17. SULIT

44 5 0
                                    

Kamu tidak melakukan kesalahan, tetapi mengapa aku merasa, kamu selalu salah di mataku?

***

Bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, seorang gadis sedang menatap gerbang yang sudah ditutup itu. Kali ini bukan hanya bangun kesiangan, telat juga harus dia rasakan. Mungkin hari ini dia tidak bisa mengikuti pelajaran, karena tak diijinkan masuk. Itulah peraturan di sekolahnya.

Malika mencoba berpikir, bagaimana caranya dia memasuki kelas, tanpa diketahui oleh guru dan satpam.

Sebuah ide muncul. Dia beranjak menuju tembok belakang sekolah. Karena tidak terlalu tinggi, dia pikir mudah. Ternyata tidak, ini pertama kalinya memanjat tembok. Sebuah tangga bensender di sampingnya berdiri. Hari baik menyelamatkannya.

Malika melihat sekeliling ada yang melihatnya atau tidak. Gadis itu mengendap-endap sampai lantai dua kelasnya. Saat di ambang pintu, dia bersyukur belum ada guru yang masuk.

Helanaan napas panjang terdengar. "Telat?" tanya Dinar.

Malika meletakkan tasnya."Menurut lo?"

"Pantes sih, tidur aja larut malam."

"Tapi gue enjoy tuh."

"Sampai kapan? Lo tuh harus sayangin diri lo sendiri. Bukan cuma perhatian sama orang lain," ucapnya melirik sinis ke arah Malik.

Percakapan mereka harus terhenti karena bu Dina, guru matematika memasuki kelasnya.

Waktu istirahat dimanfaatkan Malika untuk memberi makanan yang dia buat dari rumah kepada Malik.

"Malik, kali ini gue bawain sesuatu yang beda buat lo."

"Gue mau ngomong sama lo."

"Apa? Bilang aja."

Malik melirik sekitar, "Bukan disini, ikut gue."

Pemuda itu berjalan cepat di depan, Malika mencoba mensejajarkan langkahnya, "Ada apa sih? Apa yang lo mau omongin sampai harus menjauh gini?"

Ternyata Malik membawanya ke taman. Tempat yang sepi sekaligus nyaman. "Berhenti jadi asisten gue."

Malika menaikkan sebelah alisnya,"Kenapa?"

"Gue nggak mau semua orang anggep gue cuma manfaatin lo."

"Tapi gue ikhlas, lakuin ini."

"Ikhlas? Nggak ada orang yang lakuin hal bodoh kaya lo, kalau nggak ada maunya. Lo tuh munafik, Malika. Lo kaya gini supaya gue luluh sama lo, kan?"

"Bagus, kalau lo udah peka. Gue emang udah tempatin hati gue ke lo. Gue nggak bisa nyangkal hal itu. Gue emang munafik! Kaya yang lo bilang. Gue lakuin ini supaya bisa dapetin simpati lo."

"Gue nggak butuh itu."

"Tapi gue butuh."

"Kalau lo emang suka sama gue, biar waktu yang nentuin. Jangan jadiin diri lo seolah-olah perempuan gampangan."

Malika kira yang dilakukannya ini tak merugikan siapa-siapa. "Biarin, semua orang anggep gue apa. Terserah mereka. Apakah kita hidup untuk mikirin perkataan orang lain? Dulu emang gue mikir gitu. Tapi setelah gue pertimbangin ternyata perkataan orang hanya membuat kita berjalan buntu. Susah buat jalanin apa yang kita mau."

"Mau lo apa?"

"Lo udah tau, gue akan tunggu sampai lo jawab iya."

"Kalau gue nggak akan jawab iya, apa lo akan tetap bertahan."

"Gue nggak tau, untuk sekarang gue masih mau bertahan. Untuk besok atau seterusnya gue harap akan seperti ini."

Malik menjadi sedikit luluh dengan perkataan Malik, tetapi hatinya sulit untuk membalas perasaan gadis itu.

Malika tau untuk memikat hati Malik sangatlah sulit, itu bukan berarti dia akan berhenti sampai di sini.

****

Siang ini, Malika tidak ke kantin, dia memilih memakan makanan yang Malik tolak tadi. Salad buah. Malika pikir, Malik akan menerimanya dengan senang hati karena ini termasuk kesukaannya. Nyatanya, kini dia sendiri yang harus menghabiskannya.

"Kasian banget sih, ditolak lagi sama Malik?" ucap Lyora angkuh.

"Masalah buat lo?"

"Heeh Malika, lo tuh sadar diri dong. Malik nggak bakal terima cinta lo. Mau sampai kapan lo ngemis-ngemis?"

"Gue bukan ngemis, yang gue lakuin ini perjuangan. Gue bukan lo, yang hobinya mengusik kehidupan orang."

"Lo pikir gue peduli?"

Lyora memang selalu membuatnya geram. Dia harus menjaga perkataannya. Kali ini Malika tidak akan terjebak oleh drama yang di buat Lyora. "Lo harus peduli, suatu saat nanti Malik bakal bales perasaan gue."

"Sampai kapan lo ngehayal?"

"Sampai khayalan gue jadi kenyataan."

****

Jam pelajaran terakhir, Malika tidak fokus. Sekarang yang ada dipikiran Malika, hanyalah seorang Malik. Memikirkan bagaimana cara membuat pemuda itu sedikit meleleh.

Batu yang terkena panas, lama kelamaan pasti akan lapuk. Begitu pula dengan hati, jika sering di lunakkan pasti akan lentur sendiri.

"Malika sedang memikirkan apa kamu?" tanya bu Heny di depan yang sedang mengajar.

Dia duduk di depan pojok, jadi sekali saja dia melamun pasti ditegur. Lirikan tajam Bu Heny akan tertuju padanya. "E ... nggak Bu."

"Kalau mengantuk, cuci muka dulu sana. Jangan ganggu jam pelajaran saya."

Malika menuruti perintah gurunya itu. Dia berjalan menuju kamar mandi, karena kran di depan kelas mati.

Saat di tengah jalan, ternyata Malik berada di belakangnya. "Malika," panggilnya.

Langkah Malika berhenti, dilihatnya sekitar sepi, tetapi dari mana suara itu? Malika menoleh ke belakang, "Malik?" sahutnya.

"Gue ingetin sekali lagi, jangan lakuin hal-hal yang nantinya akan jadi beban bagi gue, ya."

"Maksud lo?"

"Gue nggak mau lo nggak fokus sama pelajaran kalau gara-gara gue. Gue tau sikap lo yang berubah, karena gue, kan? Seharusnya lo nggak usah lakuin itu. Di sini gue merasa cowok paling jahat, membiarkan perempuan melakukan hal yang nggak seharusnya."

"Tapi gue nyaman."

"Nyaman atau nggak. Secara nggak langsung itu juga berdampak buruk bagi kita. Gue sekolah bukan untuk cari gara-gara. Gue juga nggak mau lo semakin sakit atas sikap gue ke lo."

Malika segera ke kelasnya mengurungkan niatnya mencuci muka.

Thank you♡.

Malik dan Malika (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang