Sekarang adalah jam mata pelajaran matematika. Pak Gufroni kini sibuk memberi materi limit di depan kelas. Siswa kelas IPA-1 ada yang sibuk memperhatikan dan juga mencatat materi penting dalam materi pelajaran limit kali ini.
Bintang melirik sekitarannya, ia bisa melihat beberapa temannya yang sibuk memperhatikan. Tapi, ada juga yang sibuk dengan dunianya sendiri. Ada Gita yang sibuk dengan cermin kecilnya, Ulfa yang tertidur dan bersembunyi di balik buku, Awan yang malah sibuk bermain ponsel, dan banyak lagi temannya yang sibuk dengan dunia sendiri.
Kadang Bintang berpikir, ini kelas unggulan dengan siswa yang otaknya encer, tapi aktivitasnya tak jauh beda dengan kelas kebanyakan. Meski tidak terlalu serius memperhatikan pelajaran, mereka akan tetap pintar.
Tak seperti dirinya, dia mungkin harus berjuang habis-habisan agar bisa menyesuaikan diri di kelas ini.
Bintang meraih pulpennya, dan mencatat contoh soal yang tertulis di papan tulis. Ia sadar kemampuan matematikanya sejak dulu memang tidak sekuat ketika dia menguasai ilmu lainnya.
Dengan telaten Bintang menuliskan tiap rumus dan contoh soal yang telah diberikan pak Gufroni. Gerakan menulisnya terhenti, kala ia mengangkat kepala dan pandangannya tertuju pada Langit.
Ia masih memikirkan pesan semalam.
"Jika sudah mencatat materi dan contoh soal di depan, bapak akan memberi satu soal latihan. Bagi yang sudah menemukan jawabannya, silahkan naik ke depan dan kerjakan!"
"Baik, pak!"
Pak Gufroni mulai menuliskan satu soal latihan di papan tulis. Materinya tentang limit.
"Itu soalnya, silahkan kalian kerjakan!"
Siswa IPA-1 mulai mengambil selembar kertas, dan ada juga yang mulai mencari jawaban soal latihan dengan menuliskannya di bagian belakang buku.
"Ck!"
Suara decakan pelan itu membuat Bintang menoleh. Ia melihat Keke menggelengkan kepala dengan raut bingung.
"Kenapa, Ke?", tanya Bintang pada Keke.
Keke, gadis tomboy itu melirik Bintang. "Pak Gufroni mah kebiasaan, dari semenjak kelas X ngasih soal matematika pasti pendek, tapi jawabannya bisa ada satu papan tulis."
Kedua mata Bintang membulat. "Lo udah nemu jawabannya?"
Keke mengangguk pelan. "Ho'oh. Tapi gue nggak yakin jawabannya benar. Gue kerja asal sih ini."
Bintang tertegun. Memang harus diakui, anak kelas IPA-1 ini memang diakui untuk urusan pelajaran. Mereka benar-benar unggul. Keke salah satu yang telah membuktikannya. Walau sebenarnya, Keke sendiri tidak tahu jawabannya benar atau tidak. Bintang lebih suka percaya, jika semua siswa penghuni kelas XI.IPA-1 adalah siswa yang cerdas. Karena sebenarnya, pemikiran tentang kecerdasan yang siswa IPA-1 miliki sudah melegenda sejak dahulu kala.
Walau bobrok ataupun bertingkah konyol, semua itu tentunya tidak serta merta menutupi fakta akan kecerdasan yang mereka miliki.
Bintang kini melirik Agnes, ia perlahan menyenggol pelan lengan gadis itu. "Lo udah nemu jawabannya?", tanya Bintang dengan suara sangat pelan.
Agnes mendengus lelah, lalu mengangguk lesu. "Udah, sih."
"Nah, lo angkat tangan sekarang, terus kerjain soalnya," kata Bintang dengan senyum tipisnya.
"Enak aja. Nggak mau, ah. Lagian, gue ternyata baru sadar tentang satu fakta."
Ucapan Agnes membuat kedua alis Bintang terangkat sedikit. "Fakta tentang apaan?"
Wajah Agnes nampak sangat serius. "Fakta tentang Pak Gufroni. Awalnya, gue nggak percaya kalau pak Gufroni itu akan mempersulit siswa buat jawab soal matematika. Tapi, sekarang gue bisa lihat, ini soal susah banget. Gue nggak yakin jawaban ini bakalan benar. Ini baru soal latihan, gimana sama ujian nanti?"
Bintang terdiam. Baginya, matematika tetap saja sulit baginya. Baik dipermudah ataupun dipersulit, namanya matematika akan tetap menjadi momok yang menyusahkan bagi Bintang.
"Siapa yang sudah dapat jawabannya?"
Suara Pak Gufroni terdengar begitu keras di dalam ruang kelas yang sejak tadi sunyi senyap. Bintang melirik Keke dan Agnes, ia ingin mengatakan jika kedua temannya itu sudah menemukan jawabannya. Tapi ia langsung menelan mentah-mentah perkataan itu.
Seketika Bintang merasa lesu. Ia merasa tak pantas berada di kelas ini. Rasa percaya dirinya turun hingga titik terendah saat ini.
"Baik, tidak ada yang mau naik mengerjakan? Saya yang akan tunjuk!"
Bintang kian panik. Gadis itu menelan ludahnya getir. Jika pak Gufroni menunjuknya, tamat sudah riwayatnya. Sekarang saja, pak Gufroni sudah berjalan dan mengamati wajah siswa satu persatu.
"Lovely, silahkan naik dan kerjakan soalnya!"
Kepala Bintang langsung tertoleh pada Lovely. Gadis itu nampak biasa saja, bahkan dengan riang gembira ia langsung meraih spidol diatas meja dan menuliskan rumus dan jawaban soal yang ia peroleh di papan tulis.
Kepala Bintang hanya menggeleng takjub saat Lovely menuliskan jawabannya di papan tulis. Bahkan, Lovely sudah menulisi hampir setengah papan tulis. "Selesai, pak!" Lovely meletakkan kembali spidol dan kembali ke tempatnya.
Pak Gufroni nampak memperhatikan jawaban Lovely, lalu tersenyum tipis. "Rumus yang Lovely gunakan sudah tepat, tetapi jawabannya masih kurang tepat. Rumus ini masih ada lanjutannya." Pak Gufroni kembali menatap wajah siswa satu persatu. Tentu saja Bintang sudah sangat panik.
"Ada yang bisa menambahkan jawaban Lovely?"
Semuanya saling melirik, berdoa dalam hati semoga ada yang sukarela naik dan mengerjakan soal itu.
Pak Gufroni sudah mengerutkan kening sekarang. "Tidak ada yang mau naik? Baik." Pak Gufroni meraih daftar hadir yang ia bawa. Matanya mencari nama yang akan mengerjakan soal yang ia berikan. "Yang namanya Langit Ali Asril?"
Semuanya kini menatap Langit. Pemuda itu nampak tenang, seperti pembawaannya kala baru menginjakkan kaki di kelas itu. Langit mengangkat tangan kanannya. "Saya, pak!"
"Silahkan naik dan kerjakan soalnya!"
Bintang melirik diam-diam ke arah Langit. Pemuda tinggi itu bangkit sembari menghela napas, berjalan perlahan ke arah depan. Awalnya Bintang berusaha tak peduli pada pemuda yang membuatnya kesal sejak awal itu. Tapi kini matanya terlanjur sibuk menatapi tiap gerak-gerik pemuda itu.
Sambil bertopang dagu, Bintang jadi berpikir, akankah pemuda itu bisa menjawab soal yang pak Gufroni beri? Mengingat aura pak Gufroni lumayan mengintimidasi.
Langit meraih spidol dan mulai menuliskan jawabannya di papan tulis. Diam-diam yang lain memperhatikan.
"Kok Langit kelihatan ganteng yah pas ngerjain soal?", kata Raina dengan bertopang dagu dan tersenyum lebar.
"Ho'oh, auranya beda," timpal Vita.
"Sudah, pak," kata Langit dengan nada kalem.
Seisi kelas tersentak, saat Langit dalam hitungan menit telah menyelesaikan soal yang pak Gufroni beri.
"Sudah selesai?", tanya Pak Gufroni memastikan, dan Langit mengangguk pelan.
Kini Pak Gufroni mengamati jawaban Langit. Jawaban pemuda itu lebih singkat dari jawaban Lovely sebelumnya. Hingga senyum pak Gufroni merekah. "Jawabanmu benar, dan hebatnya kamu bisa membuatnya menjadi lebih sederhana." Langit diam-diam menghela napas lega, pemuda itu tersenyum tipis.
"Kamu boleh duduk," kata Pak Gufroni menepuk-nepuk pelan pundak Langit.
Langit berjalan menuju ke bangkunya, dan suara tepuk tangan terdengar di kelas. Bintang yang semula hanya diam menatap takjub, ikut bertepuk tangan. Lupa jika Langit adalah siswa yang membuatnya kesal.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Jarak Dekat
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak Dekat
Teen FictionBintang Anindia Aprilia, mulai memasuki kelas baru di SMA, tepatnya di kelas unggulan. Awalnya Bintang pikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua pemikiran itu terpatahkan saat ia bertemu dengan Langit Ali Asril, siswa kelas unggulan yang bisa...