Sikapmu membuatku bingung harus tetap maju atau mundur?
***
Sudah beberapa tisu berserakan di kamarnya. Bukan menangis tetapi Malika bersin dari tadi. Dia terlalu banyak minum Ice cream. Sehingga hidungnya mengeluarkan cairan terus- menerus.
Suara gesekan pintu terdengar. Itu artinya ibunya sudah pulang dari kerjanya. Sudah dua hari ibunya tidak ke rumahnya. Rina, ibunya memasuki kamarnya dan mengusap pucuk rambut Malika lembut.
Malika masih bisa merasakannya, dia pura-pura tidur.
"Malika, mama akan selalu lakuin apa aja buat bikin kamu bahagia. Sehat selalu sayang," ucapnya setelah itu beranjak.
Malika membuka selimutnya. Betapa bekerja kerasnya ibunya untuk membahagiakannya. Cairan tiba-tiba saja menetes dari matanya. Gadis itu segera melaksanakan niatnya yang sempat tertunda, menelpon sahabatnya Dinar.
"Hallo."
"Iya dengan siapa? Disini dengan Dinar, ada yang bisa saya bantu?"
Malika bedecak. "Malaikat pencabut nyawa lo!"
"Serem sih lo kebo!"
"Gue kan udah bilang, kalau gue yang telpon jangan pake kaya gituan."
"Lo kan, tau ini tradisi keluarga gue, ada apa emang?"
"Besok kayanya gue nggak berangkat deh."
"Lo kenapa?"
"Gue flu."
"Tuh kan tadi gue udah peringatin lo, ngeyel sih."
"Yaudah lah, udah terlanjur juga."
Tuuutt
Untuk saat ini, dia tida ingin mendengarkan ocehan sahabatnya itu. Lebih baik tidur, berharap kesehatannya membaik.
Di sisi lain, Malik masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Harapan untuk tidak bermasalah di sekolah barunya hanyalah anganan semata. Nyatanya masalah selalu membuntutinya di mana pun dia berada.
Pemuda itu membaringkan badannya ke kasur. Tengkurap, telentang, sudah dilakukannya. Tetapi netranya sulit untuk dipejamkan.
Suara ketukan pintu membuatnya terlonjak. Dia segera keluar, sepertinya orang di luar tidak memiliki kesabaran. Apalagi tidak ada seseorang selainnya di rumah sebesar ini, jadi Malik harus berjalan cepat agar sampai di pintu utama.
Betapa terkejutnya dia ketika membuka pintu, seorang gadis berdiri di depannya dengan senyuman. "Ngapain lo disini?"
"Ketemu lo," jawab Malika.
Malika sebenarnya ragu akan mengunjungi rumah Malik, dirinya tidak bisa tidur karena selalu memikirkan kejadian tadi siang.
"Darimana lo tau rumah gue."
"Nggak penting gue tau darimana, yang penting gue sampai kan, di rumah lo? Tamunya nggak diajakin masuk nih."
"Dasar tamu tak di undang."
Malika terkekeh dengan perkataan Malik, dia segera memasuki rumah, dan duduk di sofa panjang. "Hatchii."
Malik kembali dengan minuman berwarna merah. "Nggak usah repot repot, Malik."
"Lo nggak mau? Ya buat gue aja." Seperti tidak tau malu, pemuda itu justru meminumnya.
Malika meneguk ludahnya. Sudahlah dia juga sedang menghindari minuman dingin. "Hatchii."
"Lo flu?"
Malika mengangguk pelan.
"Ngapain keluar malam?"
"Gue mau minta maaf atas kejadian tadi."
"Gue kan, udah tegasin, lo nggak salah dalam hal ini."
"Tapi tetap gue ngrasa bersalah."
Malik menghembuskan napas kasar. "Udahlah, gue anterin lo pulang.
"Ta—"
"Mau gue seret atau lempar?"
Malika segera keluar, takut kemarahan Malik memuncak. Malam ini gadis itu menyunggingkan senyum setiap perjalanan. Akhirnya yang kedua kalinya, dia diantar pulang oleh sahabat kecilnya.
****
Dinar di penuhi dengan kegelisahan. Bukan tanpa alasan, kelasnya kini sedang ulangan harian matematika. Bu Dina terus mengawasi muridnya dengan berkeliling. Membuatnya terus memikirkan bagaimana kalau dia remidi? Karena selama ulangan, dia selalu bertanya kepada teman sebangkunya.
Tetapi kali ini, Malika tidak masuk. Ingin bertanya teman sebrangnya, tidak bisa karena bu Dina tak berpaling sedikit pun. Akhirnya dia menjawab asal yang dia tau saja. Berharap ada mukjizat di nilainya nanti.
Waktu mengerjakan selesai bersamaan dengan bel istirahat. "Eh Dinar, Malika nggak masuk, kenapa?" tanya Dodi.
"Peduli apa lo?" jawabnya acuh.
Dodi mencegatnya, "Kalau ada orang tanya tuh di jawab yang benar."
Dinar memutar bola matanya malas, "Lebih baik, lo nasehatin tuh teman lo!" ucapnya berlalu pergi.
"Kenapa sih?" tanya Malik tiba-tiba.
"Gue cuma tanya kenapa Malika nggak masuk, eh malah jawabannya ngeselin."
"Liat aja tuh suratnya."
****
Tok tok tok
"Iya sebentar," Malika membuka pintu rumahnya dengan sempoyongan. Malam harinya setelah pulang dari rumah Malik, badannya menjadi demam. Ibunya memerintahkan untuk ijin sekolah.
"Malik," ucap Malika terkejut. Pemuda itu masih menggunakan seragam sekolah.
"Lo—"
"Rumah lo? Gue tau dari surat ijin lo."
Malika membulatkan mulutnya seperti berkata'oh'. "Yuk masuk."
"Em ... gue di luar aja."
"Oke, mau minum apa?"
"Air putih aja."
"Susu maksudnya? Yah persediaan susu gue habis, gue ke warung dulu ya."
"Air bening maksudnya."
"Yakin? Kemarin aja minum minuman yang mencolok warnanya."
"Nggak usah lebih baik," ucap Malik mengalah.
Malika tersenyum geli. "Bercanda," ucapnya mencolek dagu Malik.
"Apaan sih lo."
Malika mengambil minuman untuk Malik. Sementara pemuda itu melihatnya cengo, beneran air bening?
"Maaf cuma ada ini."
"Terus, ngapain tadi nawarin?" Di balas cengiran oleh Malika.
Malik berjalan ke tempat motornya berada. "Mau langsung pulang?" tanya Malika.
"Lo ngusir gue?"
"Ya nggak, lah itu."
Pemuda itu membawa kantong kresek, "Ini bubur ayam buat lo."
"Buat gue?" tanyanya berbinar.
"Hm."
"Makasih Malik," ucap Malika tersenyum senang.
"Gue pulang dulu, udah sore."
Malika mengantarkannya sampai gerbang, kemudian melambaikan tangannya. "Hati hati Malik."
Thank you♡.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malik dan Malika (SELESAI)
Teen FictionBagi Malik, Malika adalah kado terindah yang di berikan Tuhan kepadanya. Sedangkan bagi Malika, Malik adalah tembok besar pelindung baginya. Suatu ketika Tuhan merenggut kebahagiaan mereka. Perpisahan tidak membuat kisah mereka berujung. Semasa pu...