04 - Benci Melihatnya sedih

81 9 3
                                    


Teo tidak ada jadual kuliah hari ini dan kebetulan tidak ada rapat ataupun perkumpulan dengan himpunan teknik sipilnya, pukul 10 pagi pria itu baru saja bangun dari tidurnya, Ia berjalan keluar kamar sambil menggaruk perut yang tertutupi kaos oblong putih miliknya. 

"Emang dasar ya, anak raja begini nih kalo diempanin mulu, bangun jam sepuluh, udah tahu libur kuliah. Mama mah udah rapih nyuci piring, masak." 

Kebiasaan mak-mak, anaknya baru bangun aja udah di julidin. padahal belom ngapa-ngapain. 

"ngomel mulu ama anak perawan." sahut Teo kini menuju kulkas dengan setengah sadar, ia mengambil air dingin dari teko dan memindahkannya ke gelas kecil diatas meja makan, pria itu meneguk sekali. Mama yang sibuk mengupas bawang kini melihat nya kesal. 

"Yo, nanti jam sepuluh jemput adin ya. hari ini dia ulangan, jadi pulangnya lebih cepet." Pinta mama lagi dengan nada tidak santai, kenapa sih pagi-pagi begini ibu dua anak udah gerutu aja, pikir Teo. 

"Mah, denger-denger mama nya Mona jadi reseller barang gitu ya." ujar Teo, entah mengapa pria itu suka sekali melempar topik random pada ibu nya yang berujung gibahan.

"tahu dari mana kamu?"

"aku denger dari tukang sayur yang biasa lewat." 

"dasar anak tukang nguping, perjaka gibah mulu kerjaannya." 

Teo mendengus sebal, mamanya tidak merespon dengan baik basa-basinya hari ini, padahal biasanya sang mama adalah wanita yang paling antusias apabila mendengar gosip terbaru dari anaknya. Teo meringsuk atas perlakuan Mama, Ia akhirnya memilih pergi dan segera bersiap berganti baju untuk menjemput adik kecilnya. 


*** 


Masih dengan gaya berpakaian anak santri (baca: kaos oblong putih dan Sarung) beserta motor vespanya kini meluncur ke sekolahan SD tempat Adin bersekolah, pria itu duduk di vespanya sambil menyeruput es mambo yang nggak sengaja ada tukang jualan nawarin ke dia. Ini sudah pukul sebelas, Bel sekolah berbunyi, Teo dapati banyak anak-anak yang berhamburan keluar kelas begitu ramainya, laki-laki itu berusaha menggeledah pandangan dan mencari adiknya. 

"Abang!" teriak Adin melambaikan tangan, se menyebalkan apapun abang dan vespa mendiang ayahnya, Adin tetap menyapa dan emnghampiri kakaknya dengan wajah begitu bahagia, Teo tahu betul kenapa adin seperti itu. 

"Abang, Adin mau jajan tamiya ya bang.." 

Iyalah, pasti adiknya selalu meminta jatah sepulang sekolah, tapi kali ini membuat Teo mendengus kesal. 

"Heh, mana ada orang jajan tamiya, nih kaya abang belinya cuma es mambo." Tepis Teo menunjukkan Es mambo yang tinggal setengah karena ia makan. Adin merajuk, membuat wajah muram disana. 

"Gausah laga-laga ngambeg dah lu, udah kelas empat juga." Lanjut Teo lagi kini memberikan Es mambo di kantong plasitk hitam yang ia sangkutkan di stang motornya. Adin menolaknya, ia berdiri dan menatap Teo tajam. 

"Astaga ini bocah, gua bilangin mamah lu!" 

tiba-tiba saja Adin yang sudah berusia sembilan tahun itu mengeluarkan jurus andalannya, ia menangis didepan sekolah, tepat didepan Teo. Lantas semua orang sekitar termasuk anak anak dan pedagang langsung memusatkan perhatian pada pria itu. Apa-apaan ini, memangnya Teo seorang penjahat?

"Pulang-pulang gelud lu sama gua, Din"


***

LIMA RIBU SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang