Written by turmalin_
***
"Nomor aduan 112."
Suara tersengal, tepat seperti dugaan Okta. Operator dengan buff terpasang di keningnya itu menahan napas, kemudian melirik Pak Sando, Fadhil, dan Aina secara bergantian. Yakin dengan kemampuan telekinesisnya pemuda itu pun melanjutkan.
"Halo, Angel."
***
Hari Jumat tepat tengah malam, seperti biasa kantor Kementerian Komunikasi Kota Bekasi selalu mendapat panggilan dari nomor tidak dikenal. Kejadian ini sudah berlangsung hampir 3 bulan lamanya, tepat setelah komisaris polisi muda Fadhil Alfarisa dipindah tugaskan ke kantor Kemenko Bekasi. Di setiap panggilannya, Angel selalu terdengar merintih, entah kesakitan atau entahlah. Pak Sando yang mendengar suaranya bahkan menduga wanita itu dicekoki obat tidur.
Sebetulnya kantor Kemenko terbiasa menerima panggilan iseng. Namun, Angel ini spesial. Dia hanya menelpon saat tengah malam dan ketika panggilannya terhubung, maka tidak ada satupun panggilan lain yang bisa menghubungi 112. Angel juga tidak akan berhenti meski mereka menutup panggilannya. Karena dirasa mengganggu, maka Fadhil, selaku polisi, memutuskan bahwa Angel adalah tersangka dalam kasus mengganggu layanan publik baik sengaja maupun tidak.
Setidaknya, itu yang ia dan rekannya kira.
Status Angel turun dari tersangka menjadi korban setelah Ainaya Ayu ikut serta dalam kasus ini. Gadis muda itu adalah keponakan Pak Sando yang bekerja di Kementerian Pertahanan. Dengan analisis suara baik menggunakan mesin canggih maupun deduksi, gadis itu meyakini bahwa Angel bisa jadi benar-benar butuh bantuan. Bergabungnya Aina dalam urusan Angel ini resmi membuka kasus kepolisian soal penyidikan 'Angel'. Bersama dengan Aina, seorang rekan Fadhil ikut bergabung. Adalah Brigadir Jenderal Stefan Junityo, yang ahli dalam penyidikan lapangan.
Malam ini malam Jumat di kantor Kementerian Komunikasi. Okta pada komputernya menerima panggilan Angel, Liah dengan mesin canggihnya mendeteksi sumber sinyal, Fadhil dengan tangan kiri pada walkie-talkie dan telinga yang terhubung panggilan dengan Stefan, Stefan di lapangan sementara pak Sando memantau seluruh CCTV. Hanya ada mereka yang siap menuntaskan kasus ini.
Okta
Keringat mengalir bebas dari rahang tajam Okta. Ia hanya bekerja untuk kementerian komunikasi, tidak pernah dilatih sebagai penyidik apalagi polisi. Bidang ini sama sekali tidak cocok untuk seorang dengan panic attack serta asma musiman sepertinya. Meski begitu, ia mencoba tenang. Netral lebih tepatnya. Liah berkata ada kemungkinan Angel benar-benar butuh bantuan dan jika memang benar, maka ini memang pekerjaannya.
Angel di ujung sana masih belum bicara. Hanya deruan napas yang terdengar. Melalui headsetnya ia dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Semakin dekat, semakin dekat.
Hingga akhirnya berhenti di tempat Angel.
"E-enggak!! Jangan-"
BRAAK
Okta cepat berdiri dari kursinya. "Halo?" ulangnya, memastikan 2 hal: apakah Angel masih di sana atau apakah panggilan ini masih tersambung. Ia yakin sekali Angel baru saja membuang jauh-jauh ponselnya. Selanjutnya ia masih mendengar suara. Panggilan masih tersambung.
"Demi Tuhan, gue takut, Dli," keluhnya sambil menjauhkan mic. Matanya kemudian melirik Ain, "plis dong, ngomong kalo panggilan tadi cukup buat lu deteksi lokasinya ...."
"Kedeteksi sih ya ...," sesaat kedua mata Okta berbinar. Oh, dia hanya ingin pulang cep-
"Tapi ini kan nomor nggak dikenal, pait-paitnya gak ada kartunya. Jadi yang kedeteksi bisa satu kecamatanlah, kurang lebih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Call
Mystery / Thriller[Thriller x Mystery] 112 : "Dengan 112 di sini, ada yang bisa kami bantu?" Penelepon : (Suara langkah kaki berlari dengan napas terengah-engah) 112 : "Halo, dengan siapa ini?" Penelepon : "Oh, halo, syukurlah. Aku sedang dikejar seseorang di sepanja...