Bab 2

595 52 0
                                        

Aku menatap temanku itu, dia selalu cantik dengan pakaian apapun. Selalu ada orang-orang seperti itu. Tidak, bukan ada tapi banyak. Tyana termasuk pada orang-orang itu, mungkin jika dia menjadi model itu akan menjadi jalan emasnya.

Sementara aku, ya biasa saja. Standar, bahkan hari inipun aku tetap memakai pakaian yang mungkin sudah ribuan kali ku pakai. Sebuah kemeja hitam dengan saku dibawahnya, dan celana jins kebesaran.

Tyana berteriak agar aku berjalan lebih cepat, tapi dengan sengaja ku lambatkan. "Cepetan, gue tinggalin nih," Teriaknya lagi.

Berlari kecil mendekatinya, lalu tersenyum. "Hai bu," aku hendak memeluknya namun dia hindari, "kok ngehindar sih?" Dia mencibir. "Masuk lo, cepet."

"Ok," aku melangkah dengan lebar dan masuk ke mobil dengan wajah cemberut. Biar saja pura-pura merajuk, biar kita lihat bagaimana caranya membujuk ku.

15 menit berlalu, dan perjalanan ini hanya diisi keheningan. Aku yang pura-pura merajuk, dan dia yang bahkan tak ingin pura-pura membujuk. Oh, sungguh ini membuatku tak nyaman.

"Hubungan kamu sama si Andre  baik-baik saja?" Tanya ku memulai pembicaraan. Dia menatap ku sekilas. "Lo baru ngestalk akun gue kan?" Dia mengatakannya dengan lugas, membuatku gelagapan dan menjawab dengan spontan. "Nggak."

Tyana terkekeh dan mengatakan. "Lo itu mudah ditebak, jadi jangan pernah mencoba berbohong ke siapapun!" Tegasnya.

Aku diam dan sedikit memajukan bibir lalu menggerakannya ke kanan dan kiri. "Kalau begitu kamu  tahu kalau aku berbohong?" Tanya ku dengan hati-hati. "Tahulah, waktu lo ngabisin 1 box pizza dan nggak ngaku juga kami tahu." Tyana tersenyum lalu terkekeh kembali.

Aku menatapnya dengan malu, lalu sadar satu hal. "Kami?"

"Hmm, kami. Gue, Fero, sama Micha. Bahkan seluruh manusia di muka bumi ini akan langsung sadar kalo lo bohong." Tyana tersenyum miring. "Anjay..." hanya itu kata-kata yang bisa dikeluarkan mulut ku.

Jadi selama ini kebohongan-kebohongan yang ku kira berhasil dan sukses ternyata, gagal? Oh, kenapa mereka mebiarkan hal memalukan seperti itu terjadi pada diri ini? Kenapa mereka sangat jahat dengan tidak memberitahukannya? Oh aku sangat malu sekarang. Mengetahui kenyaatan seperti itu lebih buruk daripada saat aku terjatuh di trotoar hanya karena sebuah kerikil yang kutendang, dan semua orang memperhatikan ku.

Kebohongan ku itu nggak banyak, hanya saja sedikit lebih daripada beberapa orang.

Tyana memperhatikan ku, lalu berbicara. "Hubungan gue sama si Andre baik, dan Lo seharusnya cepet-cepet cari pacar." Dia memberikan ku tatapannya yang tajam. Aku tersenyum lebar.

"Aku udah punya pacar kok," kataku, lalu mengambil ponsel di saku. "Nih, fotonya." Aku memperlihatkan wallpaper ponselku, foto Zoe Andrew yang memakai kemeja dengan tiga kancing teratas yang terbuka.

Dia mencibir, dan ekspresinya seperti menemukan kecoak di makanan. "Jangan ngayal ketinggian deh, kalo diibaratkan nih ya. Lu itu cuma makhluk bersel satu, mikroskopis tak terlihat. Bakteri." Aku mengerti kata-katanya, tapi hal itu membuatku berpikir hal lain.

Senyumku semakin lebar. "Tapikan bakteri selalu ada dimana-mana, bahkan lebih dekat daripada makhluk lain dengan manusia. Menempel,"

Tak membalas, Tyana menambah laju mobilnya. Lalu keheningan mulai kembali datang pada kami, sampai kami tiba di apartemen Micha.

Kami menuju lobby, lalu menuju lift dan menuggu. Pintu lift terbuka, saat aku dan Tyana hendak masuk seorang pria dengan topi dan jaket hitam menabrak ku dari dalam lift. Tanpa meminta maaf pria itu langsung pergi. Menyebalkan sekali.

Aku Tidak Tahu ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang