09 - Batas yang jelas

70 11 10
                                    

Sekarang sudah pukul duabelas malam dan Teo masih duduk termangu di Warkop depan SD serta ditemani segelas kopi hitam. Pandangannya hanya tertuju pada ponsel di genggamannya. Tidak ada pesan masuk dari siapapun di ponselnya, termasuk Senja. Persetan dengan apa yang sedang Senja lakukan sekarang Ia sudah terlanjur kesal dan tidak peduli sama sekali dengan keadaan gadis itu.

Meskipun gadis itu sering mengomel, menghujat, tak segan bertindak kasar, tapi yang satu ini cukup memberikan pengaruh besar dalam kesadaran benaknya. Bagaimana bisa Senja bertanya eksistensi Teo dalam hidupnya, pertemanannya? Dipikir Teo berteman cuma seminggu dua minggu? Kenapa gadis itu sangat kejam dengan kata-kata yang sangat mudah keluar dari mulut nya.

Apakah dirinya harus membuat dinding lagi seperti sebelumnya? setelah ia susah payah menghancurkan sendiri dinding yang ia buat. Harus kah dia membuat jarak? ah tapi tidak bisa karena dirinya sudah terlalu biasa dengan ada nya senja didalam kehidupannya. 

Senja sialan, bisa-bisanya membuat orang paling tampan se-UPB uring-uringan di warkop. 

***

Teo bangun kesiangan, mata kuliah pagi ini terlewat begitu saja namun pria itu masih santai sambil memandangi jendela dengan tatapan entah berfokus dimana, hari ini ia tidak memiliki semangat kuliah seperti biasanya, hari-hari seperti ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya.

knock-knock... 

Teo menoleh pada pintu kamarnya, "Siapa?"

"Abang, kata mamah disuruh bangun, disuruh kuliah." 

"Bilangin  mama abang lagi sakit" jawab Teo sekenanya, ia tak beranjak dari dekat jendela. 

"Sakit apa? yang jelas dong."

"Hati." 

Terdengar lagi suara sepatu Adin melangkah menuju tangga, adik kecilnya itu langsung melaporkan pada sang mama. Pria itu beralih pada ponselnya, hanya berisi grup chat yang nggak penting-penting banget untuk di scroll tapi tak lama kemudian Teo langsung membanting ponselnya. pikirannya kacau pagi ini. 

Laporan Adin sampai dengan sukses ke Mama, membuat mama nampaknya kesal dengan jawaban Teo tidak mau kuliah hanya karena penyakit remaja. Sang mama kini tanpa basa-basi membuka pintu kamarnya, menatap Teo yang kini menoleh dengan pandangan sayu, ia melihat sang anak memang memasang raut yang tidak baik-baik saja.

Niat hati ingin mengomel, Mama langsung diam dan menatap Teo sedih, siapa lagi yang membuat Teo sampai seperti orang Anemia begini kalau bukan tetangga beda gangnya -- Senja. Padahal semalam baru saja Teo berlari kencang menuju motornya hanya untuk menghampiri Senja. 

"Teo lagi nggak mood kuliah, Mah." Jawab Teo yang sudah tidak peduli dengan respon sang mama.

"Kamu pulang jam berapa semalem, Yo? kok anak mama kayak kurang darah sih, pucet kaya mayit." ujar sang mama kini melangkah dan mendekati. 

"kurang kasih sayang mah.." Gumam Teo, sang Mama kini memeluknya. Anaknya ini hopeless romantic sekali. lagipula siapa yang tidak tahu sih kalau anak sulung nya tergila-gila dengan gadis yang bernama Senja.

"Kalian yang temenan kok mamah yang khawatir sih, Yo" tegur mamah mengusap pundak Teo. Biarpun anak kedua, pria itu memiliki sikap yang masih sangat manja kepada sang mamah. Sang Mamah kini memegang kedua lengan Teo, tangan kanannya berlanjut mengusap rambut sang anak. 

"Udah ya, Sarapan dulu." 

***

Senja tidak jadi menginap dikosan Yumna, Ia memilih langsung pulang kerumah setelah pertemuannya dengan salah satu kolega Rengga membuatnya jadi tidak khawatir lagi. Gadis itu masuk kuliah seperti biasanya, tapi hari ini ia harus menggunakan Ojek Online karena tidak mungkin ia menghubungi Teo setelah pertengkaran nya kemarin, tidak tahu malu sekali jika ia menghubungi Teo untuk minta tebengan setelah dirinya mengusir Teo, terlebih ia sadar bahwa perkatannya kemarin cukup membuat sakit hati pria itu, paling-paling itu hanya bertahan beberapa hari dan akan kembali seperti semula. 

LIMA RIBU SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang