On The Edge

2.5K 23 0
                                    

Bola mata manisnya mengamati penuh seronok foto-foto Alex di instagram. Jari kirinya mengoyak-oyak kemaluan, membalas kegatalan tak tertahankan. Berputar-putar, bergoyang-goyang, mengikuti irama delusi. Dilihat salah satu foto Alex, sedang melancong ke sebuah klub malam di Amsterdam. Dia mengenakan jaket kulit sempit dan kaos singlet singset. Belahan baja perut indah si dokter terpampang lumayan jelas, tercetak kaos, berlekuk-lekuk, sungguh lezat dipandang. Otot lengan Alex terbentuk indah, menyatu bersama jaket kulit coklat, senada dengan kulit. Begitu perkasa dan kuat. Diingat kembali oleh wanita di bak mandi tersebut bagaimana rasanya meraba lengan berdaging seksi itu saat mereka 'tak sengaja' bercumbu sekitar empat hari lalu. Masih bisa dirasakan kembali betapa kuat dan kencang otot-otot pria tadi di jemari si wanita. Dia menyentuhnya langsung. Tidak terhalang kain apapun karena Alex saat itu menggunakan kaos pendek. Ahhh. Sungguh sebuah anugerah. Anugerah dibalik kecelakaan.

Permainan lidah Alex disetel ulang dipikiran. Dia sudah mencoba berciuman dengan Roni beberapa kali setelah kejadian "malu-malu menggembirakan" bersama Alex untuk melupakan rasa di bibir ini, tapi sayang seratus sayang, tetap saja semua ciuman Roni beberapa hari belakangan belum bisa menghilangkan rasa terlarang di mulutnya. Benar-benar french kiss terbaik sepanjang masa untuk dia pribadi. Ibu berkepala tiga ini seakan terlahir kembali menjadi anak remaja. Bisa dibilang, pak dokter muda telah menyuapinya langsung pil ekstasi dosis tinggi. Jari telunjuk dan tengah makin menggila. Perlahan diikuti jari manis, mereka menelusuk lebih dalam, dengan gerakan bertambah menjadi-jadi. Merangkak berebutan, berlomba siapa dari mereka bisa mencapai titik rangsang. Zina mata dibawa ke otak. Dijadikan oleh otak sebuah delusi. Bercampur dengan ingatan-ingatan akan insiden tempo lalu. Birahi Farah menanjak menuju ambang batas.

Waktu di gawai menunjukkan pukul 04.48 pagi. Adzan subuh sayup-sayup terdengar ke kamar mandi. Bukan masalah buat Farah maupun Roni karena mereka tidak beragama. Sejak kebebasan untuk tidak memeluk agama diberlakukan dua puluh lima tahun lalu, orang beragama semakin hari semakin sedikit. Di komplek mereka, tidak ada satupun, sedikitpun, penganut agama manapun. Masjid terdekat --asal dari suara adzan tadi-- di daerah mereka berada empat kilometer di luar komplek dan (selalu) sepi jamaah. Selama Roni belum bangun, dia cuma ingin menikmati bayangan-bayangan buatan imajinasinya sambil bermastubarsi. Hingga ia puas.

Kali ini dia meraih earphone. Dia memencet sebuah postingan Alex, postingan dua tahun lalu, di mana si dokter sedang bernyanyi sembari bermain gitar. Alex membawakan lagu Cry Little Heart dari Stars and Rabbit. Suara Alex sangat memikat. Absolute masculine voice. Cuma mendengarkannnya secara virtual saja cukup membuat vagina Farah tergelitik hebat. Farah ingin sekali meraung keras seperti gadis fangirls baru puber di konser boyband, sayangnya ia khawatir membuat Roni bangun kemudian curiga, jadi dia coba tahan kegemasannya di pangkal tenggorokan. Gigi atasnya menggigit bagian bibir bawah dalam usaha menahan timbul reaksi meletus-letus dari syahwat. Pikiran Farah tenggelam lebih dalam ke dasar alam bawah sadar, sementara tanpa memedulikan kepegalan tangan, jari-jarinya bergerak lebih gila di bagian bawah. Di sana, di setengah kesadaran Farah, suara merdu Alex bukan terdengar bersama lantunan lagu Stars and Rabbit, akan tetapi bersama Smaradhana dari Chrisye. Ironis, sebab itulah ide Roni untuk menjadikan tembang tersebutkan di atas sebagai pengiring latar dalam beberapa permainan seks mereka. Di awal-awal mereka biasa memainkan Smaradhana versi orisinil dari Guruh Gipsy, preferensi Roni, berlanjut beberapa kali barulah mereka berdua lebih memilih mendengarkan versi aransemen Yockie Suryoprayogo, dinyanyikan oleh mantan vokalis sekaligus bassis Guruh Gipsy, Chrisye. Alasan? lebih cerah, lebih enerjik bagi suasana.

Andai Roni bisa bermain gitar seperti Alex.

Farah menarik jari kirinya keluar. Sekujur badannya lunglai. Dia mengangkat sempoyong tangan kiri seperti seorang penarik dan menatap lurus ke telapak tangan. Dia baru sadar kalau dia memakai cincin pernikahannya. Benda itu masih duduk manis di jari manis. Dasar bejat. Farah menyimpan hape kemudian lanjut mengelus-elus pintu rahimnya. Kembali, menggunakan tangan kiri, dengan cincin pernikahan tetap menempel.

Tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk. Roni memanggil, menanyakan apakah gerangan di dalam. Farah menyahut ada, nada suaranya bete. Roni bergumam kemudian pergi ke kamar mandi bawah, biasanya dipakai Citra atau sebagai cadangan diantara Roni dan Farah, bila salah satu diantara mereka masih di kamar mandi utama. Menggerutu kesal, begitulah Farah ketika keasyikannya diganggu, tetapi dia sadar hari akan cerah (waktu di gawai menunjukkan pukul 05.12) dan dia harus bersiap. Mandilah ia, masih sambil membayangkan sedikit apa-apa dari imajinasi kotornya.

Berpakaian, membangunkan Citra (Biiasanya sudah bangun sendiri, hari ini masih tidur), menyiapkan sarapan untuk dirinya, Roni, dan Citra (kali ini dia memasak pancake), kemudian berdandan. Kabar baik, Roni bisa mengantar ia dan Citra hari ini. Mereka berangkat sekitar pukul 6.17. Putri semata wayang mereka lebih banyak berbicara sepanjang perjalanan. Dia meminta sang ayah membelikan miniatur mainan perang-perangan. Citra tertarik membeli sejak melihatnya di etalase toko buku sekitar sebulan lalu. Farah sebenarnya takut-takut sekarang bila Cita nyerocos. Si ibu takut kalau Citra menceritakan pengalaman mereka berdua dijemput Alex tak berapa lama lalu. Ia sendiri tidak pernah berkata kepada Citra untuk tutup mulut mengenai 'dijemput pak dokter', dengan motif takut si anak malah jadi curiga. Tapi karena itu pula, dia was-was kalau tanpa disangka-sangka, di saat sedang bersama Roni, Citra malah tumpah ember. Untung sebelum Citra berkata-kata lebih jauh, mereka sudah sampai di sekolah Citra. Si gadis kecil mencium pipi kedua orang tuanya lalu turun dari mobil. Ia melambaikan tangan taktala mobil menjauh dari sekolah. Dibalas oleh sang ibu dari balik kaca mobil.

Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di Universitas. Terbesit di pikiran Farah untuk memberi Roni kesempatan sekali lagi, untuk menghilangkan 'rasa' di mulut Farah. Farah mengajak Roni berciuman sebelum ia turun dari mobil. Bermesraan lah bibir dan lidah pasutri. Farah memegang lengan Roni, masih belum bisa menggantikan perasaannya memegang lengan Alex. Begitupula ciuman kali ini, belum bisa menggantikan ciuman Alex. Sesudah selesai aksi mereka, Roni meremas halus dada Farah dan mengucapkan sampai jumpa. Farah, memasang wajah jutek sebab digeniti barusan, mengucapkan sampai jumpa pula dan mengharapkan Woni (panggilan mesra Farah untuk sang suami) bisa pulang cepat hari ini. Si istri turun dari mobil, menerbangkan kecupan selamat tinggal begitu kendaraan pergi, lalu berjalan dari parkiran menuju ke gedung rektor. Saat berjalan sebuah pikiran terhentak ke kepala. Betapa berdosa bagaimana dia sudah berciuman dengan pria lain, dan bukannya merasa bersalah pada sang suami, malah membayang-bayangkan kembali ciuman pria lain tersebut. Harusnya dia mengutuk ciuman pria itu. Kenyataannya........dia menikmati ciuman pria itu.

Rasa bersalah Farah setelah berciuman dengan Alex bila dibandingkan dengan rasa bersalah Farah sebelum berciuman terasa hambar.

Cheating is (Not) a SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang