Terlambat

41 7 0
                                    

Written by rifqnashwa

***

Tanganku yang berlumuran darah bergetar kencang tatkala menekan tiga digit nomor yang sudah kuhafal di luar kepala.

Tut ... Tut ... Tut ...

Cepatlah ...

"Halo, dengan tim darurat ada yang bisa dibantu?"

Namun itu semua, sudah terlambat.

Ayah, ibu, aku janji akan membalas kematian kalian.

.
.
.

"Kay, namamu Kay bukan? "

Tap! Tap! Tap!

Langkah kaki pria berjubah hitam sekaligus deru napasku semakin jelas terdengar di pendengaranku.

"Kay, kau melihat semuanya, kan? Kau melihat bagaimana perasaan leganya aku setelah membunuh partnermu itu kan?"

Aku terus berlari walaupun tak tau ke arah mana yang aku tuju. Sementara si jubah hitam hanya berjalan santai dengan pistol khusus jarak dekat di genggamannya.

"Kay, pernahkah kita bertemu sebelum ini? Maksudku benar-benar sebelum ini?"

"Kau yang membunuh orangtuaku! "

Ah, bodohnya dirimu Kay. Tapi sungguh, aku sudah tidak tahan ingin membalaskan dendam masa kecilku. Hanya saja, tak ada alat apapun yang dapat aku gunakan untuk menyerangnya.

"Ah, akhirnya kau menjawabku juga, Kay, " kata pria itu kembali dengan suara seraknya.

Entah sudah berapa lama aku terjebak di rumah tua besar ini bersama si jubah hitam. Terus berlari tak tentu arah menghindari si jubah hitam yang berniat membunuhku sama seperti yang dia lakukan terhadap Riana, partnerku.

"Ah, aku ingat. Kau gadis kecil berkuncir dua itu, kan? Aku ingat betapa paniknya kau menelpon tim darurat kala aku membunuh orangtuamu."

Air mata kurasakan mengalir di pipiku, terputar kembali kejadian saat ia tiba-tiba datang ke rumahku dan menembak kedua orangtuaku di hadapanku.

"Kau menangis, Kay? Aku bisa mendengar suara sesenggukanmu dari sini."

Kulangkahkan kakiku menjauhi tempat sebelumnya. Kurogoh saku jaketku mencari handphoneku.

Sial. Kenapa di saat darurat seperti ini aku tidak membawa handphoneku.

Tidak. Ini jalan buntu.

"Kay, kau sepertinya berlari kearah yang tepat. Iya, kan? "

Aku masuk ke salah satu ruangan tak jauh dari situ, ruangan ini tak memiliki jendela sama sekali untuk menjadi jalan pelarianku.

Apa itu? Sebuah benda tergeletak di tengah tengah ruangan kosong?

Handphone!

Ayolah ...

Aku mohon hiduplah ...

Tanganku yang sudah licin akibat keringat dengan tak sabar terus mencoba menyalakan benda pipih tersebut.

Kriet ...

Panik, aku pun langsung berlari ke arah pojok ruangan dan berjongkok di situ.

"Kay, kau menemukan handphone usang itu? "

Si jubah hitam masuk ke ruangan itu dan berdiri tak jauh dariku.

"Hidupmu akan tamat di sini, Kay."

Samar-samar aku bisa melihat wajah si jubah hitam.

"Apa maumu? Kenapa kau membunuh orangtuaku dan temanku!" teriakku yang sudah putus asa.

"Apa mauku? Balas dendam tentu saja. "

Balas dendam? Bukankah seharusnya di sini adalah aku yang balas dendam karena dia sudah membunuh orangtuaku?

"Kau sudah tak ingat kejadian itu lagi, Kay?"

Cahaya dari handphone membuat harapanku bangkit kembali.

Dengan tergesa, aku menekan tiga digit nomor yang sudah kuhafal di luar kepala.

"Tidak perlu tergesa, Kay, ayo kita berbincang dahulu."

1-1-2

Tut ... Tut ... Tut ...

Cepatlah ...

"Ah, aku ingat lagi bagaimana saat itu mobil yang ditumpangi keluargamu menabrak mobil keluargaku." Si jubah hitam melanjutkan kata-katanya.

"Ke ... keluarga?"

"Iya, kau tak percaya dulu aku juga punya keluarga? Anakku, jika saja dia tidak terbunuh karena kecelakaan itu, dia sekarang mungkin seumuran denganmu."

"Tapi kenapa kau ingin membunuhku sekarang!? Kenapa tak bersamaan saat kau membunuh ayah dan ibu!?" teriakku dengan air mata yang mengalir deras.

"Ah, untuk itu, sudah aku katakan bagaimana anakku terbunuh, kan? Apa kau tahu asal darimana kedua bola matamu yang sekarang kau gunakan?"

"Ha?"

"Oh, jadi orang tuamu tidak memberitahumu soal ini ya?"

Aku terus menerus mengecek handphone di sampingku berharap akan ada suara dari seberang sana. Namun, lagi-lagi hanya nada dering yang terdengar.

"Kedua bola mata yang kau miliki sekarang, itu adalah milik anakku." Si jubah hitam mengacungkan pistolnya tepat ke arah mataku.

"Awalnya aku tidak terima. Tapi istriku, sebelum dia meninggal, dia memaksa untuk memberikan mata anak kami kepadamu."

"Karena itulah kenapa aku tak membunuhmu bersamaan dengan orangtuamu. Karena aku ingin tetap melihat mata anakku walaupun ia digunakan oleh orang lain." Si jubah hitam entah kenapa menekankan kata 'orang lain' sambil pistolnya tak henti ia acungkan kearahku.

"Tamat, begitu pula yang akan terjadi dengan hidupmu, Kay. "

Duar...

Bunyi tembakan terdengar bergema. Aku langsung berguling menghindar dari peluru.

"Kau tak bisa menghindar selamanya, Kay."

Duar ...

Bunyi tembakan dilepaskan lagi. Namun kali ini, peluru itu tepat mengarah ke tempat ginjalku berada.

Handphone yang sedari tadi di genggamanku tetap tak mengeluarkan bunyi apa pun selain nada dering.

Aku terjatuh telentang menghadap langit-langit rumah tua ini.

Si jubah hitam berdiri tepat di atasku, pistolnya dia acungkan tepat ke mata kananku.

"Sampai jumpa, Kay, "

Duar ...

Kurasakan bagaimana mengilukannya pistol itu saat memaksa menembus masuk kemataku, perlahan-lahan, yang aku lihat hanyalah darah yang mengalir deras.

Maaf, Ayah. Maaf, Ibu. Maaf aku tidak bisa membalas kematian kalian berdua.

Samar-samar aku mendengar suara yang familiar.

"Halo, dengan tim darurat ada yang bisa dibantu?"

***

Yah operator telponnya telat gais!😢huweee
Happy Reading!

Unknown CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang