Bab 15

175 36 0
                                    

Rose mengajak kami berdua ke mobilnya, lebih tepatnya menarik lengan Hara dan aku mengikuti dari belakang. Memaksa Hara duduk di depan dengannya, sementara aku segera masuk di belakangnya. Takut ditinggalkan.
    "Hara kamu mau makan apa?"  Tanyanya lembut. "Kami mau makan bakso di perempatan itu," jawab ku segera.  Membuat Rose mendelik ke belakang, aku pura-pura tidak tahu.

Sepanjang jalan Rose mengajak Hara bicara, dia mengangkat segala topik. Atau mungkin bisa dibilang dia hanya mengoceh, dan Hara menanggapi seadanya. Dengan anggukkan, gelengan, iya, tidak, juga tawa kecil. Karena tentu saja Hara tidak tahu apa yang dibicarakan Rose. Dia baru 3 hari, di zaman ini.

Saat sampai di warung bakso, aku segera turun. Hara sudah ditarik duluan oleh si Mawar itu, dia cocok jadi penjual bakso boraks. Lalu menceritakannya cara pembuatannya, dengan pengubah suara.

Rose duduk di sebelah Hara, sedikit memepetnya ke dinding. Ku lihat dia sedikit tak nyaman dari ekspresinya, namun tetap membiarkannya.
   "Hara kamu mau bakso mu gimana?" Tanya Rose. Matanya tidak pernah meninggalkan wajah Hara seinci pun, dan tangannya yang tetap bertengger di lengan  Hara. "Aku sama saja dengan Shaggy," jawab Hara.
  
Lalu Rose mengalihkan pandangannya kepadaku. "Shag, tolong pesankan aku tidak mau ada sayur dan bihun di bakso ku." Perintahnya, aku mendelik. Tapi tentu saja tetap ku ikuti.

   Saat kami menunggu pesanan, Rose terus saja bicara tentang 'segala' hal, mulai dari pakaian bermerek yang baru keluar, pakaian yang cocok dengan Hara, tas-tas, lalu rekan kerjanya yang tidak kompeten, teman-temannya yang parasit dan munafik. Aku tidak heran dia punya pergaulan tak menyehatkan seperti itu.

Saat bakso kami datang, untung saja Rose bukan tipe orang yang makan sambil bicara. Jadi aku cepat-cepat menghabiskan makanan ku, dan memberi isyarat pada Hara untuk segera menghabiskannya juga. Tapi bahkan setelah Hara menghabiskan baksonya pun, dia tetap ditahan.

Lalu Rose bertanya, "Hara apa kerjaan mu saat ini? Penghasilan mu berapa?"
   Hara menatapku, yang diikuti oleh Rose. "Emmh, dia..." Tapi belum sempat aku beralasan, dia memotongnya. Mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dengan cepat, lalu memberikannya pada Hara. "Kalau kamu tertarik," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Ponselnya berdering, lalu dia mengangkat nya. Wajah nya biasa saja saat baru mengucapkan 'Halo', tapi setelah itu wajahnya berubah menjadi seperti monster. Matanya yang bulat semakin bulat dan seperti akan keluar, karena melotot. Ia bicara dengan nada keras yang kasar, aku tidak tahu apa dia masih punya rasa malu. Karena kini kami jadi perhatian, di warung bakso!
    
Wajahnya kembali normal saat mematikan sambungan telpon, lalu menatap Hara yang berada disebelahnya. "Aku harus pergi dan tidak bisa mengantar mu lagi," katanya dengan lembut. Wajahnya menampilkan ekspresi sedih. Wah... Benar-benar kepribadian yang cepat sekali berubah, ia mengelus lengan Hara.
   "Tak apa," jawab Hara. Menghentikan elusan Rose di lengannya. "Aku harus pergi sekarang." Rose bangkit, mengeluarkan uang seratus ribu lalu memberikannya padaku. "Untuk uang bakso, cukupkan?"
  "Cukup," jawab ku. Dia mengangguk, lalu perhatiannya kembali pada hara. "Aku harus pergi sekarang," katanya. Hara mengangguk. Dia membuat gesture telepon dengan jari tangan, lalu mendekatkan pada telinganya. "Kalo kamu tertarik." Lalu dia pergi.

"Apa yang dia berikan?" Hara memberikan kartu nama Rose pada ku.
   Aku membaca kartu kecil berwarna putih itu ada logo kaktus di pinggirnya, SAGUARO MODEL AGENCY ROSELLA.
Jadi dia bekerja di agensi model, pantas saja dia sangat mengerti mode.

"Hara ayo pulang, kita bicarakan ini nanti di apartemen," kataku.
Hara mengangguk dan mengikuti ku dari belakang, saat di luar warung suasananya benar-benar panas dan berisik, juga berdebu. Hara sampai mengerutkan hidungnya karena terkena paparan debu, aku melihatnya lalu bertanya, "Kau baik-baik saja?" Yang dia angguki, walaupun tetap dengan wajah yang mengerut.

"Ayo cepat." Aku menggandeng tangannya, lalu menuntunnya untuk menyebrang jalan. Hara mengeratkan gandengan tangannya, sepertinya dia sedikit gugup atau khawatir. Saat tiba diseberang jalan aku melepaskan tangannya. "Jangan jauh-jauh," kataku. Dia mengangguk, dan tetap disisi ku seperti anak kecil.

Kami berjalan sampai apartemen, karena aku sengaja memilih tempat makan yang dekat. Supaya tidak terlalu lama bersama Rose. Biasanya di depan gedung apartemenku ada penjual es dawet, hari ini sangat panas jadi aku ingin membelinya. Dan untung saja ada.

"Hara kau mau?" Hara kembali mengangguk, dia benar-benar seperti anak kecil. Imut sekali. 'Shaggy dia pria dewasa, imut bukan kata yang tepat' pikirku.

"Dua ya Mang," kata ku dengan jari telunjuk dan tengah yang teracung. "Siap neng," jawabannya.

Setelah es dawet kami jadi, aku kembali menarik tangan Hara.

Menunggu lift, dan ternyata tidak ada siapapun yang masuk kecuali kami berdua. Hufft... Aku sangat bersyukur karena itu. Di dalam lift sedikit berguncang, membuat Hara panik dan mencengkeram tangan ku yang berada dalam genggamannya. Dia berniat melindungi ku, wajahnya seperti orang yang siaga akan bahaya. " Tenang saja," aku menepuk tangannya, "nggak akan terjadi apapun." Dia melemaskan genggamannya, tapi tidak melepaskannya.

Saat sampai di apartemen aku langsung menghenyakan diri ke sofa. "Rosella benar-benar menyebalkan," gerutu ku. "Hara bisakah kau ambilkan gelas di dapur, dua ya."

Hara ke dapur dan kembali dengan dua gelas ditangannya. Aku lalu menuangkan es dawet tadi, lalu menyerahkan satu padanya. Hara menyesapnya sedikit, lalu sedikit lagi. Sementara aku meneguknya banyak-banyak, supaya puas. "Ini enak," ucapnya, "makanan tadi juga sangat enak."

"Enakkan mana sama mie instan?"

"Enakkan mie instan," jawab Hara. Aku tersenyum geli...hahaha. Mie instan emang terbaik.

"Hara bukankah tadi Rosella sangat menyebalkan?" Aku memulai pembicaraan, ingin sekali aku mengghibahinya. "Sedikit, tapi dia sangat cantik." Hara kembali meminum es nya, aku melongo karena komentarnya itu.

"Cantik? Cantikkan dia atau aku?" Aku bertanya dengan nada dan ekspresi serius.

Hara terlihat tak nyaman. "Ehhh..."

Aku Tidak Tahu ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang