O8. Strawberry Milkshake

103 21 4
                                    

Aku takut disebut terlalu perasa, hanya karena ternyata perlakuanmu padaku adalah hal yang biasa.

🌸  Tanya Fajar  🌸







"Peraturan pertama, ga ada acara bolos kelas lagi."

"Hah?" Fajar melongo. Iris kelamnya menatap sosok gadis yang ada di hadapannya lekat, seakan berkedip sedikit saja gadis itu akan menghilang setelah mendengar kalimat pertama yang diucapkan Tanya begitu sampai dan duduk di kursi meja yang sama namun berseberangan dengannya.

Keduanya saat ini ada di cafe di dekat apartment Fajar karena janji temu mereka kemarin. Tanya memilih hari Minggu agar waktu diskusi mereka lebih panjang. Namun walaupun Minggu, karena masih pagi maka tempat itu cukup sepi.

Awalnya Fajar mengira kalau gadis itu akan melunak dan setidaknya membiarkan dirinya memesan makan terlebih dahulu, lalu mungkin mereka bisa melanjutkan seharian itu dengan lebih santai.

Fajar menggelengkan kepala, berusaha menepis pikirannya yang sejak tadi bercabang.

"Gamau? Yaudah gue pulang," ucap Tanya ringan meraih tas yang ada di kursi kosong sebelahnya saat melihat Fajar menggelengkan kepala.

"Eh bukan!" sanggah Fajar terburu-buru tak ingin Tanya salah paham. "Gue tadi lagi mikirin yang lain."

"Oh lo mikirin hal yang lain bahkan disaat kita belum mulai belajar?" balas Tanya dengan nada galak.

"Engga. Sorry. Ga maksud kaya gitu, beneran," terang Fajar gelapan. Gadis berparas jelita itu selalu membuatnya salah tingkah. Kadang galak, kadang lucu, kadang polos, kadang perhatian, dan kadang bisa membuat Fajar yang sebelumnya tidak pernah takut pada apapun merasa gentar.

"Jadi?"

"Oke. Ga bolos lagi," ucap Fajar pasrah.

"Peraturan kedua gue ngajarin lo tiga hari seminggu. Kalau bisa di tempat yang ga bayar aja kaya perpus, kelas, atau kantin. Jangan ditempat kaya gini yang ada mahal di jajannya," ucap Tanya dengan wajah serius.

"Gue yang bayar," tawar Fajar.

"Nanti gue gendut."

"Yaudah iya. Kalau di apart gue gimana?"

"Ada orangnya?" tanya gadis itu seraya menyortir nama-nama menu yang diberikan pelayan cafe beberapa saat yang lalu.

"Engga."

"Skip."

"Ko gitu?" tanya Fajar.

"Kalau gue lo apa-apain gimana?" jawab Tanya sewot, mengubah arah pandangannya tepat tertuju pada mata Fajar.

"Ga bakal gue apa-apain lah. Emang lo secakep apa sih?" jawab Fajar jengah.

Walaupun dalam hati ia mengakui, kalau gadis yang saat ini tengah menyebutkan pesanannya pada pegawai cafe sangat cantik. Mata bulat yang entah kenapa kesannya bersinar, rambut hitam panjang yang terlihat halus, bibir penuh dengan warna yang cukup merah tanpa perlu dipoles, tulang hidung tinggi dengan ujung lancip yang semuanya terbingkai rapi di wajah kecilnya. Gadis itu, cantik.

Tapi bukan berarti hanya karena bertemu dengan gadis cantik ia langsung jadi pemuda brengsek kan? Fajar, tidak serendah itu. Ia masih normal. Tipikal pemuda baik-baik.

"Jar!" panggil Tanya menyadarkan Fajar dari lamunannya.

"Eh iya kenapa?" jawab Fajar cepat.

"Lo sakit? Ngelamun mulu? Mba-nya dari tadi nanya, lo mau mesen apa."

Tanya FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang