zakatt

16 2 0
                                    

[4/5 14:46] +62 813-2234-8580: *BOLEHKAH PANITIA ZAKAT FITHRI MENERIMA TITIPAN UANG UNTUK BELI BERAS*

Oleh Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA.

Pertanyaan. Apakah termasuk jual beli di masjid, bila panitia zakat fithri juga melayani pembayaran zakat fithri dengan uang setara dengan zakat fithri 3 kg, dengan akad titip uang kepada panitia untuk dibelikan beras di pasar. Akad tersebut dilakukan di dalam masjid, apakah cara seperti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apakah kami harus tegas hanya menerima zakat fithri dalam bentuk makanan pokok saja dan tidak menerima titipan uang untuk dibelikan zakat fithri seperti yang kami uraikan diatas ? Dan kami mengambil kebijakan seperti itu (hanya beras, tidak menerima titipan uang) sebenarnya juga bisa atau tidak ada halangan, atau apakah dalam masalah ini ada kelapangan atau boleh-boleh saja.? Mohon pencerahan ustadz. Jawaban. Penitipan seperti ini tidak terlarang jika dilakukan di masjid, karena ini tidak termasuk jual beli. Akad seperti ini disebut wakâlah, sementara yang terlarang di masjid adalah jual-beli. Dengan demikian, pembayar zakat mewakilkan kepada panitia untuk membelikan beras atau yang sejenisnya sebanyak zakat yang wajib ia keluarkan dan selanjutnya diberikan kepada yang berhak. Karena itu panitia hanya menerima uang dan tidak menyediakan beras. Akad wakâlah ini karena tidak bertujuan komersial dan hanya bertujuan sosial, yaitu memudahkan dan membantu para pembayar zakat, maka tidak mengurangi kesucian masjid. Namun jika transaksi itu benar-benar jual beli sehingga panitia menyediakan beras, kemudian setiap pembayar zakat membeli beras dari panitia. Setelah membeli beras, pembayar zakat mewakilkan penyerahan beras zakat tersebut kepada panitia. Bila kasusnya demikian ini, maka ini adalah praktek jual-beli di masjid, dan tentu ini terlarang, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ Bila kalian mendapatkan orang yang menjual atau membeli di masjid, maka ucapkan kepadanya: semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ________ Footnote [1]HR. Tirmidzi, no.1321, Hadits ini dihukumi shahih oleh syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani

Referensi: https://almanhaj.or.id/5214-bolehkah-panitia-zakat-fithri-menerima-titipan-uang-untuk-beli-beras.html
[5/5 14:33] +62 813-2234-8580: *MEMBAYAR ZAKAT FITHRI, QURBAN DAN AQIQAH DENGAN UANG*

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum menyerahkan uang senilai zakat fithri, senilai binatang qurban dan aqiqah untuk membeli makanan atau kambing yang disembelih di negara lain dan dibagikan kepada orang-orang faqir disana? Jawaban. الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسول الله نبينا محمد وعلى آله وصحبه وبعد‏: Allah Azza wa Jalla berfirman : وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” [1]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‏مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا؛ فَهُوَ رَدٌّ‏ “Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak”. [HR Imam al Bukhari] Pada zaman ini, ada sebagian orang yang berusaha merubah ibadah dari ketentuan syar’i. Dalam hal ini, terdapat banyak contoh. Misalnya, zakat fithri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mengeluarkan zakat dari makanan di negara yang seorang muslim bermukim, pada akhir bulan Ramadhan. Zakat itu diserahkan kepada para fakir miskin di negeri itu [2]. Lalu ada orang yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang sebagai ganti dari makanan. Ada lagi yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang untuk membeli makanan di negeri lain yang jauh dari negeri pemberi zakat dan dibagikan disana. Ini termasuk bentuk merubah ibadah dari ketentuan syari’at. Zakat fithri memiliki waktu tertentu untuk mengeluarkannya, yaitu malam hari raya atau dua hari sebelumnya, menurut para ulama. Begitu juga (zakat fithri) memiliki ketentuan daerah untuk membayarkannya, yaitu di tempat seorang muslim menghabiskan bulan (pada Ramadhan) tersebut. Dalam (membagikan) zakat, juga terdapat kekhususan yang berhak menerimanya. Yaitu orang-orang miskin di negeri tersebut. Dan (zakat fithri) juga mempunyai ketentuan jenisnya, yaitu makanan pokok. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi kriteria-kriteria ini. Jika tidak, maka zakat itu termasuk ibadah yang benar dan juga tidak bisa melepaskan seseorang dari beban. Para imam yang empat telah sepakat tentang wajibnya mengeluarkan zakat fitrah di negera tempat si pemberinya berada, selama di negara itu ada orang yang berhak. Hai-ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Saudi juga sudah mengeluarkan ketetapan. Ketentuan ini seharusnya diperhatikan, dan jangan terpengaruh dengan seruan orang untuk melanggarnya. Karena seorang muslim seharusnya antusias untuk melepaskan dirinya dari beban dan berhati-hati demi agamanya. Demikian (juga dengan) seluruh ibadah, semuanya harus ditunaikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis, waktu dan pelaksanaannya. Tidak boleh merubah jenis ibadah yang telah disyari’atkan Allah Azza wa Jalla kepada jenis yang lain. Contoh lain, yaitu fidyah puasa yang berkaitan dengan orang yang sudah tua dan sakit parah, sehingga tidak bisa melaksanakan ibadah puasa. Allah Azza wa Jalla mewajibkan kepada mereka untuk memberikan makan satu orang fakir sebagai ganti puasa satu hari. Allah berfirman : وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ، فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. [3] Begitu juga memberikan makanan dalam masalah kaffarah, seperti kafarah zihar (menyamakan punggung isteri dengan punggung ibu), kaffarah karena melakukan hubungan suami isteri saat siang bulan Ramadhan dan kaffarat sumpah. Begitu pulalah mengeluarkan makanan untuk zakat fithri. Semua jenis ibadah ini harus menyerahkan makanan, tidak cukup dengan cara mengeluarkan uang. Karena (membayar dengan uang) itu termasuk merubah ibadah dari jenis yang diwajibkan. Karena Allah Azza wa Jalla mengatakan “dengan memberikan makanan.” Oleh karena itu, wajib berpegang dengannya. Barangsiapa yang tidak berpegang dengannya, berarti dia telah merubah ibadah dari jenis yang diwajibkan. Begitu juga dalam masalah al hadyu (denda dalam ibadah haji), kurban dan aqiqah kelahiran. Pada ibadah-ibadah ini, pelaksanaanya ialah harus dengan menyembelih jenis binatang ternak yang memenuhi syarat, tidak cukup dengan mengeluarkan uang atau menyerahkan shadaqah senilai harganya, karena menyembelih itu merupakan ibadah. Allah berfirman : فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah”.[4] Allah berfirman : قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Katakanlah : “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”.[5] Memakan daging sembelihan ini, juga menyedekahkannya adalah ibadah. Allah berfirman : فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”. [6] Sehingga tidak boleh dan juga tidak cukup hanya dengan menyerahkan uang senilai atau bershadaqah dengan uang, sebagai ganti dari menyembelih. Karena ini termasuk merubah ibadah dari jenis yang diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla. Sedangkan hewan sembelihan ini harus disembelih di tempat yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Al hadyu (hewan yang dihadiahkan ke Makkah. Pemberian ini, ada kalanya karena melakukan pelanggaran, maka pemberian ini disebut Dam, sedangkan yang bukan karena pelanggaran tetap namanya Al hadyu) disembelih di al Haram (Mekkah). Allah berfirman : لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”. [7] Allah Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang sedang mengenakan pakaian ihram yang membawa al hadyu : وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ “dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai ke tempat penyembelihannya”. [8] Sedangkan dalam masalah qurban dan aqiqah, maka keduanya disembelih di negara si pelaku dan di rumahnya, dia makan dan bershadaqah dengannya. Tidak memindahkan dengan mengirim uang yang setaraf nilainya untuk dibelikan hewan sembelihan di negara lain, sebagaimana yang dilontarkan sebagian penuntut ilmu yang baru belajar atau sebagian orang awam, dengan alasan di sebagian negara (lain) terdapat orang-orag miskin yang membutuhkan bantuan. Kami katakan, menolong kaum Muslimin yang membutuhkan bantuan diperintahkan di manapun tempatnya. Akan tetapi, ibadah yang Allah perintahkan agar dilakukan pada tempat tertentu, tidak boleh dipindahkan ke tempat lain. Karena (perbuatan seperti) ini termasuk salah satu bentuk merubah ibadah yang telah disyari’atkan Allah Azza wa Jalla. Mereka membuat kegelisahan di masyarakat, sehingga sering menanyakan masalah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirimkan al hadyu agar disembelih di Mekkah, padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam muqim (tinggal) di Madinah[9], dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih qurban dan aqiqah di rumahnya di Madinah, tidak dikirim ke Mekkah, padahal Mekkah lebih baik daripada Madinah. Dan di Mekkah juga banyak orang fakir, yang terkadang lebih membutuhkan bantuan dibandingkan orang-orang fakir di Madinah. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang dengan tempat yang telah Allah syari’atkan untuk melaksanakan ibadah itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembelih al hadyu di Madinah, dan tidak mengirimkan qurban dan aqiqah ke Mekkah. Rasulullah menyembelih masing-masing jenis pada tempat yang disyari’atkan. Ya, memang tidak mengapa mengirimkan daging yang melimpah yang berasal dari hadyut-tamattu' dan hadyut-tathawwu', -tapi bukan yang berasal dari hewan tebusan- juga bukan yang berasal dari qurban ke negeri yang membutuhkan. Akan tetapi penyembelihannya tetap dilakukan di tempat (daerah) yang telah disyari’atkan. Barangsiapa yang ingin membantu saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan bantuan di negara lain, maka hendaklah dia membantunya dengan harta, pakaian dan makanan, atau segala sesuatu yang bermanfaat. Sedangkan ibadah, maka dia tidak boleh dirubah dari waktu dan tempatnya, (meski) dengan alasan membantu orang-orang di tempat lain yang membutuhkannya. Rasa kasihan tidak serta merta dengan (cara) merubah din (agama) dan ibadah. Wa shallahu ‘sla Nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi wa sallam.

Istiqomah Di jalan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang