Jarak Dekat | 18

44 8 0
                                    

Bintang sadar, di dunia ini dia benci dengan kata 'hilang'. Entah bentuknya kehilangan, menghilang, dihilangkan, dan segala bentuk hilang lainnya. Ia lebih suka dengan kata 'tahan'

Bintang tidak akan rela jika tante Anika 'hilang' dari hidupnya. Sekuat mungkin Bintang akan 'tahan' pada berbagai masalah yang akan ia hadapi kedepannya. Hanya tante Anika yang ia miliki, hanya tante Anika yang benar-benar peduli.

Saat pertama kali mengetahui jika tante Anika masuk rumah sakit dari kepala sekolah, otak Bintang seolah tak bisa berpikir jernih kala itu. Yang ia inginkan, hanya pergi secepatnya dan segera menemui tantenya.

Menurut informasi yang ia dapatkan, tantenya mengalami kecelakaan, terjatuh dari motor saat hendak kembali ke rumah. Saat itu, tante Anika segera dilarikan ke rumah sakit agar segera mendapatkan perawatan dari tenaga medis.

"Ibu Anika tidak mengalami luka yang serius. Beliau hanya mengalami lecet di beberapa bagian tubuh dan pingsan karena shock yang beliau alami. Insya Allah beliau akan segera pulih. Besok beliau sudah boleh pulang."

Penjelasan yang diberikan dokter membuat Bintang menghembuskan napas lega. Punggungnya melemas seketika. Gadis yang sejak tadi menunggu di luar bangkit dari kursi. "Terima kasih, dokter. Apa saya boleh nengok tante saya?"

"Silahkan!", kata dokter mempersilahkan.

"Terima kasih banyak, dokter."

"Iya. Saya pamit dulu."

Selepas kepergian dokter itu, Bintang buru-buru melangkah masuk ke dalam ruang rawat Tante Anika. Kini tantenya memejamkan mata. Tantenya beristirahat atas segala kejadian yang terjadi padanya hari ini.

Bintang melangkah perlahan dan duduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidur tante Anika. Punggungnya bersandar di kepala sofa. Matanya terus memandang sosok tantenya itu. Rasa sesak itu kembali datang tanpa Bintang minta. Bintang takut, hal buruk menimpa tante Anika.

Tiap malam, Bintang akan sengaja tidur terlambat tanpa sepengetahuan tante Anika, hanya agar bisa masuk ke dalam kamar tantenya. Ia hanya ingin memastikan, tantenya masih bernapas dan bisa kembali menemuinya keesokan pagi.

Bintang berusaha agar bisa memberi yang terbaik pada sang tante. Sekarang ia sudah tak memiliki ayah ibu. Hanya tante Anika alasan Bintang berjuang.

Tangis Bintang untuk kesekian kalinya meluruh kembali. Ia merapalkan doa, agar ia bisa mendengar jika tante Anika dalam keadaan baik-baik saja.

Bintang perlahan membaringkan dirinya di sofa. Tangannya meraih ponsel dan mulai melihat apa ada pemberitahuan yang masuk.

Gadis itu mengecek aplikasi pesan yang dimilikinya. Sedikit terkejut saat beberapa temannya menanyakan tentang dirinya. Mulai dari Agnes, Keke, Ulfa, dan teman-teman yang lainnya. Grup kelas juga ricuh sama seperti biasa.

"Kok nggak ada pesan dari dia, yah?"

Bintang sedikit kecewa, dari sederet orang yang mengirimkan pesan padanya, nama Langit tak terpampang disana. Setelahnya, gadis itu malah tertawa miris.

Memangnya, Langit menganggapnya penting? Dia memangnya se-istimewa itu?

Soal Langit, ia langsung teringat tentang janji pemuda itu kepadanya. Pemuda itu akan memberitahu siapa gadis yang dia cintai, jika Bintang tetap berada di kelas IPA-1.

Kenyataannya, gadis itu tak diperkenankan pindah kelas kembali. Sebab, proses belajar-mengajar sudah berlangsung cukup lama. Siap-siap saja, Bintang akan segera menjemput rasa yang disebut sebagai 'patah hati'.

*****





Langit tampak begitu gusar di bangkunya. Sejak pulang kemarin, Bintang sama sekali tak ia ketahui kabarnya. Ia ingin mengirim pesan dan menelpon gadis itu. Sebab, ia takut menganggu. Apalagi Bintang sempat mengatakan jika ia ada urusan yang tak bisa ditinggalkan.

Jarak DekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang