Bab 12

269 45 2
                                        

Aku panik saat mendengar ketukan pintu, siapa yang datang? Ada Hara di sini, karena itu aku memerintahkannya pergi ke kamar.

Aku mengontrol ekspresi lalu menghela nafas. Saat membuka pintu Tyana berada disana dengan wajah yang basah karena air mata. Aku kaget melihat itu, dan segera menyuruhnya masuk ke dalam.

Saat tiba di ruang tv semua masih berantakan belum ku bereskan, piring bekas makan kami pun masih ada disitu. Tapi Tyana tidak menyadarinya, atau mengabaikannya mungkin. Saat ku tanya kenapa dia mulai menangis lagi.

Aku menunggunya sampai dia tenang. Lalu bertanya lagi ada apa tapi saat dia hendak menangis kembali, aku langsung memotongnya dengan berkata, "Tyana kalo kamu nangis terus,aku nggak tahu harus ngapain."

Dia mulai berhenti menangis walaupun sesegukannya belum berhenti. Aku memintanya bercerita, tapi dia hanya diam beberapa saat sebelum berbicara.

"Andre... Dia... Mutusin gue...hwaaaa," dan dia kembali menangis. Apa maksudnya mereka putus ku kira kemarin masih baik-baik saja.

"Kenapa bisa putus?" Tyana menyeka air matanya, lalu menenangkan diri dengan menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan.

"Dia bilang gue terlalu sibuk, sampe nggak merhatiin dia. Katanya dia... Hik...hiks... Nggak bisa sama gue lagi." Aku kesal mendengarnya. Tidak bisa bersama lagi?

"Kamu nggak curiga dia punya perempuan lain?" Aku sanksi jika karena itu alasannya. "Kalian udah tujuh tahun bareng loh, tujuh tahun! Bayangain, kalo anak tujuh tahun udah masuk SD kelas satu."

Tyana terdiam memberi ku ekspresi terkejut lalu kembali datar.

"Nggak mungkin dia tuh cowok baik, pas pacaran sama gue aja kadang masih malu-malu. Lagian ya di tuh nggak pinter ngedeketin apalagi gombalin cewek."

"Bisa aja kan mungkin si cewek nya yang godain atau dianya yang... Gimana ya bahasanya... 'sok polos' di depan mu doang?" Aku heran saat sebuah hubungan yang sudah berlangsung selama 7 tahun, apa bisa putus cuma karena salah satunya sibuk. Kenapa tidak saling mengerti saja.

"Nggak tahulah, gue pusing. Malem ini gue nginep ya," kata Tyana. Aku baru saja hendak mengangguk, saat ingat ada Hara aku langsung menggeleng. Tyana mengerutkan wajahnya.

"Kenapa? Biasanya Lo paling bahagia pas gue bilang mau nginep." Tyana menatapku curiga. Ya Tuhan, dia bilang aku tidak pandai berbohong jika aku katakan ada seorang pria di sini apa yang akan dia lakukan?

"Shaggy, jawab aku." Suara Tyana seperti mendesak ku. "Mmh...itu..." Aku bingung mencari alasan dan tatapan Tyana semakin menusuk ku.

"Shaggy jangan coba-coba berbohong," Katanya dengan nada mengancam.

Aku tetap diam dan menggigit bibir.

"Shaggy kau menyembunyikan sesuatu?" Aku tersentak, gelagapan untuk menjawabnya. Dia semakin menatap dengan curiga padaku.

"Apa yang kau sembunyikan?" Saat bahasanya berubah formal itu berarti dia sedang sangat serius, dan kini dia berbicara formal. Hal yang tak pernah dilakukannya padaku.

Aku melirik ke arah kamar takut-takut, ku harap dia tak menyadarinya. Tapi dia mengikuti arah lirikan ku dan menatap pintu kamar dengan tajam. Tatapannya beralih padaku.

"Ada apa di kamar? Kau tidak sedang menyembunyikan pria di dalam sana kan?" Tanyanya dengan nada berbahaya. Aku kaget karena tebakannya benar, apa dia tahu? Tidak mungkin bukan.

"Tidak!" jawabku cepat setengah berteriak.

Hal itu membuatnya semakin curiga, saat dia hendak bangun aku menahannya. "Kamu mau kemana?" Tyana mendelik.

"Menurut mu..." Dia hendak bangun lagi, tapi ku tahan kembali. Tyana sepertinya kesal pada ku hingga menggebrak meja di depannya.

"Katakan padaku, kau menyembunyikan apa sampai melarang ku melihatnya?" Dia terlihat sangat berbahaya saat ini, matanya menatap ku nyalang dengan hembusan nafas tak teratur.

"A...aku...tidak menyembunyikan apapun," kataku ragu.

"Jangan bilang kau nyembunyiin sabu? Kau nggak ngeganjakan?" Dia menyentak kan tanganku yang menahannya, dan Tyana langsung berdiri saat aku hendak menahannya lagi tangan ku ditepis dengan kasar.

"Shaggy jika perkiraan ku benar, habis kau." Ya, habis aku. Dia akan melaporkannya pada ibuku lalu aku akan pulang ke kampung, menanam padi di sawah atau yang terparah menikah dengan si Kampret.

Tyana berjalan dengan cepat menuju kamar ku. Aku mengikutinya dari belakang, saat dia membuka handle pintu jantungku berdetak sangat kencang.

Hara habislah kau, mungkin nasibmu akan lebih buruk dari aku jika Tyana melihatmu di kamar ku.

Aku Tidak Tahu ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang