***
Kamu memang segalanya untukku, tapi itu dulu saat kamu tidak memilih pergi tanpa ada kejelasan.
***
Penjelajahan di mulai, Anara berjalan mengikuti petunjuk yang ada di pohon-pohon besar. Tak sedikit petunjuk itu mengecoh mereka, jadi harus pintar-pintar memakai logika.
Gadis itu tak memperdulikan bahwa Pram ada di sampingnya, Anara menganggap dia sedang sendiri tanpa ada lelaki itu. Ocehan Pram sedari tadi tak Anara dengar, sesuka hati dia saja ingin membicarakan apa yang pasti Anara tidak akan mendengarnya.
Langkah Anara sudah jauh membawanya sampai pos tiga. Ada panitia perkemahan di sana berjaga, kira-kira ada empat orang terdiri dua perempuan dan dua laki-laki.
Pos satu dan dua hanya memberi clue yang mengecoh tanpa ada tantangan. Bila di pos tiga ini mereka akan di suruh memilih memakan makanan yang sudah di lepeh oleh salah satu timnya, atau salah satu dari mereka harus menggendong timnya sampai pos empat.
Jelas mereka akan memilih opsi yang kedua. Gila memakan muntahan sendiri saja jijik apalagi ini bekas orang lain. Eohhhh...
"Cepet Na, naik," ucap Pram yang sudah berjongkok di depan Anara, gadis itu tampak ragu tapi mau bagaimana lagi dia tidak bisa memilih opsi pertama karena menjijikan.
Anara naik di punggung Pram, melingkarkan tangannya di leher lelaki itu. Tanpa di sadari Pram tersenyum bahagia, dulu dia sering menggendong Anara bila gadis itu sedang marah.
Pram mulai melangkah dengan bantuan senter yang Anara pegang. Lelaki itu sempat merasakan bahwa Anara berat, padahal dulu gadis itu sangat ringan bila ia gendong. Tapi, Pram tetap melanjutkan langkahnya walaupun nanti tangannya akan sakit-sakit.
"Seneng bisa berduaan sama kamu," kata Pram tanpa beban.
Anara mendengar tapi dia biarkan saja.
"Semesta emang tau kalo aku sama kamu nggak bisa dipisahkan," Pram tau Anara mendengarnya gadis itu tidak tuli.
Oh iya?
"Aku rindu pas kamu bilang Pram punya Ana, Ana punya Pram."
Pram belum bisa pergi dari masa lalu, padahal semua orang hidup untuk menuju masa depan bukan berhenti pada masa lalu yang memang sudah tidak bisa diperbaiki di masa depan.
"Cukup. Semuanya udah selesai." Ini kalimat pertama yang Anara ucapkan saat mereka memasuki hutan, gadis itu memang tak berbicara sepatah katapun sedari tadi.
Pram berhenti dan mendudukan Anara di sebuah batu yang cukup besar. Lelaki itu duduk di sampingnya memandangi Anara lekat.
"Menurutku semuanya belum selesai, kita hanya berjeda." ujar Pram tak lepas pandangannya pada Anara.
Anara ingin membalas ucapannya namun Pram menunjukan sebuah gelas berwarna hitam di tangannya dengan bandul gembok. Anara menyeringai kecil saat melihat gelang itu.
"Buat apa kamu simpen?" tanya Anara setengah kesal.
"Kamu liat, kan? Gelangnya masih di gembok. Itu artinya, kamu masih ada hati aku dan terkunci."
"Gue yang pegang kuncinya. Jadi gembok itu udah lama kebuka," jawab Anara.
"Oke, mana gelangnya?" pinta Pram, Anara diam tak menjawab lagi. Gelangnya sudah dia buang saat Pram pergi tanpa alasan, menurut Anara saat itu juga dia harus membuang sesuatu yang berhubungan dengan Pram.
"Tanpa kunci pintu nggak bisa kebuka," putus Pram, "sama halnya hati aku nggak bisa ngeluarin kamu karena nggak ada kunci."
Pram kembali berjongkok di depan Anara, gadis itu melingkarkan kembali tangannya di leher Pram. Anara berfikir keras bahwa menjauhkan Pram akan sulit, karena rasa cinta Pram masih utuh seperti dulu, Anara bisa tau dari sorot matanya yang terlihat tulus. Tapi Anara sudah menjadi milik orang lain, dan hatinya terlanjur mati untuk Pram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galang : Musuh Jadi Suami? [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaPulang dari Field Trip sekolah, Anara Mahdi yang terkenal sebagai gadis periang itu kini telah berubah 180 derajat, menjadi gadis pendiam dan cenderung menutup diri. Galang Damares, yang merupakan ketua Geng Gloues (pentolan SMA Kencana) dan sekali...