Mungkin, kita hanya di pertemukan kembali, tanpa ada sesuatu yang terjadi.
***
Hari ini kelas XI IPA 5 pelajaran olahraga, Malik segera mengganti pakaian dan turun ke lapangan untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Cuaca kali ini sedang bersabat dengannya. Mendung.
Ternyata mentari menipunya. Lama-kelamaan sang surya menampakkan cahayanya. Refleks Malika menggaruk-garukan tangannya.
"Dinar temenin gue ke UKS yuk," ucap Malika sudah tidak tahan dengan rasa gatal di tubuhnya.
"Aduuh gimana ya, ini kan penilaian."
"Yaudah deh gue sendirian."
Sebenarnya Malika bukan cewek lebay yang takut panas. Tetapi ini adalah alergi yang sudah di deritanya sejak kecil.
Sudah menjadi kebiasaan. Setiap kali pelajaran olahraga pasti Malika akan pergi ke UKS. Bukan ingin nongkorong karena malas atau takut panas, Malika hanya ingin mencari obat oles untuk mengurangi rasa gatalnya.
Guru penjasnya sudah mengerti. Jika seperti ini maka Malika akan melakukan olahraga nanti di lapangan tertutup. Biasanya kalau cuma berlatih ditemani Dinar. Kalau penilaian seperti ini ya, hanya dengan guru olahraganya.
Malik yang sedari tadi memperhatikan kepergian Malika dibuat bingung. Tidak ingin pusing sendiri Malik mencoba bertanya kepada Dodi, "Malika kenapa tuh kaya gitu?"
"Malika? Dia katanya kalau kepanasan itu badannya gatal- gatal. Agak aneh sih menurut gue. Tapi itu kenyataannya."
Malik mengangguk mengerti.
Setelah menghabiskan waktu jam pelajaran pertamanya selama tiga jam berada di lapangan yang cuacanya sangat menyengat badan, Malik segera berganti pakaian dan ke kantin untuk menyegarkan tenggorokannya.
Kepergian Malika ke UKS tadi ada yang membuatnya janggal, dia tidak kembali lagi. Hal ini membuat rasa keinginan tau Malik meningkat.
Penuturan Dodi tadi membuatnya ingin bertanya langsung kepada cewek itu.
Kebetulan gadis itu jalan sendirian dan sepertinya dia akan menuju tempat yang diduduki oleh Malik.
"Ehh Malik, gue boleh duduk di sini?"
Bukannya mempersilakan duduk, pemuda itu malah menarik paksa lengan Malika.
Malika terkejut akan hal itu. Dia meringis kesakitan karena genggaman Malik sangat keras. Dia tidak tau akan dibawa ke mana.
"Malik lepasin, kita mau kemana sih?" tanya Malika was-was.
Malik tidak menjawab. Dia malah menambah laju langkahnya. Melewati koridor dengan banyak pasang mata menatap mereka berdua bingung.
Malik melepaskan pegangannya dari tangan Malika, "Lo kenapa tadi?"
"Gue ka ... pan," jawab Malika mencoba tidak serius.
"Kata Dodi lo punya alergi gatal kalau kena panas," tanya Malik penuh interograsi.
Tatapan Malik yang tajam membuat Malika sulit bernapas, apalagi dengan jarak hanya sejengkal."I ... ya e ... mang kenapa?"
"Kenapa semua hal tentang sahabat kecil gue itu ada di dalam diri lo!"
"Ya kebetulan kali," ceplos Malika.
Pemuda itu melepaskan tatapannya. "Gue mau tanya sama lo, lo kan yang kasih gue surat? Apa maksud lo kasih kaya gituan."
"Gue mau minta maaf sekaligus terima kasih sama lo."
"Lo nggak usah lakuin itu."
"Kenapa? Malu? Karena sebenarnya lo mau minta maaf tapi gengsi?"
Inilah sifat Malik yang tidak berubah dari kecil. Selalu menganggap dirinya benar walaupun melakukan kesalahan.
"Apa mau lo!"
"Jadi pacar lo."
"Udah gila lo? Lo pikir gue senang sama pengakuan lo itu!"
Malika tersenyum menyeringai. "Gue nggak minta lo untuk terima, tapi gue senang bisa ngeluarin kata yang sebelumnya cuma gue pendam dalam hati. Sekarang gue merasa lega Malik."
Malik tak menghiraukan perkataan Malika, dia memilih pergi dari tempat itu. Pemuda itu masih tidak percaya gadis itu akan mengungkapkan perasaannya secara terang terangan.
****
Akhir-akhir ini Malik sering pulang malam. Bukan pergi ke tempat diskotik melainkan danau, yang sering dia kunjungi setiap kali ingin merasakan kesunyian.
Disini dia bisa bercerita tentang masalahnya, walaupun tidak ada yang mendengarkannya. Tempat ini juga sebagai mengobati rasa rindu kepada sahabat kecilnya.
Pernah tahun lalu Malik mengunjungi tempat yang dulu dia tinggali, tetapi kata tetangga setempat sahabatnya itu sudah pindah bersama keluargnya entah ke mana. Dan menurut informasi dari pemilik rumah yang sekarang mereka pindah ke luar kota. Tetapi dia tidak meyebutkan nama kotanya.
Malik menjadi bingung, di sekolahnya sekarang dia merasa menemukan Ara sahabat kecilnya.
Ya dia Malika. Memang dari segi wajah dia mirip dengan sahabatnya. Tetapi dari sifatnya pemuda itu ragu. Hal yang paling Malik benci adalah ada perempuan yang mengungkapkan tentang perasaannya secara gamblang. Menurutnya wanita tidak pantas mengejar melainkan dikejar.
Waktu sudah hampir tengah malam. Malik bangkit dari duduknya dan pulang ke rumah. Ketika sudah sampai di depan rumahnya pintunya terkunci. Sudah Malik duga, dia segera membukanya dengan kunci yang selalu dia simpan di kantong jaketnya.
Lampu di semua ruangan sudah padam. Malik pikir orang rumah sudah tidur.
"Dari mana kamu?" ucap seseorang, membuat Malik menghentikan langkahnya.
Pemuda itu berbalik badan menghadap Reno, ayahnya. "Bukan urusan Anda," jawabnya datar.
"Kamu itu anak saya, jadi kamu masih menjadi tanggung jawab saya," ucapnya tegas.
"Anak mana yang senang kalau orang tuanya berpisah?"
Ya orang tua Malik memang sudah satu atap. Mungkin hal ini yang menyebabkan sifat Malik berubah.
Siska. Itu adalah nama ibunya. Wanita yang kejam menurut Malik. Bagaimana bisa ada seorang ibu yang meninggalkan anaknya yang masih belia, memilih untuk pergi selamanya. Bukan meninggal, melainkan pergi dan tak pernah menemuinya lagi. Hanya sekedar melihat keadaan anaknya pun tak pernah sama sekali.
Entah apa yang ada di benak mereka. Lebih mementingkan kepentingan pribadi, tinimbang menjalin keluarga yang harmonis.
"Ini sudah menjadi keputusan kami, jadi kamu harus menerimanya," ucap Reno menaikkan nada bicaranya.
"Menerima? Kalau saya tau endingnya akan seperti ini, saya menyesal hidup di keluarga ini."
Plaakk ....
Satu tamparan keras melayang di wajah Malik. Dia sudah biasa mendapat hal itu. Bukannya meminta maaf, ayahnya itu akan melakukan hal yang sama ketika dia menyaggah perkataannya.
Malik sebenarnya ingin hidup sendiri. Tetapi tidak bisa dia lakukan, selain tidak mempunyai biaya hidup dia juga butuh fasilitas yang ayahnya berikan. Hanya bisa menerima walaupun dalam hati menolak.
Thank you♡.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malik dan Malika (SELESAI)
Подростковая литератураBagi Malik, Malika adalah kado terindah yang di berikan Tuhan kepadanya. Sedangkan bagi Malika, Malik adalah tembok besar pelindung baginya. Suatu ketika Tuhan merenggut kebahagiaan mereka. Perpisahan tidak membuat kisah mereka berujung. Semasa pu...