Just a Ride

3.7K 29 10
                                    

Pagi gila pamit undur diri. Ia sudah tak memikirkan banyak macam-macam. Di meja ramai tumpukan kertas. Pikirannya terfokus pada pekerjaan rumah. Kumpulan data SPP masuk dari mahasiswa masih harus ia tinjau ulang. Terus data terbilang, bila telah betul valid, akan dia serahkan ke Wakil Rektor Bagian Tata Usaha sebagai bahan sinkronisasi dan perbandingan terhadap pengeluran keuangan Universitas. Ia sudah minta tolong asistennya, Gina, untuk bagi-bagi tugas. Melelahkan benar, sebab hingga menit ini ia dan si asisten masih belum tuntas. Padahal mereka sudah mengerjakannya sejak tiga hari ke belakang. Ditenggarai kesibukan itulah, di benak Farah sama sekali tak terbesit permasalahan apapun soal bagaimana merekatkan kembali hubungan dia dengan Roni atau bagaimana mengatasi nafsunya. Sementara tidak ada lagi pikiran kotor, setidaknya sejak dia melangkah menuju ke Kantor Wakil Rektor selepas diturunkan Roni dari mobil. Di lain pihak, enggak ada perasaan bersalah amat menghantui Farah -- baik ketika dia memberi ciuman 'belas kasihan' pada Roni atau sekarang (apalagi) saat sibuk mengurusi nama dan nominal uang. Ambivalen. Farah ada di keadaan persis di kala Roni berfantasi dengan wanita lain (sekiranya begitu menurut hemat Farah). Dia tahu itu tak benar tetapi dibilang salah pun kedengaran berlebihan.

Rentetan berulang cross check, klarifikasi, penetapan, cross check, klarifikasi, penetapan, cross check, klarifikasi, penetapan silih berdayung mengarungi detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Tiga tumpuk nama kelar, masih ada dua tumpuk di giliran. Farah dan Gina memutuskan istirahat singkat. Sepuluh menit, terhitung dari sekarang. Tanpa mereka nikmati, istirahat berakhir begitu saja dan mereka sudah kembali bergulat dengan kertas.

Untung bagi kedua wanita disebut, pegawaian bosenin itu tamat bahkan sebelum waktu istirahat tiba. Sekitar pukul 11.20, Farah dan Gina sudah kelar. Ada 10 menit untuk Farah berhela-hela sedikit sebelum menjemput buah hati tercinta pulang sekolah. Bagian dari keseharian Farah.

Tak ada masalah setidaknya untuk hari ini. Angkot tidak kelamaan ngetem. Jalanan tidak macet. Citra membeli nasi goreng dari kantin sekolah, jadi baik dia maupun Bi Sumbi tak perlu repot-repot memasak. Farah mencium pipi Citra, pamit untuk pergi melanjutkan urusan kantor. Jam menunjukkan angka 12.26. Keluar dari komplek, Farah langsung berjalan menuju trotoar, seperti biasa tempat ia menunggu angkot 00. Angkot 00 lah pembawa dia setiap hari bila berangkat dari Univ ke SD Citra, pulang ke rumah, dan kembali ke Univ. Jika pulang pun ia menumpang angkot 00, karena begitu lah jalurnya. Baru berjalan tak lebih tiga langkah, akhirnya Farah menyadari sesuatu. Ada sebuah mobil parkir di area depan kompleknya. Mobilnya tak asing. Itu mobil Alex. Dan di sana ada Alex. Senderan di luar pintu mobil sembari menghirup rokok. Melihat Farah muncul, Alex melambaikan tangan menyapa. Farah mencoba tak menggubris. Dia masih marah akan perlakuan kurang ajar Alex waktu terakhir kali mengatarkannya menjemput Citra. Karena perlakuan kurang ajar itu pula, sekarang pikiran kotornya jadi sering berkecambah. Padahal sudah Farah coba tangkis pikiran kotor itu sebelumnya. Ketika Alex mencoba mendekat, Farah memasang tatapan penuh amarah dan meminta Alex untuk tidak mengganggunya, lagi. Farah menegaskan satu hal. Saat itu dia khilaf. Dia tak ada niatan untuk bertindak tak senonoh dengan Alex. Cukup, itu terakhir dia khilaf. Mendengar gerutu Farah, Alex tertawa malu dan mengatakan kalau dia minta maaf akan perbuatan kemarin. Dia juga khilaf. Makanya sekarang, sebagai permintaan maaf, dia merasa harus mengantarkan Farah kembali ke Univ. Hal terlewatkan dan seharusnya dia lakukan, kalau gak ada insiden seperti kemarin. Sekarang dia sampai rela minta rekannya untuk bertukar shift buat hari ini. Hanya untuk sebatas minta maaf dan membalas kesalahan pada Farah wkatu itu. Tapi Farah, dengan segala kecurigaan menyertainya, tak membeli omongan Alex. Tanpa banyak kata, Farah lanjut berjalan dan berdiri menunggu angkot di trotoar. Alex memanggil tapi sama sekali tak dia indahkan. Gundah benar Farah sekarang. Dia memang ngidam-ngidam pria itu tadi pagi, tapi sekarang dia ingat kalau karena tingkah iblisnya lah ia jadi sering berimajinasi enggak-enggak. Lebih parah lagi dari berandai-andai, dia tak sengaja mengkhianati suaminya gara-gara pria tersebut. Istri macam apa bergumul lidah bersama lelaki selain suaminya? Ibu macam apa dia kalau sampai anaknya tahu? Apa kata kakaknya nanti? Rasa bersalah kembali menjalar di tubuh Farah, berbarengan keringat, di siang terik penuh luapan emosi. Dari semua harapan Farah, di titik ini dia cuma berharap kalau kejadian dia berciuman dengan Alex tak pernah sama sekalipun pernah terjadi.

Cheating is (Not) a SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang