🌺🌺🌺🌺🌺
“Derita yang aku rasa, bisa jadi merupakan sumber kebahagian orang lain. Semua itu dirasa karena kita memiliki sudut pandang yang berbeda.”
-Fatim-
🌺🌺🌺🌺🌺
Gamis merah muda dan jilbab hitam adalah kostum andalanku. Tas gambol kecil berwarna hitam ini juga selalu aku pakai untuk berpergian. Wangi kesejukan di pagi hari ini, membuatku tambah bersemangat menjalani hari.
Bapak dan ibu sudah berangkat ke pasar terlebih dahulu. Meskipun tak enak badan, lelaki tulang punggung keluarga itu tetap pergi ke pasar. Katanya tak tega melihat ibu berangkat sendirian.
Awalnya aku ingin memesan ojek online, tapi karena tujuan belum jelas. Aku mencari tukang becak, untuk menemaniku mengelilingi setiap sudut wilayah ini. Mencari tempat menimba ilmu sesuai kriteria bapak. Tentu saja yang paling penting adalah sekolah yang didominasi pelajaran agama.
Kaki ini melangkah menuju jalan raya. Belum terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang. Namun, aku berharap sudah ada tukang becak di pangkalan.
Pangkalan tukang becak, berada di pinggir jalan raya, tak jauh dari rumahku. Tepatnya di dekat sekolah dasar dan juga sekolah menengah pertama. Tempatku menuntut ilmu terdahulu.
Kosong melompong. Hanya ada beberapa siswa-siwi pejalan kaki. Sepertinya aku terlalu pagi. Melihat anak-anak berseragam putih merah, dan juga anak baru gede-ABG yang memakai seragam putih biru. Membuatku teringat masa lalu. Begitu cepat waktu berputar.
“Neng, mau kemana?” Suara kakek-kakek berpawakan tinggi kurus membuatku kaget. Pasalnya aku masih melamun.
“Mau cari sekolah yang ada pondok pesantrennya, Kek.”
Guratan-guratan termakan usia tampak jelas di wajahnya. Aku ragu mau mengunakan jasa angkutan becaknya atau tidak. Bukan apa-apa. Hanya saja tak tega rasanya jika harus melihat seorang yang lanjut usia harus mengkayuh sepeda.
Becak adalah suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi.
Menjadi pengemudi becak merupakan salah satu cara untuk mendapatkan nafkah yang mudah, sehingga jumlah pengemudi becak di daerah yang angka penganggurannya tinggi dapat menjadi sangat tinggi. Ya, sekarang sudah berganti dengan ojek online. Membeludak sudah supir ojek online hingga memberikan banyak pro dan kontra.
Becak dilarang di Jakarta sekitar akhir dasawarsa 1980-an. Alasan resminya antara lain kala itu ialah bahwa becak menampilkan 'eksploitasi manusia atas manusia' dan akan menimbulkan berbagai kemacetan lalu lintas karena dapat mengganggu lalu lintas, karena kecepatannya yang lamban dibandingkan dengan mobil maupun sepeda motor.
Di kawasan Jatiasih dan Cibubur, becak disebut dengan nama kereta, di Jonggol, becak disebut dengan nama kereta panumpang dan di Depok disebut dengan nama bicak.
“Ayok, Neng … sini naik becaknya kakek aja.”
“Em-m ….” Aku berpikir sejenak, mana yang lebih baik. Mengabaikan kakek becak itu, atau menerima tawarannya.
Derita yang aku rasa, bisa jadi merupakan sumber kebahagian orang lain. Semua itu dirasa karena kita memiliki sudut pandang yang berbeda.
Akhirnya aku mengangguk, menyetujui tawaran si kakek tukang becak. Kemudian duduk di kursi penumpang.
“Kakek tahu pondok pesantren yang ada sekolahnya, tapi cukup jauh dari sini … enggak apa-apa, Neng?”
“Iya, Kek … enggak papa. Malah kalau bisa cariin yang jauh sejauh-jauhnya dari sini.” Sebuah senyuman mengembang di bibirku.
Benar kata bu Romlah. Setelah kesusahan akan ada kemudahan. Kita hanya perlu bersabar dan juga bersyukur.
Aku sangat beruntung bisa bertemu dengan kakek tukang becak ini. Beliau pasti sudah menjelajahi seluruh sudut daerah. Hingga tahu tujuan yang aku inginkan.
Kakek tukang becak itu mulai menjalankan becak. Pedal dikayuh secara perlahan. Aku menikmati perjalanan ini. Teringat kenangan bersama Sucipto dan sepedanya. Ya, memang lebih nyaman duduk di dalam becak seperti ini, jika dibandingkan dengan duduk di kerangka sepeda, tapi kenangan itu tak akan pernah bisa terulang kembali.
Dua jam lebih perjalanan yang kami tempuh. Aku yang terbiasa menghabiskan waktu setiap hari dengan senantiasa berada di rumah, sama sekali tak paham jalur jalan yang dilalui.
Papan nama 'Yayasan Pendidikan Nurul Hidayah' terpampang jelas. Di belakangnya ada beberapa bangunan gedung besar bertingkat empat. Aku menganga. Ternyata pondok pesantren tidak seburuk perkiraanku selama ini.
Empat lembar uang dua puluh ribuan aku berikan kepada kakek tukang becak yang seluruh rambutnya sudah memutih. Seharusnya ongkos yang di keluarkan hanya tiga puluh lima ribu, tapi aku rasa jerih payahnya tidak sebanding dengan tarif yang dikenakan.
Meskipun akan lebih terjangkau lagi dengan menggunakan ojek online. Mungkin perjalanan hanya di tempuh selama tiga puluh menit dan tarif lima belas ribu rupiah.
Namun, melihat senyum terukir di wajah kakek tukang becak itu, membuatku merasa lega. Kalau bisa semua uang yang aku bawa diberikan saja kepadanya, tapi uang itu juga dibutuhkan untuk keperluan lainnya. Sehingga niat itu kuurungkan.
Aku melangkah sedikit ragu. Takut jika tidak diterima. Entah kenapa rasa takut ini tiba-tiba saja menelusuk di dalam raga. Padahal sebelumnya aku sangat bersemangat dan optimis dengan pilihan ini.
Aku pikir tak perlu meminta izin kepada pak satpam, karena pintu gerbang terbuka lebar. Namun, sepertinya hal itu tetap harus dilakukan, sekalian bertanya tempat pendaftaran.
Langkah kakiku terhenti di dekat gerbang, memandangi setiap sudut yang sangat bersih. Tempat ini tidak terlalu ramai, mungkin karena masih dalam masa-masa liburan. Atau mereka masih berada di dalam kelas. Entah, aku belum mengerti bagaimana kehidupan di penjara suci ini.
Sesosok wanita bertubuh tinggi dan juga berisi berjalan menuju ke arahku. Ia menggendong anak kecil. Ketika jarak kami berdekatan, wanita itu mengucapkan salam kepadaku yang masih berdiri mematung di dekat gerbang. Aku menjawab salamnya.
“Mau cari siapa, Dek?”
“Em-m … saya mau daftar, Bu … saya mau sekolah sambil mondok di sini,” jawabku sedikit canggung.
Wanita itu tersenyum. Wajah teduhnya membuat hati merasa tenang kala melihatnya. Ia mengajakku ke sebuah ruangan di salah satu gedung bertingkat empat itu. Ruangan lantai satu yang bertuliskan PSB “Penerimaan Santri Baru.”
“Kamu sendirian aja, Dek?”
Kali ini aku yang tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan wanita itu.
Wanita itu menyerahkan selembar kertas dan sebuah pena kepadaku. “Isi formulir ini, Kamu bisa langsung masuk, tanpa perlu tes. Oh iya nama adik siapa?”
“Nama saya Siti Fatimah, biasa dipanggil Fatim.”
“Masya Allah, nama yang indah. Oh iya. Kamu bisa memanggil saya Ibu Aini.”
Aku kembali mengangguk dan mengisi lembaran formulir dari Ibu Aini. Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal, tapi sungkan. Sebaiknya aku amati terlebih dahulu budaya pondok pesantren ini. Supaya sekolahku nanti bisa berjalan dengan lancar.
Bayi dalam gendongan Ibu Aini merengek. Tangisannya memecahkan telinga.
Seorang wanita muda mengambil alih bayi tersebut. Kemudian memberikan ASI kepada sang bayi disertai dengan penutup ibu menyusui.
Gadis itu masih terlihat sangat muda, tapi sepertinya dialah ibu dari bayi tersebut. Jadi dugaanku yang mengira Ibu Aini menggendong anaknya keliru.
🌺🌺🌺🌺
“Sebenarnya apa yang ingin ditanyakan Fatim kepada Ibu Aini?”
🌺🌺🌺🌺

KAMU SEDANG MEMBACA
PANGGIL AKU FATIM
Teen FictionFatim panggilannya. Perempuan minimalis ini tak suka dengan nama lengkapnya. Siti Fatimah. Kampungan! Namun, setelah mendengar sejarah tentang Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah. Perasaan itu berubah 180°. Kehidupan Fatim penuh dengan perjuangan. Se...