Enam

36 7 10
                                    

4 Februari 2015

⏳⏳⏳⏳

Nenek dan Raina berencana membuat kue hari ini. Tadi pagi mereka sudah berbelanja di pasar untuk membeli bahan-bahannya.

Semua alat dan bahan sudah terkumpul di meja. Raina dengan semangat membantu neneknya membuat kue. Mereka berdua segera mengenakan apron.

"Let's start cooking!!" Teriak Raina dengan semangat.

Nenek yang mendengarnya hanya tersenyum melihat Raina begitu semangat.

Setelah bergulat di dapur dengan semangat, akhirnya kue yang dibikin oleh nenek dan Raina matang. Mereka membawanya ke ruang keluarga untuk disantap bersama.

"Ih, enak banget kuenyaa. Pinter banget aku masaknya." ujar Raina dengan mata yang berbinar.

"Eits, kamu masak sama nenek ya kalau kamu lupa. Kamu juga cuma ngaduk adonan sama masukin adonannya ke oven doang, selebihnya nenek semua yang ngerjain." Ucap nenek dengan wajah menantang.

Raina yang mendengarnya hanya memanyunkan bibirnya. Nenek yang melihatnya pun tertawa.

"Bercanda, kamu bantuin nenek kok, sangat membantu malah. Jangan cemberut gitu dong, senyum, makan kuenya nih." Ucap nenek membujuk Raina.

Mereka melanjutkan acara makan kue nya yang tertunda.

"Rain, kamu kalau ada masalah diselesaikan ya, jangan nangis kalau merasa masalah itu berat." ucap neneknya tiba-tiba yang membuat Raina bingung.

"Kenapa nenek ngomong gitu? kayaknya Raina lagi gaada masalah deh." Raina berpikir dirinya ada masalah atau tidak. Tapi ternyata nihil, dirinya memang tidak ada masalah. Lalu mengapa neneknya berkata seperti itu.

"Kan masa depan gaada yang tau, dan pasti setiap manusia diberi cobaan sama Allah. Ya, pokoknya seberat apapun masalahmu, janji ya jangan nangis." Nenek mengacungkan jari kelingkingnya.

Meskipun Raina bingung, tapi Raina membalas uluran jari kelingking neneknya. "Janji!"

⏳⏳⏳⏳

Sekelebat memori bersama neneknya terlintas di otaknya. Air mata sudah terkumpul bersiap untuk meluncur. Namun ternyata sang pemilik mata tak mengizinkan untuk meluncur.

Pemilik mata itu, Raina. Di kamarnya yang biasanya lampu tak pernah padam, kini tak ada lagi pencahayaan. Gelap gulita. Mustahil bagi Raina untuk bertahan di sebuah ruangan yang gelap gulita, karena Raina takut pada gelap. Tapi untuk saat ini, Raina tak mau memusingkan kegelapan yang ada di dekatnya.

Ia termenung di pojok kamar sembari melihat ke depan dengan tatapan kosong. Perut yang seharusnya sudah diisi sejak kemarin, masih kosong karena tak diisi. Biasanya Raina tak seperti ini, membiarkan perutnya kosong. Akan berakibat penyakit maagnya kambuh.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk. Raina masih diam.

"Rain, ada Anta di bawah, kamu nggak mau keluar ketemu dia?"

Antariksa di bawah? Seharusnya ia berlari memeluk Antariksa, melepas rindu pada Antariksa. Tapi sekarang, tak ada yang dilakukannya. Masih dalam kegiatan yang sama, termenung di pojok kamar.

RAINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang