Chapter 18 : Chaos

263 32 34
                                    

Mame kini tengah berada di pelukan ibunya yang terasa sangat nyaman, bahkan melebihi kasur termahal di dunia ini, salah satu hal yang ia rindukan. Wanita itu terus menyayikan lagu pengantar tidur yang belum pernah ia dengar, terlepas dari itu ia tak terlalu peduli saat tangan bebes itu terus membelai rambutnya.

Haruto.

Sudah lebih dari 10 kali nama itu disebut, bukankah itu sebuah kesalahan? siapa Haruto ini? Apa hubungannya dengan dia? Apa ia memiliki nama Haruto sebelumnya hingga kemudian diganti dengan Mamehara Issei?

"Maa.."

"Ya sayang. Apa kamu masih belum bisa tidur?" wanita itu menatap Mame penuh perhatian, sedikit tergambar raut kesedihan di wajahnya karena merasa gagal menidurkan anak tersayang.

"Ya"

"Perlu ibu nyanyikan lagu lain?" tanyanya lagi sambil tersenyum menenangkan, Mame tak bisa menolak apa yang ibunya katakan, tidak selama ia masih mampu melakukannya. Mame menangguk segera karna terhipnotis pesona gemilau ibunya. Mouna kembali tersenyum dan menayanyika lagu lain, suaranya tetap selembut sutra. Tapi kembali Mame merasakan kekeliruan.

Haruto.

Lagi dan lagi nama itu disebutkan.

"Siapa Haruto?" Mame bertanya saat kantuk perlahan hilang.

"Anakku, tentu saja anakku, itu namamu" Mouna terenyum sayang.

"Tapi namaku Issei? Apa kau mengganti nama Haruto menjadi Issei sebelumnya?" wanita itu tampak diam sesaat, tanganya berhenti bergerak yang membut anak itu mengeluh ketika kenyamanan hilang. Mame menatap ibunya dengan ekspresi yang sulit dipahami.

"Apa yang kamu pikirkan?" akhirnya ia berbicara kembali "Kamu tentu tetap Haruto ku" kembali tersenyum sambil mengelus rambutnya yang sempat terhenti, anak itu hanya mengangguk walau bingung.

"Maa" panggil Mame lembut beberapa saat kemudian, sekelebat bayangan saat ia membantah larangan ibunya agar tak keluar dari rumah terlintas. Entah kenapa ia bisa memikirkan hal yang tak berkesinambungan seperti ini. "Maafin Mame ya" ucapnya lagi menatap Mouna yang tersenyum, mengira sosok tersebut benar-benar ibunya.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tak salah"

"Tapi Mame keras kepala karena ninggalin rumah. Mame egois kan?"

"Tidak tidak. Kamu tak egois. Kamu anak mama paling mama sayang"

"Benarkah?" Meme menatap ibunya dengan lembut.

"Tentu saja. Harusnya mereka yang mendapat imbalan" senyumnya sedikit goyah saat membahas hal ini. Sejujurnya ia tak mau membahas soal ini namun demi mendapatkan jiwa Meme sepenuhnya ia harus meyakinkan anak ini agar meninggalkan tubuhnya. Ia harus mengakui jiwa Mame terlalu kuat untuk diambil.

"Mereka? Mereka siapa?"

"Mereka, temanmu.." Mame langsung mengingat perlakuan kasar dari sepuluh lelaki padanya. Mereka memukul seluruh tubuhnya dengan benda tumpul dan ada kalanya menendang perut dengan kaki, mendoronganya dari tangga atas, menampar pipi dengan buku tebal, menyiram air panah kearanya dan puncaknya melukai dengan pisau dapur.

Kesal.

Tentu saja ia kesal saat mengingat kejadian ini, kenapa ia bisa lupa. Sampai saat ini ia masih tak tau apa salah dirinya hingga diperlakukan kasar, demi Tuhan dia hanya remaja yang tak berdaya. Amarah langsung menyelimuti seluruh jiwanya dengan kuat namun di saat yang sama juga terasa salah.

"Mungkin kau ingin melihat penderitaan mereka sekarang sayang? Mereka yang telah menyiksa mu?" bisik Mouna.

Ia kembali melihat bayangan acak mengerikan. Ia melihat seseorang menangis ketakutan sambil berlari di tengah hutan, seseorang lainnya tengah merintih menahan sakit di sebuah lapangan.

Misteri Anak TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang