[Novianti]

50 10 0
                                    

🌺🌺🌺🌺🌺

"Jika, lelaki itu benar-benar mencintai kita, maka tanpa diminta pun, dia akan berusaha sebisa mungkin memberikan mahar terbaik untuk calon istrinya."

-Kak Nisa-

🌺🌺🌺🌺🌺

T

ak terasa satu bulan telah dilalui. Sekolah formal sudah memulai pembelajaran sejak dua hari yang lalu. Aku bisa beradaptasi dengan cepat. Semua ini tak terlepas dari jasa Kak Nisa. Aku mengikuti segala hal yang dilakukannya. Secara tidak langsung diri ini belajar menjadi santri teladan.

Sesekali saat menjelang tidur Kak Nisa dengan sabar menceritakanku tentang kisah Sayyidah Fatimah. Aku jadi semakin mencintai nama ini. Walaupun sebelumnya kuakui jika ada sebersit rasa malu ketika harus berkenalan dan menyebutkan nama Siti Fatimah.

Ah, ya ... bahkan Bu Nyai memuji namaku. Saat pertama kali bertemu beliau menyatakan jika nama Siti Fatimah adalah nama yang indah.

"Fatim. Manja banget, sih ... pake acara minta didongengin sebelum tidur sama Kak Nisa. Emang enggak bisa baca sendiri ceritanya?" ejek Novi.

Cewek cuek binti judes yang seusia denganku itu memang selalu begitu. Kaca mata yang dikenakannya seakan menuntun Novi supaya mengomentari apa saja yang dilihat.
Kami sudah paham karakter Novi. Jadi tak perlu pusing meimikirkan perkataanya. Apalagi sampai terbawa perasaan.

"Sini ... sini ... mau dengerin ceritanya juga 'kan, Nov?" ajakku.

Setelah belajar bersama dan membaca al-Qur'an. Kami bercerita tentang kejadian yang terjadi hari ini, peristiwa masa lalu, dan juga bercerita tentang impian masa depan.

Novi mengerling. Gadis berkaca mata itu menolak ajakanku. Ya, dia sangat unik. Entah apa yang membuatnya bisa seperti itu. Baru seminggu dia berada di sini, jadi semua kasur di kamar ini sudah tak ada yang kosong lagi.

"Kemarin 'kan kakak sudah cerita tentang Ummu Kultsum, nah sekarang giliran kisah Fatimah Az-Zahra. Abis ini kalian harus tidur, ya. Mulai besok kita bikin jadwal pencerita kisah wanita-wanita hebat, ya."

"Kak Nisa ... besok kasih jatah buat Novi, ya," pinta gadis berkacamata itu. Novi duduk di atas kasurnya, sedangkan kami berkumpul, membentuk lingkaran di atas lantai. Apa kubilang gadis itu memang unik.

"Novi besok mau cerita apa?"

"Mau cerita tentang Novianti, Novi 'kan orang hebat."

"Ye ... itu mah curhat. Cerita diri sendiri ... huuuu dasar orang pamer," celetuk indah yang masih kelas sembilan.

"Huusst ... enggak boleh gitu. Apa Indah aja yang besok dapet giliran cerita?"

"Duh, enggak, deh ... sekarang aja, yuk Kak Nisa cerita kisahnya Fatimah az-Zahra. Setiap hari juga enggak papa." Indah mengalihkan pembicaraan.

Kami semua mengangguk setuju. Tak sabar mendengarkan kisah tersebut. Awalnya memang hanya aku yang mendapatkan pelayanan eksklusif ini, tapi ternyata seluruh penghuni kamar - kecuali Novi, juga menyukai cara Kak Nisa bercerita.

"Lemans yang notabene orientalis menyebut alasan Fatimah az-Zahra tidak diminati, karena ia tidak cantik, tidak cerdas, dan tidak menarik. Padahal tentu saja kenyataannya bukan seperti itu. Kita sampai saat ini menilai putri-putri keluarga terhormat umumnya telat menikah karena menunggu datangnya lelaki sekufu yang biasanya tidak banyak jumlahnya, karena menurut kaidah yang berlaku ... semakin seorang gadis memiliki keistimewaan karena ilmu, kekayaan, atau kemuliaan, maka semakin jarang pula lelaki yang sekufu dengannya. Bisa dimengerti enggak bahasa Kak Nisa?"

"Bisa, Kak ... nanti Indah buka KBBI aja, cari tahu arti kata yang baru pertama kali ini didenger. Lanjut, Kak," jawab Indah sembari menulis kata-kata yang asing baginya.

Gadis yang usianya lebih muda dariku itu memang sangat rajin. Tubuhnya jauh lebih tinggi dari pada diriku yang minimalis. Tak jarang banyak yang mengira aku lah santri termuda di kamar Az-zahra.

"Ali bin Abu Thalib bukanlah orang pertama yang ingin menikahi Fatimah, karena sebelumnya kedua sahabat dekat Rasulullah, yaitu Abu Bakar dan Umar ingin meminang Fatimah. Namun keduanya ditolak secara halus. Perlu diketahui, Fatimah az-Zahra bukanlah sosok wanita mewah ataupun bergelimang harta. Bahkan sebaliknya. Ia hidup melarat dan sengsara. Berbeda dengan kakaknya yang mendapat bagian kekayaan materi karena menikah dengan lelaki yang mapan."

"Kak, kalau boleh tahu, mahar yang diberikan Ali untuk Fatimah apa, ya?" tanyaku setelah Kak Nisa mengakhiri ceritanya.

"Wah, pertanyaan yang bagus ... nanti kalau kalian menikah jangan meminta mahar yang terlalu berat sehingga menyusahkan calon suami, ya."

"Loh, Kak ... sebagai bukti cinta, ya harusnya calon suami itu ngasih mahar yang paling oke. Misalnya sawah lima belas hektar, emas satu kilo ...." Novi yang ternyata ikut menyimak di atas kasurnya ikut menimpali.

Tanggapan Novi mendapat sorakan 'huuuu' dari teman-teman sekamar. Kak Nisa tidak termasuk. Wanita anggun itu hanya tersenyum menanggapi ocehan Novi.

"Jika, lelaki itu benar-benar mencintai kita, maka tanpa diminta pun, dia akan berusaha sebisa mungkin memberikan mahar terbaik untuk calon istrinya. Seperti Ali bin Abi Thalib. Beliau saat meminang Fatimah tidak memiliki apapun untuk diberikan sebagai mahar, selain baju besi yang didapatkan dari harta rampasan Perang Badar."

Ah, aku jadi teringat Garang Wibawa. Benarkah cowok aneh itu berjuang mencari uang hanya untuk menikahiku dan tulus mencintai?

***

Pagi ini hari ketiga aku masuk sekolah. Novi terkadang mengeluh karena tidak ada kesempatan melihat cowok-cowok keren. Ya, kelas untuk santri putra dan putri terpisah. Kami hanya bisa bertemu di saat-saat tertentu. Seperti ketika kajian kitab yang diisi oleh Kiai Hasan.

"Fatim, bosen aku sekolah di sini, kita kabur aja, yuk."

"Ih, apaan, sih. Aneh-aneh ... aku ke sini penuh perjuangan, nah sekarang malah diajak kabur. Enggak, ah ... aku enggak mau ikutan."

Novi cemberut. Bibirnya maju beberapa sentimeter. Aku membiarkannya seperti itu, terkikik sebentar sebelum dia melotot ke arahku, karena mentertawakan mimik wajahnya.

Aku merogoh laci meja. Mengambil pena dan pulpen yang sengaja ditinggalkan di sini. Aku terlalu malas jika harus membawa tumpukan buku yang sangat berat. Oleh karena itu, khusus buku berwarna merah marun ini aku biarkan berada di laci meja setiap harinya.

Aneh ....

Ada secarik kertas. Padahal buku ini sama sekali tidak pernah aku sobek. Tangan jail siapa yang berani menodai bukuku?

Aku buka lembar perlembar buku merah marun ini. dari awal sampai akhir tidak ada satupun bekas sobekan, tapi secarik kertas ini sama persis dengan kertas yang ada di buku marunku.

Ya ... ya ... ya ... buku seperti ini tidak hanya ada satu di dunia. Aku sendiri bahkan punya lima buku yang sama.

Aku membunuh rasa penasaran dengan membuka kertas yang terselip di dalam buku marun ini. Namun, ada tangan yang menyambar kasar, kertas yang baru saja mau aku baca.

Beruntung genggamanku cukup kuat, sehingga usahanya tak membuahkan hasil.

Siapa lagi orang usil itu kalau bukan Novianti!

"Apaan, sih itu? Aku mau baca!" murka Novi.

"Rahasia ...." Aku menjulurkan lidah. Sengaja membuat Novi bertambah kesal.

🌺🌺🌺🌺

"Kira-kira apa isi dari tulisan itu? Ups, semoga bukan tagihan utang."

🌺🌺🌺🌺

PANGGIL AKU FATIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang