1012

81 14 0
                                    

Written by icaaa69

***

Catherine Miller tidak sanggup menahan mulutnya agar tetap tertutup ketika pemandangan kota yang teramat sangat indah itu menyambutnya. Matanya berbinar memandang ke segala arah, benar-benar menggiurkan untuk dijelajahi. Cahaya bulan bersinar malam itu, namun kalah dengan terangnya lampu kota, menandakan orang-orang belum selesai beraktivitas.

"Hati-hati, kumbang nanti masuk." Jason Miller menyeloroh tanpa tahu keadaan, membuat Cath terpaksa menutup mulutnya. Mendelik tajam, ia hanya bisa mendengkus kesal pada akhirnya.

"Perjalanannya berapa lama lagi?" tanya Cath penasaran.

Jordan Miller melirik. "Kalau mengantuk, tidurlah," ujarnya dengan penuh kasih sayang.

"Tidak, terima kasih, Ayah," tolak Cath dengan nada bercanda.

"Benar, sebaiknya kalian berdua tidur. Kita belum sampai di tengah kota, mungkin akan membutuhkan waktu cukup lama." Candice Miller menyahut.

"Ini baru pukul sembilan, Ibu. Terlalu cepat bagiku," protes Cath sedikit tidak terima.

"Terserah kalian saja kalau begitu, Ibu hanya menyarankan," respons Candice tidak ambil pusing.

Mobil diselimuti keheningan, Jason sibuk mendengarkan musik. Sedangkan Jordan, Candice, dan Cath hanya sibuk memandangi jalanan. Hingga akhirnya, Cath tanpa sadar jatuh tertidur karena terlalu bosan.

- - -

"Cath, bangunlah." Tepukan pelan nan lembut di pipinya membuat Cath terpaksa membuka sepasang kelopak matanya itu. Menguap lebar, Cath bertanya dengan suara tidak jelas.

"Apakah kita sudah sampai?"

Beruntung Candice mengerti maksudnya apa. "Sudah sampai, ayo masuk."

Candice keluar disusul oleh Cath. Awalnya ia mengira mereka akan tinggal di pinggir kota dalam pondok lama yang tetap memberikan kesan estetik itu. Dugaannya meleset jauh, mereka saat ini sedang berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi, kira-kira ada tiga puluh lantai menurut Cath.

Tanpa banyak tanya lagi, Cath mengekor Jason, sebab mereka adalah teman sekamar sekarang. Jordan dan Candice menetap di kamar seberang. Oh, kamar mereka ada di lantai sebelas dengan nomor kamar 1012. Begitu masuk, Cath langsung mengempaskan tubuhnya di atas kasur, tidak menghiraukan omongan Jason barang satu katapun.

"Cath ...."

Menyerah, Cath akhirnya menyahut malas-malasan. "Hm?"

"Aku ingin makan piza," jawabnya sambil menyeringai.

"Makan tinggal makan, kenapa harus melapor padaku?" Cath bertanya sarkastis.

Jason tergelak. "Aku serius, kau ingin piza apa? Akan aku traktir."

Cath buru-buru mengubah ekspresinya, memajang senyum lima jari yang sangat menyeramkan di mata Jason. "Pepperoni pizza, please."

"Kemarilah, biar aku tidak salah pesan." Cath mendengkus malas, namun terpaksa mengikuti permintaan kakaknya itu.

Cath berjalan mendekat, lalu mengintip isi ponsel Jason. Mereka berdua nampak memilih-milih varian topping karena Cath mendadak berubah pikiran ketika melihat menu-menu lainnya. Setelah berhasil membuat keputusan, Jason mulai menelpon dan memberitahu pesanan mereka, disertai alamat.

Namun kata-katanya yang terakhir sanggup membuat jantung Cath serasa berhenti berdetak. "Ada seseorang yang bersembunyi di bawah ranjang kami."

Cath langsung bersembunyi di balik tubuh Jason, panik setengah mati. Perlahan ia merasa aman ketika ingat, Jason dulu pernah ikut les taekwondo hingga tuntas, alias sabuk hitam.

Unknown CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang