Truth or Dare

81 7 2
                                    

Written by chandhrr

***

"Ah, curang!"

"Putar ulang saja!"

"Pengecut sekali, sih!"

Kelas kembali ramai, berkerumun di satu tempat seperti semut. Jam istirahat diisi dengan permainan Truth or Dare menggunakan pulpen sebagai penunjuk siapa 'pemain'-nya. Sebelum keramaian pecah, putaran pulpen berhenti mengarah ke satu titik yang sebelumnya juga memutar pulpen sebagai 'pemain' terakhir. Berbondong-bondong pertanyaan yang sama didapatkannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah aku sendiri.

"Truth or dare?"

Aku benci keramaian dan aku benci mereka semua. Kali ini aku menolak. "Enggak, aku nggak mau main lagi." Aku menggeleng. Lagi, suara-suara itu tak kunjung berhenti saling bersahutan untuk mengejekku. Aku mendecak, kesal. Bagaimana tidak? Sejak awal bermain pulpen itu selalu mengarah padaku! Dan ini sudah putaran ke-lima! Tahu gini aku enggak bakal ikutan main!

Aku menghela napas. "Oke, ini terakhir," kataku sembari menatap mereka. "Tapi mulut kalian harus berhenti bicara dulu. Berisik tau nggak," lanjutku menatap mereka tajam satu per satu. Kembali kuputar pulpen sialan itu, sembari menutup mata, berdoa agar pulpen mengarah pada pemain lain. Jika boleh, aku ingin menghentikan permainan ini sekarang. Aku benci permainan Truth or Dare karena tantangan atau pertanyaannya bisa sangat acak dan tidak tertebak.

"Wah, wah, lihat pulpennya kali ini mengarah pada siapa," ungkap Maura.

Ah, putarannya sudah berhenti. Aku melirik, sedikit takut dengan hasilnya.

Sedetik.

Dua detik.

Aku tidak bisa menahan rasa bahagia membuncah. "Yes! Bukan aku!" Dewi fortuna mulai memihakku. Lihat, kali ini pulpen mengarah pada siapa. Aksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia terpilih sebagai 'pemain' selanjutnya. Pertanyaan kembali diajukan, "Truth or dare?"

Aku mulai bertanya. Aksa berpikir. Wajah teman yang lain menampilkan raut penasaran, beberapa tersenyum miring, kurasa mereka berniat memberi tantangan yang ... begitulah.

Suara Aksa mengudara, "Dare." Lalu senyum miringku terlihat. Berpikir sebentar, lalu aku berucap, "Prank call ke 112."

"Hei, bagaimana bisa kita melakukan panggilan main-main begini?" salah satu temanku, Lezhia yang ikut bermain menegur. Teman-temanku saling bertatapan.

"Tantangan tetap tantangan, Zia. Sekalipun tantangannya aneh." Ryan angkat bicara. Kali ini aku ingin berterima kasih pada ketua kelasku ini. Aksa menyipitkan matanya padaku. Kira-kira begini arti tatapannya, sialan kau, Ayla.

Dritt ... drittt ...

Dalam hati aku berharap bahwa hal ini tidak akan mendatangkan karma. Mengganggu operator nomor darurat bukanlah salah satu kegiatan yang akan dan ingin kulakukan, tapi mau bagaimana lagi? Aku ingin membuat yang lain menderita.

Panggilan tersambung. "Ada yang bisa kami bantu?" tanya suara diseberang.

"Ah begini, tidak usah terburu-buru mengirim bantuan, aku hanya ingin bilang besok akan ada kematian siswa SMA Pelita. Makasih." Belum selesai bertanya lagi, Ia buru-buru mematikan sambungan. Wajah teman-temanku langsung berubah, ada yang bingung, terkejut, atau juga menampilkan raut masam, intinya mereka terdiam.

"Hei, siapa yang mau meninggal?" Gerald menyeletuk.

Aku juga terkejut dan menyahut, "Tidakkah kau tahu ucapan itu doa?"

Unknown CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang