Bintang terkejut ketika baru saja melihat pesan yang masuk ponselnya. "Jadi...Langit emang udah ngasih tau kalau dia mau ngomong sama gue?" Bintang menepuk jidat pelan. "Aduh, mana gue ngomongnya kasar banget ke dia!"
Setelahnya Bintang malah mendengus. "Tapi 'kan bukan salah gue juga! Mana gue tau kalau dia emang pingin ngomong. "
Setelah sibuk bergumam dengan diri sendiri, Bintang kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Gadis itu mengamati sekitar kelasnya.
Sudah pasti, aksi konyol teman-temannya sudah dimulai kembali. Bintang bertopang dagu dan diam menikmati semua kekonyolan itu.
Bahkan, duo rusuh, Awan sudah mengambil taplak meja guru dan memakainya di kepala, dan Damian sudah joget-joget di sebelahnya.
Awan sudah menyanyikan lagu bahasa Arab di depan kelas, tentunya ia nyanyikan dengan asal-asalan.
"Damian, oh, Damian...ente tau apa bahasa Arabnya haus?"
Damian yang masih berjoget tak karuan itu menggelengkan kepala. "Tidak. Lo tau emang?"
Awan tertawa pelan. "Bahasa Arabnya minum adalah la...ma...tak...minum...."
Damian tergelak lalu menggeplak kepala Awan pelan. "Dasar kadal!"
Bintang tertawa pelan di tempatnya. Hingga Bintang tersentak saat Raina sudah heboh karena menggoda Langit. Perhatian Bintang tertuju kepada dua orang beda karakter itu.
"Ihhhh Langit!!!!! Serius tadi lo keyen banet!! Pak Gufroni sampai nganga liatin lo!!!", pekik Raina memuji Langit.
Pemuda dengan pembawaan kalem itu hanya tersenyum tipis, tak menanggapi banyak. Bukan cuma Raina, kini Lovely, Joya, dan Ester mulai memuji Langit, yang makin membuat pemuda itu salah tingkah.
"Saking nggak pernah dekatnya sama cewek respon dia sampai segitunya?", gumam Bintang dengan wajah penasaran, lalu setelahnya menghembuskan napas pelan. "Pantas aja hari itu dia keliatan jahat banget."
Bintang masih ingat kejadian sebelum ia masuk kelas unggulan, sekitar semester genap kelas X. Saat dimana, untuk kali pertama , ia merasa tak suka pada Langit.
Gadis itu berdecak, dan mengalihkan pandangan.
"Elah, kalau suka lo modusin, dong!"
Mata Bintang sedikit melebar saat mendapati Ulfa duduk disebelahnya. Dengan senyum tipis Ulfa sudah meminum pop ice rasa coklat di tangannya.
"Siapa, sih?", tanya Bintang kembali.
"Si abang Langit. Lo naksir, 'kan? Ngaku, deh!", kata Ulfa menyolek-nyolek lengan Bintang.
Kepala Bintang menggeleng kuat-kuat. "Dih, nggak, nggak! Siapa juga yang naksir cowok modelan kanebo kering kayak dia."
Suara tawa Ulfa terdengar. "Wes, santai! Lo ngegas amat bahas si Langit. Lo masih kesal sama kejadian waktu itu?"
Bintang mendengus. "Iya."
Ulfa terdiam sejenak, kembali meminum minuman dingin rasa coklat ditangannya itu. "Bintang, gini deh, kejadiannya juga udah lewat, ngapain lo pikirin?"
Wajah Bintang berubah serius. "Nggak semudah itu lupain semuanya, Fa. Ngeliat kelakuan dia waktu itu tuh, kayak ngingatin gue sama...mendiang bokap gue."
Kalau urusan yang satu itu, Ulfa sekarang hanya bisa diam. Jika Bintang sudah membahas soal mendiang ayahnya, Ulfa tak akan mengatakan banyak hal. Meskipun Bintang adalah temannya sejak duduk di bangku SMP, dan Bintang hampir mempercayakan seluruh rahasianya pada Ulfa, tetap saja Ulfa tidak tega dengan gadis disebelahnya kini.
Ulfa berdehem pelan. "Untuk urusan ini, lo tau sendiri gue pasti nggak bakalan ikut campur. Tapi, gue boleh kasih saran, nggak?"
Perhatian Bintang sudah tertuju penuh pada Ulfa. Menghembuskan napas panjang, Bintang mengangguk. Bersedia mendengarkan saran yang akan Ulfa berikan.
"Coba deh, lo bersikap baik aja ke Langit. Karena menurut pengamatan gue, dia itu nggak ada maksud nyakitin lo, kok. Kita kan nggak pernah tau, dia ada masalah apa pas kejadian itu. Dan satu lagi, nggak semua cowok lo bisa sama-ratakan sama mendiang bokap lo. Gue masih ingat, lo pernah cerita kalau sebelum bokap lo meninggal, beliau nulis surat buat lo, ' kan? Yang isinya agar lo bisa bahagia, dan nggak menganggap semua cowok itu sama kayak dia."
Tertegun, hanya itu yang Bintang bisa perlihatkan dari wajahnya detik ini. Pikirannya melayang pada sepucuk surat yang diberikan mendiang ayahnya.
"Gue nggak nyangka, hal yang udah lewat itu masih lo ingat dengan detail, Fa. Pantesan aja lo disebut cenayang."
"Ish, Bintang! ", teriak Ulfa, membuat Bintang langsung tertawa.
****
"Langit!"
Pemuda yang asyik berjalan sembari memainkan ponsel berbalik, dan mendapati sosok mungil Bintang yang berjalan ke dekatnya.
"Eh, lo. Kenapa?", tanya Langit langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Bintang sangat canggung berdiri berhadapan dengan Langit. Apalagi, tubuh jangkung Langit itu membuat Bintang makin ciut saja mengatakan apa yang ingin ia utarakan.
"Bilang aja, nggak usah takut." Langit berkata dengan nada kalem.
Menghembuskan napas panjang, Bintang mengulurkan sebelah tangannya. "Gue mau minta maaf sama lo. Sikap gue emang udah terlalu berlebihan ke lo."
Telapak tangan Bintang yang tergantung di udara dilihat oleh Langit. Pemuda itu terdiam. Setelahnya, tanpa banyak bicara, ia membalas uluran tangan Bintang.
Saat itu pula, untuk kali pertama, Bintang merasa aliran listrik memenuhi tubuhnya.
Tangan mereka akhirnya mulai saling melepas. Bintang menggigit bibir. "Yaudah, gue mau pulang. Maaf udah ganggu lo."
Bintang melangkah pergi begitu saja, entah kenapa kedua pipinya berada begitu panas.
"Eh, tunggu!"
Jantung Bintang serasa mau copot kala suara Langit menggema sepanjang koridor. Pemuda itu berlalu menghampirinya.
"Maaf, resleting tas lo kebuka."
"Eh? Iya? Makasih yah udah dikasih tau."
Bintang bersiap melepas tasnya, tapi Langit langsung menahannya. "Nggak usah, biar gue yang bantu tutup."
Bintang diam ditempatnya, membiarkan Langit menutup retsleting tasnya. Tak butuh waktu lama, aktivitas itu akhirnya usai.
"Makasih, kalau nggak dikasih tau mungkin perlengkapan sekolah gue udah keteteran di jalan." Bintang tersenyum pada Langit. Lalu ia kembali melangkah pergi.
Sepeninggal Bintang, Langit tersenyum tipis. "Kirain dia nggak bisa manis, ternyata pas senyum dia cantik juga." Menggelengkan kepalanya pelan, Langit berbalik badan.
Tubuhnya serasa membeku, mendapati Ester yang kini tersenyum padanya. "Hai, Langit."
"Hai," balas Langit singkat. Sungguh, ia deg-degan saat ini.
"Gue bisa minta tolong, nggak? Anterin gue pulang? Soalnya gue minta tolong sama Marko tapi dia nggak bisa. Mau minta tolong sama yang lain juga gue udah nggak sempat ketemu. Pas liat lo, gue langsung nyemperin. Lo bisa, ' kan?"
Langit menelan saliva susah payah. Berada di dekat Ester saja sudah berpengaruh begitu besar pada degupan jantungnya. Tentu saja Langit tak bisa menolak Ester, dibuktikan dengan kepala pemuda itu yang mengangguk pelan, hingga senyum Ester terbentuk. Pertahanan Langit benar-benar diuji, pemuda itu hampir saja goyah dan melakukan tingkah bodoh di hadapan Ester.
"Yaudah, gue ambil motor dulu di parkiran," kata Langit melangkah lebih dulu.
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Jarak Dekat
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak Dekat
Teen FictionBintang Anindia Aprilia, mulai memasuki kelas baru di SMA, tepatnya di kelas unggulan. Awalnya Bintang pikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua pemikiran itu terpatahkan saat ia bertemu dengan Langit Ali Asril, siswa kelas unggulan yang bisa...