Bab 1

979 63 0
                                    

Suara ponsel berdering. Seorang wanita menjawab panggilan itu. "Ya, Shaggy di sini ada yang bisa saya bantu?" ucapnya, seseorang diseberang langsung mengomelinya.

"Bantu matamu! Jika kau tak bekerja di kota cepat pulang! Bantu kami di sawah! Atau menikah dengan si Anif itu! Dia selalu menanyakan mu." Shaggy melihat ponselnya untuk memastikan dengan siapa ia bicara, dan ya itu Ibunya.

"Ma, saya ini freelancer bukan pengangguran. Lagipula buat apa aku menikah dengan si semprul itu, tidak akan." Shaggy langsung menutup sambungan telponnya, biar saja dikatai tidak sopan dan Ibunya mengomel di sana. Dia tak peduli.

Di umurnya yang ke 23 ini, hal yang terus ditanyakan padanya adalah 'Kapan nikah?' 'Sudah punya pacar?' 'Kerja apa?' 'Penghasilanmu sebulan  berapa?' Sial, memang apa pentingnya hal itu? Dan kenyataan menamparnya, ITU SANGAT PENTING.

Di kota besar yang kejam ini ia bekerja sebagai freelancer dengan waktu dan penghasilan yang tak tentu. Saat sedang ada pekerjaan maka itu akan banyak, seperti melakukan hal yang tidak ada habisnya sampai lupa makan dan tidur. Saat sedang senggang, hal yang yang bisa dia lakukan hanya makan dan tidur. Seperti itulah kehidupannya.

Handphonenya bergetar, sebuah pesan dari ibunya.

Mama : Kau beeani menutup panggilan saat ak masih bicata?

Me : Mama typo.

Mama : Terus apa masalahnya? Dasat anak gila tidak sopan! Kay ingin aku maduk rumah sakir? Cepat pulang dan menikah! Si Anif itu punya sawah berhektar-hektar, kau tidak perlu oerja tinggal ungkang kaki aja jadi nyonta.

Banyak sekali typo yang dibuat Ibunya, ia yakin itu karena terlalu ingin mengomelinya sampai mengetik dengan semangat.

Me : Mama banyak typo, saya nggak ngerti.

Mengerjai Ibunya sedikit mungkin tidak apa, ia sudah bosan dengan bahasan itu.

Mama : Kau jangan pura pura tak ngerti ya! Ku hapus namamu dari ahli waris baru tau rasa kau.

Me : Silakan saja, toh ahli waris mama cuma sayakan? Memang sudah mau mama serahkan warisan itu? Sudahlah ma, mama sudah membahas ini kemarin. Saya sibuk, banyak kerja. Bye.

Shaggy mematikan ponsel lalu melemparnya. 'Banyak kerja' ia tertawa.

Benar ia banyak kerja hari ini, 'mari kita lihat to do listku hari ini' pikirnya.

-Makan
-Tidur
-Marathon Drakor
-Tidur
-Makan

"Oke, kegiatan itu sudah ku lakukan semua. Mari kita lihat apa yang bisa dikerjakan," kata Shaggy pada dirinya sendiri.

Ia menatap sekeliling apartemennya, baju kotor di sofa, remah-remah snack di karpet, buku-buku dilantai, piring dan gelas kotor di meja bersama dengan notebooknya yang masih menyala menampilkan sebuah drama korea yang di pause. Oke tak ada yang bisa ia lakukan selain melanjutkan menonton.

Ia mengambil notebooknya dan pergi ke kamar melanjutkan tontonanya yang terhenti karena sang ibu, satu episode lagi untuk mengisi kegiatannya sambil menunggu panggilan pekerjaan.

Tak terasa ia sudah menghabiskan 10 episode, matanya sudah kering saat episode enam dan sekarang wajahnya sudah basah oleh air mata dan ingus. Ia menyeka ingusnya sambil terus memaki-maki, lalu melempar tisu itu sembarangan. "Dasar, nggak tahu...hikk...diri...hikk...pelakor kejam...hikk... Aku nangis kayak babi...hikk...anjir." Ia terus memaki dan menyeka entah air mata atau ingus, bahkan mengejek diri sendiri.

Aku Tidak Tahu ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang