Written by MikuraShaara_
***
Ruangan ini selalu menjadi favoritnya. Tidak perlu berinteraksi dengan orang-orang bodoh di luar sana, hanya duduk dan menikmati bacaan dalam kesendirian yang amat dicintainya. Ruangan sunyi dengan luas 2x3 meter, dikelilingi rak-rak yang berisikan berbagai ilmu pengetahuan, serta meja dan kursi usang yang anehnya nyaman diduduki.
Hari ini pun, Enel tenggelam dalam ensiklopedia kedokteran.
"Penyakit katup jantung, kondisi di mana katup jantung tidak bekerja normal dan menyebabkan jantung harus memompa lebih keras. Menyebabkan kematian jika tidak ditangani lebih lanjut ...."
Lembar demi lembar, Enel terus membaca tulisan-tulisan itu. Melupakan waktu.
"Enel! Kau di mana?"
Sampai dirinya dipanggil sang ibu. Yah, satu-satunya hal yang harus ditakuti Enel adalah ibunya sendiri, wanita sumbu pendek yang selalu bersiap dengan cambuk di tangan keriputnya.
"Aku datang," balas Enel datar, menutup buku itu dan bergegas keluar dari kamarnya. Segera, dia mendapati perempuan itu berdiri di hadapannya seraya menyilangkan tangan. Menajamkan pandangannya dengan sorot menghakimi.
Sang ibu mendecih. "Lagi-lagi kau di sana. Apa yang kaulakukan, heh?"
"Bukankah sudah kukatakan berkali-kali? Hanya membaca, tidak lebih."
Enel sudah bersiap dengan jawaban itu.
Sebab berikutnya, tangan ibunya akan melayang, menampar pipi Enel yang memiliki rona merah tipis. Begitu kuat sampai-sampai Enel harus menggigit bibirnya. Selalu begitu, tanpa bisa melawan. Hanya menyeka darah dari mulutnya.
Namun, kenapa Enel tetap keras kepala menjawab hal yang sama?
Dia ... tidak tahu.
"Tak tahu diri," cerca ibunya dingin, kedua matanya menyuratkan kebencian dalam, "selalu saja di perpustakaan, tidak mau keluar. Apa maumu?"
"Tidak diganggu dan membiarkanku sendirian. Sendiri lebih baik daripada berkumpul dengan kelompok manusia seperti bebek bodoh. Terutama kau."
Nah, seharusnya Enel tidak menjawab itu. Akan tetapi, belakangan ini keberanian-atau perlawanan, barangkali-lebih sering datang dan berbisik lembut di telinganya. Kalimat yang tidak direncanakan untuk diutarakan, justru keluar begitu mulusnya. Dan dengarkan ini; Enel sama sekali tidak ragu. Menyesal pun tidak.
PLAK!
Tatkala tamparan kedua mendarat di pipi yang memar itu, Enel kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Lebih keras dan lebih sakit, harus diakui. Namun, dia hanya meringis pelan, lantas menatap hampa iris biru muda ibunya. Apa pun yang telah merasuki Enel, jelas sekali telah membuat dirinya kebal akan rasa sakit fisik maupun mental.
"Malam ini, kau takkan mendapat makan malam. Sana tidur di loteng." Sang ibu bahkan tidak sudi menolong anaknya-lebih menganggapnya seperti kecoa dalam dapur. "Pergi sekarang juga."
Aneh, Enel tidak merasakan takut. Justru, mulutnya mulai membentuk seringai serigala.
"Tidak akan. Aku tidak takut akan hukumanmu."
Kau boleh saja menganggap Enel keterlaluan dan tidak seharusnya berbicara begitu kepada sang ibu yang telah melahirkannya. Namun, bukankah ibunya juga sama? Bukankah dia juga bersikap kejam?
"Kau bilang apa tadi, hah?" tanya sang ibu dengan intonasi tinggi.
"Kubilang, tidak akan. Aku tidak takut dengan hukumanmu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Call
Mistério / Suspense[Thriller x Mystery] 112 : "Dengan 112 di sini, ada yang bisa kami bantu?" Penelepon : (Suara langkah kaki berlari dengan napas terengah-engah) 112 : "Halo, dengan siapa ini?" Penelepon : "Oh, halo, syukurlah. Aku sedang dikejar seseorang di sepanja...