Sungguh, Bintang sudah merasa lemah saja sekarang. Memang benar, teman sekelasnya adalah orang-orang dengan otak encer. Langit yang bukan dari kelas unggulan, sudah bisa menunjukkan jika pemuda itu memang sangat cerdas. Pak Gufroni, guru matematika yang Agnes katakan senang mempersulit siswa bahkan memuji Langit.
Bukannya iri, hanya saja Bintang jadi makin rendah diri. Ia jadi ingat tentang Lusy, temannya yang berada di kelas XI.IPA-5. Dulu, sewaktu pengumuman pemindahan siswa dengan peringkat tertinggi ke kelas unggulan, Lusy digadang-gadang akan dipindahkan ke kelas unggulan. Secara, gadis itu adalah siswa yang cerdas, dan memiliki peringkat yang bagus. Tapi, setelahnya Lusy diputuskan untuk dipindahkan ke kelas unggulan. Ia memohon kepada wali kelasnya agar ia tak dipindahkan ke kelas unggulan. Wali kelas Lusy akhirnya menerima permintaan Lusy, hingga gadis itu tetap di kelasnya yang lama.
Sekarang di dalam benak Bintang, Lusy bahkan lebih berhak ada di kelas ini dibandingkan dirinya. Ia sama sekali tak pantas disini. Kemampuannya tidak akan pernah setara dengan orang disini.
Menghembuskan napas panjang, Bintang bangkit dari duduknya dan hendak berjalan keluar. Baru saja hendak keluar dari bangkunya, mata Bintang membulat mendapati Radja yang mendorong-dorong tubuh Langit berjalan ke arahnya.
Bintang termundur beberapa langkah kala Radja mendorong Langit lebih keras, hingga pemuda itu hampir tersungkur tepat dihadapannya. Kini Radja sudah berlari keluar kelas, menyisakan Bintang dan Langit yang berdiri saling berhadapan.
Bintang mendengus. "Permisi, gue mau keluar," kata Bintang hendak melewati Langit. Tetapi pemuda itu langsung mencegahnya, hingga sebelah alis Bintang terangkat.
"Gue punya salah apa sama lo? Kok lo kayaknya kesal banget sama gue."
Langit bersorak keras dalam hati. Ketika pertanyaan beberapa hari yang lalu itu tak bisa ia pertanyakan pada gadis dihadapannya itu, kini dengan segenap keberanian yang dia punya ia berusaha menatap mata gadis dihadapannya itu.
Bintang malah terdiam, lalu memutar kedua bola matanya jengah. "Siapa juga yang kesal sama lo? Lo kali yang salah paham. Gue nggak kesal, kok."
Pernyataan Bintang berhasil membuat kerutan samar di kening Langit. Ucapan Viona kepadanya mengiang begitu saja.
"Gue kasih tau yah sama lo, bahkan seisi dunia tau, dan bukan rahasia umum lagi kalau cewek itu makhluk yang susah dimengerti apa maunya. Kadang ucapan sama isi hati nggak sinkron. Contohnya aja, kalau ditanya 'apa lo baik-baik aja?', pasti jawabannya 'gue nggak papa.' Belum lagi kalau cewek ngambek dan ngeluarin dua jurus rahasia andalannya. Kata 'terserah' sama air matanya. Beuh, cowok auto kampus pas di situasi kayak begitu. Intinya sih, ketika cewek bilang tidak, sebenarnya itu iya. Dan iya, itu tidak. Lo paham?"
Langit kembali pada realita. Terlihat Bintang menatapnya dengan wajah bengong. Pemuda itu berdehem kaku. "Gue tau, ada yang bikin lo kesal. Gue mau tau, letak kesalahan gue dimana. Gue nggak mau ada masalah sama orang lain."
Bintang tertegun. "Udahlah, lupain aja. Kejadiannya juga udah lewat. Kalau soal kesal sama lo, emang iya. Tapi nggak penting juga kalau diomongin sekarang. Gue lagi banyak pikiran."
Baru saja hendak berlalu, ucapan Langit kembali menghadang Bintang. "Gue beneran nggak mau punya masalah, sekalipun itu sama lo."
Menghembuskan napas panjang, tatapan Bintang tertuju tepat di mata Langit. "Soal kekesalan gue, itu nggak perlu dibahas. Dan soal lo yang masih kepikiran alasan gue kesal ke lo, lupain aja. Karena gue sendiri mau ngelupain itu."
"Kalau emang lo mau ngelupain, kenapa lo nggak bisa bersikap biasa ke gue?", tanya Langit tak mau kalah. Entah mengapa egonya begitu tersentil karena balasan-balasan tajam yang gadis ini berikan.
Kepala Bintang menggeleng pelan. Langit si kalem yang keras kepala. "Apa semudah itu ngelupain kekesalan lo sama orang lain? Lagipula, gue juga bersikap biasa ke lo. Gue nggak gangguin lo. Lo mau apa lagi?"
"Kalau gitu, kasih tau gue apa yang bikin lo kesal."
"Dan gue udah bilang itu sama sekali nggak penting. Lupain. Minggir, gue mau keluar!"
Tanpa bisa dicegah, Bintang keluar dari kelas. Tak peduli apa pandangan Langit kepadanya.
Hanya satu hal yang pasti, berdiri berhadapan dengan pemuda itu sanggup membuat degupan jantung Bintang perlahan menggila.
*****
"Bintang!"
Agnes tersenyum tipis lalu duduk di sebelah Bintang. Gadis manis itu sedang sibuk meminum susu kotak stroberi. "Gue ternyata baru tau, gue sepupuan sama Langit."
"Apa?"
Jelas saja Bintang terkejut, kenapa kebetulan sekali?
"Gue dikasih tau nyokap beberapa hari lalu. Nggak nyangka sih, juga bangga gue punya sepupu yang pernah juara olimpiade matematika tingkat nasional." Agnes bercerita dengan mata berbinar.
Kepala Bintang tertunduk sedikit. "Pantesan," gumam Bintang pelan. Pikirannya kembali pada saat Langit mengerjakan soal latihan yang diberi Pak Gufroni.
"Lo kenapa sih, Tatang? Lesu banget kayaknya." Agnes berujar lalu menyedot kembali minuman itu di tangannya.
Kepala Bintang tertoleh cepat kepada Agnes. "Gue mau nanya, buat pindah kelas, masih bisa nggak, sih?"
"Hah?" Agnes meletakkan minumannya diatas meja. "Pindah kelas gimana? Siapa emangnya yang mau pindah?"
Bintang mengusap wajahnya kasar. "Gue mau pindah ke kelas yang lama aja."
Raut wajah Agnes langsung berubah. "Loh, kok gitu, sih?"
"Adalah, pokoknya. Lo tau info soal itu, nggak?", tanya Bintang sekali lagi. Jawaban Agnes terwakilkan dengan kepala yang menggeleng lemah. Bintang menghela napas.
Perlahan Bintang bangkit, menuju ke bangku Leon. "Leon," panggil Bintang pelan.
Leon yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung mengangkat kepala. "Kenapa?"
Mata Bintang melirik sekitar. Semoga tidak ada teman-temannya yang meledek ia dan Leon, apalagi jika Yudha sudah ada. Ditambah Awan dan Damian yang super kompor. Jangan sampai sensasi itu pecah lagi di kelas, ditambah dengan salah pahamnya Lovely yang sudah bucin garis keras kepada Leon.
"Lo tau nggak soal informasi pindah kelas itu?"
Leon nampak berpikir. "Setau gue sih, kalau pindah kelas itu masih bisa. Tapi pindah ke kelas yang jurusannya beda udah nggak dibolehin. Kenapa emangnya?"
Wajah Bintang langsung merekah. "Nggak papa, nggak papa. Cuma nanya aja. Kalau mau urus pindah kelas itu, yang dilakuin apa aja emang?"
"Kalau soal itu, katanya harus melapor dulu. Ada formalitas yang perlu dilengkapi. Kalau mau tau detailnya, lo langsung ke ruang guru aja."
"Makasih banyak infonya."
Bintang kembali ke bangkunya. Wajahnya nampak sumringah. "Gue bakalan ke ruang guru besok."
Dibalik wajah sumringahnya itu, Bintang tidak sadar jika Langit terus saja mengamatinya. Otak Langit masih memikirkan cara, bagaimana agar gadis itu bisa mengatakan apa kesalahannya?
*****
Hai, terima kasih sudah mampir ke cerita Jarak Dekat
Jangan lupa vote dan komentarnya
Salam hangat,
Dhelsaarora
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak Dekat
Teen FictionBintang Anindia Aprilia, mulai memasuki kelas baru di SMA, tepatnya di kelas unggulan. Awalnya Bintang pikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua pemikiran itu terpatahkan saat ia bertemu dengan Langit Ali Asril, siswa kelas unggulan yang bisa...