🌺🌺🌺🌺🌺
"Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan."
-Fatim-
🌺🌺🌺🌺🌺
Berbulan-bulan dilalui hanya di dalam rumah. Pendaftaran sekolah pun dari dalam rumah. Padahal calon tempat aku menimba ilmu itu, hanya beberapa langkah dari rumah.
Sementara itu, bapak dan ibu masih tetap berjualan di pasar. Semoga keduanya senantiasa diberi Kesehatan. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Berdo’a.
Do’a juga senantiasa aku panjatkan untuk sahabat tersayang. Almarhum Sucipto. Meskipun ilmu agama yang aku miliki hanya secuil, tapi semoga saja do’a-do’aku dikabulkan.
Aku selalu menyempatkan diri untuk berdo’a. Mengadukan keluh kesah dan keinginan kepada Sang Maha Kuasa.
Seperti saat ini. Mukena masih menghiasi tubuhku. Sholat dzuhur usai ditunaikan, kini tangan mengadah memohon belas kasih-Nya.
“Ya Allah, tolong angkat virus korona supaya tak lagi mengancam jiwa … atas kuasa-Mu jadikanlah virus ini punah hilang seketika.”
***
Bulan suci Ramadan berlalu, tapi virus korona tak jua berlalu. Akankah masa putih biru aku lalui hanya di dalam rumah?
Betapa kasihan teman-teman yang tak punya sarana dan prasarana. Bagaimana bisa mereka mengikuti sekolah yang mengandalakn sistem daring?
Ah, jangankan punya ponsel dan beli kuota, bisa makan tiap hari saja sudah menjadi suatu hal yang mewah.
“Fatim dimana kamu, Sayang?”
Teriakan ibu membuyarkan lamunan yang bersarang. Aku berlari ke asal suara. Ibu berada di ruang tamu.
“Ada apa, Bu? Fatim dari tadi di kamar.”
Ibu memintaku duduk di sisinya. Ada tumpukan peralatan sekolah dan seragam di atas meja.
“Sekarang kamu pakai seragam putih biru dulu, ya. Setelah lulus SMP, kamu pakai kebaya putih untuk akad nikah.”
Aku mengerenyitkan dahi. Mata menyipit. Mulut menganga. Tak percaya apa yang barusan dikatakan ibu.
Aku baru lulus sekolah dasar. Belum sempat mengenakan seragam biru dongker, apalagi putih abu-abu. Namun, ibu? Mengapa sedini ini menginginkan aku memakai kebaya? Rencana pernikahan macam apa ini?
“Ibu, Fatim ini masih kecil, masak iya lulus mau langsung nikah? Siapa juga yang mau. Hahaha ….”
Aku tertawa. Berharap apa yang dikatakan ibu hanya gurauan.
“Ibu dan bapak sudah menemukan orang yang cocok untukmu, Nak … lagipula kamu kenal, kok sama calon suamimu itu.”
“Si-siapa, Bu?”
“Rahasia. Kamu sekarang fokus sekolah dulu, ya, Sayang … nanti kalau sudah lulus, ibu akan kasih tahu orangnya siapa.”
“Terus, kenapa ibu ngasih tahu sekarang? ‘Kan Fatim jadi kepikiran, Bu.” Mulutku mengerucut. Bola mata berputar. Tak tahu lagi harus berkata apa.
Ibu membelai lembut rambut panjangku. Selama berada di rumah, aku memang jarang mengenakan jilbab.
“Sayang, ibu mengatakannya sekarang, supaya kamu enggak kaget kalau nanti lulus SMP langsung dilamar. Ibu juga enggak mau kamu pacaran. Nah, kalau dari sekarang Fatim tahu sudah punya calon suami, anak ibu ini enggak akan aneh-aneh ‘kan?”
“Aneh-aneh apa, sih, Bu? Fatim enggak paham.” Aku menghela napas panjang.
“Ya, gitu … zaman sekarang udah beda, Nak. Enggak kayak zaman pas ibu dan bapakmu masih remaja. Dulu itu kalo suka sama lawan jenis paling cuma kirim surat aja. Nah, sekarang, anak-anak sekolah dasar udah berani ciuman, pelukan. Miris.”
Aku terdiam. Memang benar apa yang dikatakan ibu. Pergaulan anak-anak zaman sekarang terlampau bebas. Teman-temanku memang tak ada yang seperti itu, tapi mereka hampir meniru adegan tak senonoh. Berbekal video yang beredar di ponsel.
Saat itu aku memang belum punya ponsel, tapi teman-teman ramai membicarakan video yang berdurasi sekitar 22 detik itu. Diperankan oleh dua orang siswa-siswi SD. Syukurlah Bu Romlah memberikan kami edukasi, bahwa hal semacam itu tak pantas dilakukan.
Bu Romlah … Fatim rindu ….
Lanjut, ya … di video yang viral itu. Ada seorang siswi yang menggunakan jilbab merah sedang asyik bermain ponsel. Tak lama kemudian, seorang siswa SD langsung melakukan perbuatan seksual—berciuman, sembari merekam aksi tersebut dengan telepon genggamnya.
Video tersebut kuat dugaan direkam di rumah cowoknya. Karena ayah siswa tersebut bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan ibunya sedang bekerja di sawah.
Aku pernah satu kali main ke rumah almarhum Sucipto, ayahnya meninggal, ibunya kerja jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), kakek dan neneknya di sawah. Hanya ada Ajeng, adik Sucipto di rumah. Kami akhirnya bermain di sawah. Ah, Kenapa mereka sudah dewasa sebelum waktunya?
“Bu … ‘kan sekarang zamannya udah beda, nih, sama zaman ibu nikah. Kalau sekarang itu, udah enggak ada lagi perjodohan macam Siti Nur-“
“Siti Nurbaya? Tahu dari mana kamu cerita itu? Hihihi.” Ibu terkikik. Entah apa yang lucu.
“Siti Nurbaya itu Cuma novel. Kisah fiksi, buatan Marah Rusli. Itu cerita cinta remaja antara Samsulbahri dan Siti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan. Fatim tahu ‘kan Batavia?” Ibu lanjut bercerita dan bertanya setelah tadi terikik, mentertawakanku.
“Iya tahu, Bu … Batavia itu sekarang Jakarta, dulu juga pernah dinamain Sunda Kelapa,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Pinternya anak ibu.”
Ibu mengecup keningku, kemudian kembali bercerita.
“Belum lama kemudian, Siti Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih, laki-laki itu kaya, tetapi kasar. Pengorbanan yang dilakukan Siti Nurbaya itu sebagai cara supaya ayahnya hidup bebas dari utang. Lalu selanjutnya Siti Nurbaya kemudian dibunuh oleh Datuk Meringgih. Nah, pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota tentara kolonial Belanda, membunuh Meringgih dalam suatu revolusi.”
Aku manggut-manggut mendengarkan cerita ibu. Selama ini yang aku tahu, kalau ada perjodohan orang-orang selalu bilang dia bukan Siti Nurbaya, tapi ternyata itu keliru. Bukan perjodohan tapi penebusan utang.
Ternyata penulis Indonesia tak kalah hebat dengan yang berada di luar negeri. Kisah Romeo dan Juliet pun sepertinya bisa tersaingi oleh kisah Siti Nurbaya.
“Kamu, dijodohkan bukan karena ibu dan bapak terlilit utang, tapi karena kami mau hidupmu cukup di rumah saja. Kasur. Dapur. Sumur.” Ibu kembali mengeluarkan suara, setelah aku lama terdiam membisu.
“Kasur dapur sumur? Apa maksudnya, Bu?” aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Bingung. Tak paham dengan yang dikatakan ibu.
“Em-m … nanti kamu minta tolong bapak buat jelasin arti kasur, dapur, sumur, ya. Ibu mau bikin kue untuk jualan.”
Ibu berlalu meninggalkanku sendiri. Rasa penasaran masih bersarang. Sementara bapak belum juga pulang.
Aku paling anti jika harus seperti ini. Tak menemukan jawaban dari pertanyaan. Ah, ibu … aku harus bertanya kepada siapa? Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Haruskah aku menunggu kedatangan bapak dan menanyakan arti dari dapur, sumur, kasur kepadanya?
Aku menyusul ibu yang berada di dapur. “Ibu … kemana bapak?”
“Bapak masih di pasar, Sayang … tunggu sebentar, ya.”
🌺🌺🌺🌺
“Ada yang tahu jawaban dari pertanyaan Fatim?”
🌺🌺🌺🌺
![](https://img.wattpad.com/cover/222227389-288-k736121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGIL AKU FATIM
Teen FictionFatim panggilannya. Perempuan minimalis ini tak suka dengan nama lengkapnya. Siti Fatimah. Kampungan! Namun, setelah mendengar sejarah tentang Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah. Perasaan itu berubah 180°. Kehidupan Fatim penuh dengan perjuangan. Se...