Perjalanan kesembilan

11 0 0
                                    

Grepp

Semesta, aku mau kau berhentikan waktu barang sejenak. Detik ini juga aku ingin tetap seperti ini. Didekap laki-laki rapuh yang ditinggal ibunya.

Jantungku tetap kuat ya, setidaknya sampai detik selanjutnya, selanjutnya lagi, dan selanjutnya.

Ia memeluk ku. Memeluk tubuh mungil ku. Membanjiri ku dengan air mata kedukaan. Aku masih diam terpaku. Ingin sekali ku balas peluknya, namun...

"Will.. Sudah ya jangan menangis lagi"  ku balas pelukan Willem.

Dia lepaskan pelukan itu, dan ku tangkupkan tangan ku diwajah tegasnya. Tidak, kini wajah tegas itu telah berubah menjadi wajah lusuh penuh derita.

"tersenyum ya. Ikhlaskan ibumu. Kamu pernah bilang kan pada ku. Kita harus siap dengan part Yang disediakan semesta. Kehilangan, kesedihan hanya satu diantara ribuan hal yang disediakan semesta untuk kita. Ibu mu pasti bahagia disana. Ya"

Entah ku dapat kekuatan itu dari mana. Sepertinya aku tak kuasa menahan diri ku untuk melakukan semua hal sekarang. Semua kehendak otak ku. Ahh bukan, ini kehendak hati ku.

....tetaplah disisi Willem, Arsy. Dia butuh kamu, butuh....

Aku memandang wajah itu. Beberapa detik kemudian ia mengangguk tanda mengerti dengan apa yang ku ucapkan.

***

Ngiiingg

"Willem putra kecil ibu, tetap bersamanya ya. Sebentar lagi kamu akan mendapat cahaya"

Sebentar, aku seperti mendengar sayup-sayup suara. Kulihat disekitar pemakaman ini masih sepi, dingin, awan sepertinya masih betah menghiasi langit Jogja dengan warna hitamnya.

"ibu!!!"

...jangan kau merutuki senja yang hilang. Pandanglah langit yang masih menetap...

"Willeem.. Willemm.. Suutt heii Willem. Kenapa kau triak?"

Ada apa dengan ku ini tuhan. Suara itu masih saja sering kudengar. Sebenarnya siapa wanita yang membawa cahaya itu?

"sepertinya kamu lelah Will. Mari kita pulang. Lagi pula langit mulai mendung, hujan akan segera turun"

Kami memutuskan untuk keluar dari area pemakaman ibu. Aku pamit bu, sepertinya aku belum siap untuk berlama-lama disini

... Lihatlah hujan, tangan mereka bergandengan. Sepertinya sudah saatnya kita turun. Membasahi bumi dengan air segar, bukan air mata...

Breeesss

***

"Will kita neduh disana aja ya. Kayaknya makin deras deh"

"iya"

Hujan dikota Jogja sore ini lumayan deras. Untung saja kami sudah keluar dari area pemakaman. Sebentar lagi magrib menjelang. Aku dan Willem memutuskan untuk berteduh di masjid terdekat.

Kulit putih Willem terlihat pucat ku rasa ia kedinginan. Wajahnya menatap lurus kedepan seperti menerawang sesuatu.

"emm Will"
Suara lirih ku membangunkannya dari lamunan.

"aku kedalam dulu ya. Aku mau solat magrib. Nanti setelah solat magrib kita pulang"

"iya Arsy" Willem memandang ku dalam dan mengukir kembali bulan sabit dibibirnya

...Apakah kita terus mengguyur bumi hingga esok? Sepertinya yang kuasa sebentar lagi hendak memberhentikan kita...

***

Willem & ArsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang