Jarak Dekat | 1

256 14 10
                                    

Sudah kurang lebih satu Minggu Bintang menjadi murid pindahan dan resmi menjadi anggota XI.IPA-1, yang biasa disebut sebagai kelas Resident 191 oleh anak kelas lain.

Tapi, anak kelas unggulan ini, khususnya para penghuni lama menyebut kelas IPA-1 sebagai 'kelas akhir zaman'. Sematan nama yang nyeleneh itu tentunya tidak lepas dari aksi Awan, si ahli sepik yang beralasan bahwa perbandingan antara perempuan dan laki-laki di abad 21 ini, 50:1 , telah ada dan terlihat di kelas ini. Jumlah siswa hanya ada 10 orang, dan siswi berjumlah 22 orang.

Bintang sama sekali tidak akan lupa, awal mula ia bisa terdampar di kelas IPA-1. Di pagi yang cerah, tahu-tahu ada pengumuman jika ia dan empat orang lainnya berpindah ke kelas unggulan.

Bagaimana tidak shock? Bintang yang menganggap dirinya pas-pasan soal belajar itu malah berakhir di kelas unggulan. Tapi, ia sedikit bersyukur sebab Agnes, teman sekelasnya di kelas X.IPA-3 ikut dipindahkan. Adapun tiga orang lain yang ikut dipindahkan semuanya berasal dari kelas X.IPA-2. Mereka adalah Melati, Radja, dan Langit.

Berbicara soal Langit, Bintang sudah dibuat kesal. Pasalnya, pemuda itu sangat aneh. Pembawaan yang kalem, bagi Bintang itu tidak masalah. Tapi yang menjadi masalah, Langit ini spesialis siswa yang irit bicara. Ditanya masalah tugas, pemuda itu akan memilih menghindar dan langsung memberi buku tugas pada mereka yang bertanya pada pemuda itu.

"Eh, Bintang!"

Gadis itu sedikit terlonjak mendapati Agnes dengan sebuah buku ditangannya. "Tumben nggak ke kantin,"-ujar Agnes lalu mendudukkan diri disebelah Bintang.

"Lagi malas aja," jawab Bintang seadanya. Setelahnya gadis itu malah menghela napas. "Nes, gue serasa mau pindah aja ke kelas lama. Kayaknya gue terlalu bego harus ada disini. Kapasitas otak gue terlalu minim buat sekadar bersaing sama penduduk asli kelas ini."

Agnes tergelak. "Ih, kok gitu, sih? Jangan nyerah gitu, dong. Baru juga seminggu tempur disini lo malah pengen minggat."

Bintang menopang dagu menggunakan salah satu tangannya. "Ya gimana, gue ini lelet banget kalau urusan belajar. Gue malah terdampar disini."

"Itu namanya takdir."

Baik Bintang dan Agnes terlonjak saat mendapati Radja dan Melati sudah mendekat ke arah mereka.

"Nyerah bukan solusi saat lo ada di kelas ini," celetuk Radja memandang Bintang dengan sorot serius. "Masa iya lo nggak bisa bersaing? Manusia udah dititipkan kapasitas masing-masing. Manusia boleh cari dan tahu gimana kapasitas dan potensi diri mereka, tapi bukan berarti manusia bisa ngerendahin diri sendiri, kan?"

Bintang tertegun mendengar perkataan Radja. Begitupun dengan Agnes dan Melati. Bahkan tanpa sadar Agnes menggeleng-gelengkan kepala dengan raut takjub, dan bertepuk tangan ria. Sedangkan Melati, gadis itu berdecak kagum. "Nggak nyangka gue, lo sekeren ini, Ja. Udah sana, tembak doi. Kata-kata lo udah keren gitu."

Radja memutar bola mata malas. "Diem lo!"

Setelahnya Melati hanya tertawa pelan.

Bintang sekarang jadi berpikir, apakah semudah ini ia menyerah? Apakah ia bisa menjadi pengecut seperti ini?

Haah, Bintang menghembuskan napas panjang. Hanya ada satu cara yang ia akan tempuh saat ini.

Pembuktian diri.

***

Suasana kelas sekarang lagi gaduh-gaduhnya. Bahkan, Awan sudah naik diatas meja bersama Damian, berjoget-joget ria dengan Nesya yang memukul-mukul meja seakan-akan meja itu adalah gendang.

"UWOOOOOOOHHHHHH.....," teriak Awan dengan sapu ijuk ditangannya

"UWOOOOOHHHHHHHHH...," jawab Damian kemudian.

Jarak DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang