing, tak seperti ibu yang semasa kecil amat menyayangiku. Ataukah ini semua adalah kasihnya yang berbeda?“Kamu sekarang sudah resmi menjadi tunangan Garang Wibawa.” Ibu melanjutkan penjelasannya.
“Garang?”
Aku menangkupkan wajah. Baru saja menyendiri mencari ketenangan. Kini hadir lagi goncangan.“Fatim … lanjutkanlah pendidikanmu, bapak ridho jika kamu tetap ingin lanjut sekolah, tapi cari yang di dalamnya ada banyak terkandung pelajaran agama,” sahut bapak dengan terbatuk-batuk.
“Bapak, ingin ada anak sholehah yang senantiasa mendo’akan ketika nanti telah tiada,” imbuhnya.
“Bapak!” aku dan ibu berteriak bersamaan.
“Sekarang pun Fatim rajin mendo’akan ibu dan bapak, kenapa harus menunggu ketika raga tak lagi bersatu dengan nyawa?” Ah, aku tak sampai hati mengucapkan kata ‘meninggal dunia’.
“Bapak hanya ingin kamu memiliki ilmu agama yang mumpuni, supaya nanti ketika punya anak bisa mengajari mereka. Tidak seperti bapak dan ibumu ini yang masih dangkal dalam pemahaman agama islam.”
Batuk bapak mulai mereda. Ibu memijit punggung lelaki yang puluhan tahun hidup bersamanya.
“Kalau kamu enggak mau, ya sudah … nikah saja dengan Garang. Jadi istri yang berbakti, itu sudah cukup membahagiakan ibu dan bapak,” pungkas ibu.
Aku kembali bisa menarik bibirku hingga membentuk sebuah senyuman. Setidaknya ada secercah harapan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGIL AKU FATIM
Roman pour AdolescentsFatim panggilannya. Perempuan minimalis ini tak suka dengan nama lengkapnya. Siti Fatimah. Kampungan! Namun, setelah mendengar sejarah tentang Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah. Perasaan itu berubah 180°. Kehidupan Fatim penuh dengan perjuangan. Se...