[Ajeng]

59 15 10
                                    

🌺🌺🌺🌺🌺

"Nama lengkapnya Diajeng, yang mempunyai arti kesayangan.”

-Sucipto-

🌺🌺🌺🌺🌺

Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini tak ada lagi bising kendaraan bermotor. Sepanjang jalan setapak hanya ada sawah yang membentang, seperti tak memiliki ujung. Aku sama sekali tak pernah menyangka ada tempat seperti ini. Biasanya bapak dan ibu hanya mengajakku ke pasar.

Saat sekolah libur, aku pun harus merengek terlebih dahulu supaya bisa ikut ke pasar bersama bapak dan ibu. Peluang dibolehkan hanya sedikit. Aku sering dilarang ikut, ibu takut anak semata wayangnya ini kecapekan.

Sucipto menghentikan laju sepeda, tepat di depan rumah dengan halaman yang luas. Suara gemericik air terdengar merdu, berpadu dengan suara burung. Ya, ada kolam ikan di depan rumah dan juga ada beberapa burung dengan bulu berwarna-warni yang terkurung di dalam sangkar.

Awalnya aku kira Sucipto mengelabui, saat mengatakan bahwa rumahnya ada di seberang danau. Namun, ternyata benar. Ia tak bergurau. Perjalanan panjang yang dilalui terasa amat singkat. Sepertinya hijau daun padi di sawah tadi telah menyihirku. Hingga hilang penat yang bergelanyut.

Sucipto mengucapkan salam, kemudian memasuki rumah yang pintunya tidak terkunci. Aku pun ikut menyertai. Seorang gadis kecil berlarian meminta pelukan cowok berkulit putih bersih itu.

Dari postur tubuhnya, bisa ditebak jika ia berusia enam tahun. Sucipto dan gadis itu memiliki wajah yang hampir sama. Bibir tipis dan kulit berkulit putih bersih menjadi ciri khas keduanya.

“Kakek sama nenek, masih di sawah?” tanya Sucipto kepada gadis kecil itu. 
Gadis yang sangat mirip dengan Sucipto itu mengangguk. Melepaskan pelukan, kemudian menghampiriku dan mengajak bersalaman.

“Siapa namanya gadis manis?” Aku membungkuk supaya bisa sejajar dengannya.

“Namaku Ajeng, Kak. Nama Kakak cantik siapa?”

“Panggil aku Fatim,” jawabku dengan disertai senyuman dan menjawil pipi tembamnya.

Aku menoleh ke arah Sucipto yang berdiri di samping kanan, ternyata cowok berbibir tipis itu mengamati tingkahku. “Aku tebak Ajeng itu adikmu.” Lagi-lagi aku tersenyum. Entah kenapa saat ini senyuman sangat mudah mengembang.

“Iya, Bener seratus persen.” Sucipto menuntunku agar mau duduk di kursi tamu.

“Kok, aku enggak dikenalin?” tanyaku dengan bibir manyun. Sengaja. Supaya Sucipto tahu aku ingin dia mengenalkanku. Ya, aku ingin cowok berkulit putih bersih itu sendiri yang memperkenalkan diri ini kepada orang-orang terdekatnya. Cukup dikenalkan sebagai sahabat. Aku tak ingin meminta lebih. 

Aku dan Sucipto duduk bersisian di kursi tamu. Sementara Ajeng berada di pangkuan kakaknya.

“Kamu mau dikenalin, malah udah kenalan sendiri.” Sucipto menggaruk tengkuknya.

Ajeng turun dari pangkuan Sucipto, kemudian menggapai sebuah toples kaca yang berisi cemilan. Kemudian memberikannya kepadaku. Gadis kecil itu tersenyum bahagia setelah aku berterima kasih.

“Waktu itu di kelas aku ‘kan juga udah cerita tentang Ajeng. Adik perempuanku satu-satunya. Nama lengkapnya Diajeng, yang mempunyai arti kesayangan,” jelas Sucipto sembari mengelus-elus rambut adiknya.

“Kami dua bersaudara, tapi ada tiga saudara tiri di Malaysia. Jadi totalnya lima bersaudara. Aku kurang paham apa pekerjaaan ibu dan ayah tiri di sana, yang aku tahu mereka sangat sibuk. Hingga akhirnya kami dititipkan di sini.” Sucipto melanjutkan penjelasannya.

PANGGIL AKU FATIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang