Bunda Saja

75 15 0
                                    

Written by IceLFrost

***

Hara membawa putrinya ke sebuah tempat bimbel di kotanya. Bukan yang terbaik, tapi mereka punya nama yang baik. Salah satu pengajarnya adalah pria paling tegas dan gigih dalam mengajar. Sudah didengar hingga ke sudut kota. Hara pernah berbicara dengannya, juga pernah mengenalkan putrinya yang penakut itu pada pengajar tegas itu-yang sebenarnya lebih terkesan galak di kalangan anak kecil.

Tuan Gabut adalah ahli matematika yang pernah mengunjungi Jepang dan Inggris. Dia bisa berbahasa inggris dengan fasih. Sedikit banyak menguasai bahasa Jepang tanpa seorang tutor. Pria itu gigih dalam belajar dan menerapkan sifatnya sebagai prinsip dasar dalam mengajar. Dia tak akan menghentikan pelajarannya hanya karena muridnya adalah ranking terakhir pararel.

Begitu Hara menceritakan tentang Tuan Gabut yang sering dianggap sebagai momok pengajar yang menakutkan, putri kecilnya yang bernama Vivi menanggapi dengan tidak bagus. Dia tidak mau sekolah sejak awal. Selalu berdiam diri di rumah dan membuat ibunya emosi. Hara selalu mendatangkan seorang guru ke rumah dan menjadikan kamarnya sebagai kelas instan yang nyaman. Di sana ada lemari pendingin dan bantal yang empuk. Tapi di sana tak ada teman. Tidak ada jalan raya berbatu dan bunglon seperti yang ditontonnya di film-film terbaru mengenai kisah remaja dan sekolah yang rumit.

Vivi menolak untuk menyapa teman atau melewati jalanan berbatu. Dia tidak mau melihat bunglon yang seram di pohon beringin berhantu. Tapi kali ini, setelah sekian lama, Vivi akhirnya menyapa kembali Nyonya Rosa di persimpangan. Bersama ibunya yang memaksa untuk berjalan di aspal berbatu. Vivi tak melepaskan genggaman pada ibunya. Dan Hara, hanya membiarkannya.

Mereka naik bus yang dipenuhi banyak orang. Hara tak mengijinkan putri kecilnya duduk di pojok. Harus di pinggir. Lalu Vivi kembali mengeratkan pegangannya pada sang ibu. Beberapa kali guncangan bus yang menginjak rem tiba-tiba atau melewati kerikil besar membuat Vivi terdiam. Dia berkedip pelan sambil menatap jendela yang memperlihatkan langit cerah. Lalu mereka sampai.

"Vivi, mau menunggu Bunda sebentar? Bunda harus berbicara dengan Tuan Gabut," tanya Hara dengan lembut. Tapi wanita itu tak suka menunggu jawaban putrinya. Dia meninggalkan Vivi yang nyaris merengek. Tapi Hara buru-buru memberi pelototan yang membuatnya merangsek takut.

Vivi melihat kepergian ibunya. Wanita bergaun merah itu menghilang saat masuk ke sebuah ruangan. Vivi bisa membacanya. Itu adalah ruang kepala bimbel.

Rasanya, sebentar lagi Vivi akan mengompol. Ketika mendengar suara teriakan anak perempuan, Vivi kira ini adalah tempat penyiksaan. Dia langsung bersembunyi di belakang meja administrasi yang sedang tidak dijaga oleh siapa pun. Lalu menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak ketahuan. Siapa tahu ada pembunuh yang mau mengejarnya seperti dalam drama tontonan ibunya. Vivi takut. Rasanya seperti sedang menonton serial thriller.

Tap, tap, tap!

Derap langkah itu terdengar. Semakin mendekat. Vivi ingin menangis. Dia sudah menahan kencingnya. Vivi tak mau malu kalau ketahuan mengompol. Orang-orang bisa menertawakan seorang bocah awal remaja yang mengompol di rumah bimbel.

"Siapa, kau?" tanya seorang wanita berpakaian formal yang tiba-tiba berjongkok usai menampakkan kaki jenjangnya di hadapan Vivi.

Bocah perempuan itu terdiam dengan mata berair. Lalu dia mendengar suara ibunya, "Vivi!"

"Bunda!" teriaknya lalu segera berlari. Vivi menyembunyikan wajahnya di dada sang ibu. Terdengar percakapan antara kedua wanita dewasa itu. Vivi tak mau mendengarnya. Dia tak peduli.

Lalu ibunya mencoba menjauhkan wajah putrinya dari belahan dadanya. Dia menangkup wajah anaknya. Terlihat muka masam Hara saat Vivi membuka matanya. Ibunya terlihat tidak senang. Vivi harus minta maaf, tapi Hara sudah menariknya terlebih dulu ke sebuah ruangan yang cukup kecil. Terdapat sebuah papan tulis putih dan dua buah bangku. Di pojok ruangan itu ada meja yang di atasnya terdapat banyak kertas dan spidol berserakan.

Vivi diminta duduk di salah satu kursi. Dia sempat ragu. Pikirnya, bagaimana jika ruangan ini tak pernah digunakan dan menjadi sangat kotor? Pasti tempat ini penuh dengan penyakit! Vivi menatap enggan. Tapi tatapan ibunya lebih menakutkan. Hara memegangi bahu putrinya dengan erat. Vivi sudah akan berontak.

"Tuan Gabut akan segera datang. Dia membawa banyak buku matematika tebal dan papan jalar. Sudah menjadi kebiasaan Tuan Gabut kalau membawa rotan. Katanya penglihatannya agak kurang. Jadi bukan untuk memukul orang," jelas Hara. Dia menatap datar pada putrinya.

"Bunda akan menunggu dan membeli bahan makanan untuk nanti malam."

"Bagaimana kalau Vivi ingin Bunda?" tanyanya dengan penuh harap. Vivi selalu berada di kamar atau di dapur bersama ibunya.

"Satu helai rambut, adalah sebuah panggilan yang berharga. Rambut Vivi tebal, kalau sudah banyak yang rontok, nanti Bunda datang. Jangan telepon 112! Mengerti?"

Vivi kecil mengangguk dengan ragu. Lalu ibunya pergi dengan sepatu hak tingginya yang berbunyi bising. Saat bisingnya mulai lirih hingga hilang, Vivi membeku. Terlebih saat mendengar suara tawa dari berbagai arah. Vivi tidak tahu itu suara siapa. Dia mencabut satu hela rambutnya. Terdengar tak masuk akal, tapi Vivi akan melakukannya. Vivi percaya dengan keajaiban. Tapi bagaimana jika ternyata ibunya tetap tak datang? Apa Vivi harus menghubungi 112? Tapi ibunya sudah melarang.

Vivi memang sudah kerap diperingatkan untuk tidak menghubungi nomor itu saat bahaya datang. Katanya, akan lebih baik kalau ibunya yang datang. Karena semuanya akan cepat dilupakan .

"Argh!" erangan itu terdengar jelas.

"Diam! Jangan berisik!"

"Kau orang bodoh! Hahaha ...."

Vivi tak mengenali suara itu. Bukan ibunya, bukan seseorang yang familiar. Di tempat ini ramai orang asing. Lalu Vivi sendirian di ruangan sempit yang memiliki cat paling gelap yang pernah Vivi lihat. Keringatnya mulai mengalir. Sudah hampir seratus helai rambut yang dia cabut. Tapi ibunya belum juga datang. Vivi menambah intensitas kecepatannya. Dia mencabut lebih banyak, lebih keras. Sampai terasa perih.

Rambut tebalnya mulai tipis. Lalu semuanya mendadak hening. Vivi berhenti sejenak. Detak jantungnya bisa ia dengar dengan jelas. Kemana ibunya? Kenapa dirinya ditinggal sendiri di sini? Vivi tak mengenal satu pun orang di sini. Dan mengenai Tuan Gabut, yang Vivi tangkap adalah seorang pengajar yang galak dan kerap memberi hukuman pada setiap nomor salah.

"Hahaha ...!" tawa menggelegar itu mengagetkannya. Vivi ingin berteriak, tapi dia cepat-cepat menutup mulutnya.

Vivi mencabut lebih banyak rambut. Sampai kepalanya mendadak pusing dengan darah yang mulai mengalir dari sana. Kulit kepalanya sudah terlihat. Vivi menangis. Matanya berair dan ada aliran hangat di antara kedua belah dadanya yang mulai tumbuh itu. Bulir-bulir keringat sudah mulai membanjiri tubuhnya.

"Bunda ...," panggilnya dengan rintihan kecil. Sampai akhirnya, tak ada yang bisa Vivi cabut dari kepalanya yang sudah memerah.

Tap, tap, tap!

Prak!

Bunyi aneh itu mengagetkannya. Apa benar dirinya akan berakhir di sini? Paranoidnya memuncak. Vivi menggaruk alisnya sampai rontok. Sampai warna merah menggantikan hitam tipis di sana. Vivi menangis karena perih. Ibunya masih tak datang.

"Bunda! Bunda!" teriaknya memanggil ibunya. Tapi tak ada tanda-tanda kemunculan wanita itu. Sampai akhirnya Vivi tak sabar dan mulai menarik rambut-rambut di kelopak matanya. Terasa dirinya akan mencongkel matanya sendiri. Ia menangis dengan kucuran darah dari matanya. Sangat perih.

Vivi tersedu. Dia mengeluarkan ponselnya. Ingin mendial nomor 112 itu. Tapi takut jika ibunya marah dan benar-benar meninggalkannya. Vivi masih menangis dengan kegundahannya. Sudah terlalu sakit untuk ditahan. Sudah terlalu takut untuk dipendam. Vivi tak tahu apa yang sebenarnya berada di luar sana. Dia belum pernah pergi sejauh ini.

Hingga malam tiba, ibunya tak kunjung kembali. Suara-suara malam yang didengarnya lebih menakutkan. Gelap juga semakin menyelimuti akal sehatnya.

Hot Today:

Putri Tunggal selebriti tanah air Hara Bitina, meninggal karena penyakit kronisnya yang dideritanya semenjak kecil.

The End

Note : Ada yang mau menebak penyakit kronis itu?

Unknown CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang