Written by Panti_Janji
***
Papan fiber melayang tepat-hampir mengenai Rivaldi. Aku menarik tangannya, namun kami berdua justru tersungkur ke bebatuan. Aku tersenyum melihat matanya mengeluarkan darah yang banyak. Dia buta?
Sebuah plot twist.
"Kak Deva! Kak Rival! Kalian baik-baik saja?" kata Luna, gemetaran. Lagi-lagi aku hanya tersenyum memandang keduanya yang menangis tersedu-sedu. Sedangkan si kembar Reon dan Leon menatap kami dengan pandangan tidak terbaca.
"Kak Deva, berapa lama lagi perjalanan kita akan berakhir?"
Lama kami terduduk di berbatuan, Leon mulai membuka suara.
"Tidak. Tidak akan ada kata berhenti." Aku mengambil stapler di dalam saku, kemudian menarik kepala Rivaldi ke dekatku. Bocah-bocah berumur enam tahun itu, kuperintahkan untuk membelakangi kami.
Cekrek! Cekrek! Cekrek!
"Aarghh!" pekik Rivaldi. Aku hanya tersenyum, memperhatikan sebelah matanya yang terluka, berhenti mengeluarkan darah. Yang tersisa hanya beberapa buah staples. Ya, staples itu adalah kokot dari besi yang berbentuk huruf 'U'. Sebenarnya stapler dan staples itu digunakan untuk menyatukan beberapa lembar kertas ya, tapi sudahlah. Tidak ada uang untuk membeli obat merah dan kapas.
"Sudah selesai!" seruku.
Ketiga bocah itu menoleh bersamaan. Menatap heran ke arah mata kanan Rivaldi.
"Wah! Kakak hebat!" pekik Luna. Leon dan Reon ikut setuju, dengan mengangguk.
"Ya sudah. Ingin melanjutkan pekerjaan kita?" tanyaku. Mereka langsung berdiri dan memegang karung masing-masing.
Kami ... sedang berada di dekat pelabuhan yang sudah lama ditutup. Biasanya banyak sekali botol minuman di sini, semenjak pelabuhannya ditutup, hampir tidak ada sedikit sampah pun di sini.
Aku sedikit terkejut. Hari ini, tidak seperti biasanya ... ternyata gerbang untuk masuk ke pelabuhan dibuka. Dengan tergesa namun tetap waspada, kami berlima mengendap masuk.
Luar biasa!
Seperti surga.
Kami tidak pernah membayangkan. Bahwa di dalamnya, tertumpuk sampah botol minuman bahkan kaleng yang sangat ... banyak. Kami bisa makan nasi bungkus malam ini, menyenangkannya. Maklum, mungkin hampir setahun sekali kami bisa merasakan daging ayam yang lembut.
Terkadang, apabila uang sudah terkumpul. Kami malah diusir oleh pedagang. Mereka bilang kami tidak layak. Binatang kotor, hina, dan tidak mampu membayar apa pun yang menjadi dagangannya.
⚫⚫⚫
KEESOKANNYA, kami kembali datang ke pelabuhan. Memungut banyaknya kaleng dan botol minuman yang tidak sempat lagi kami bawa. Sudah penuh. Aku mengambil posisi lebih dekat dengan laut, barangkali akan terjadi bahaya pada mereka jika mengambil botol terlalu dekat dengan air.
"Kakak lihat! Mereka siapa?" Aku terkejut bukan main. Padahal suara Luna sangat pelan. Aku memang sedang melamun tadi, jadi tidak menyadari bahwa bocah satu ini sudah berada di dekatku.
Orang-orang dewasa yang sedang mengangkut barang-barang ke dalam kapal terkejut. Mereka langsung menyerang kami. Aku menyuruh Luna berlari meninggalkanku, namun dia justru berjongkok di tempatnya ketakutan.
Aku menyelam menyembunyikan diri di dalam air. Kemudian bergerak meninggalkan posisiku sekarang, bersembunyi dibalik kapal-kapal rusak.
Aku tidak mengerti. Apakah mereka terkejut akan kehadiran kami, atau memang menyadari hanya anak kecil yang sedang memergokinya. Mereka malah melempar Luna dengan granat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Call
Misterio / Suspenso[Thriller x Mystery] 112 : "Dengan 112 di sini, ada yang bisa kami bantu?" Penelepon : (Suara langkah kaki berlari dengan napas terengah-engah) 112 : "Halo, dengan siapa ini?" Penelepon : "Oh, halo, syukurlah. Aku sedang dikejar seseorang di sepanja...