17

1.4K 204 44
                                    

Seokjin membuka matanya.

Ia dapat mendengar burung berkicau dari balik jendela, ditemani cakrawala berwarna biru cerah.

Seokjin menggeserkan sedikit tubuhnya, lantas melihat Namjoon yang masih terlelap di sebelahnya.

Seokjin mendesah, kejadian tadi malam benar-benar diluar dugaannya. Apa yang Seokjin rasakan terhadap Namjoon?

Awalnya, Seokjin tidak tahu. Ia hanya ingin menenangkan lelaki yang ia cintai, tetapi perasaannya tetap saja kalut karena Namjoon baru saja mengungkapkan rahasia gelapnya.

Apakah Seokjin marah? Mungkin ya, mungkin tidak. Seokjin lebih merasa kesal daripada marah.

Dipandangnya lelaki berkulit sawo matang tersebut. Seokjin mengusap pipi Namjoon dengan pelan, merasakan tiap inci kulit wajahnya yang halus.

Seokjin sudah terlanjur jatuh cinta padanya, tidak mungkin perasaannya hilang begitu saja hanya karena masa lalu, 'kan?

Sejak kapan Seokjin jatuh cinta? Ia tidak tahu. Selalu saja, Seokjin tidak tahu kapan ia mulai mencintai orang. Perasaannya selalu saja mengalir bak air, dan Seokjin membenci kenyataan bahwa jika ia mencintai, ia tidak akan pernah berhenti.

Tidak, aku sudah tidak mencintai Ken.

Atau, cintaku pada Ken tidak sedalam itu?

Seokjin mendudukkan badannya di sisi ranjang, mencoba mengumpulkan nyawanya sejenak. Ia harus berburu, atau mencoba mencari makanan kalengan.

Sejenak Seokjin meregangkan sendi lehernya, memutarnya agar otot-ototnya kembali rileks. Melangkahkan kaki, Seokjin meraih botol berisi air yang Namjoon bawa sebelum ia pergi melarikan diri bersama Seokjin.

Ditatapnya Namjoon lagi, Seokjin tidak tega membangunkan pria berparas manis tersebut. Ia memutuskan untuk berburu sendiri.

Seokjin harus membawa dua belati kali ini, karena satu belati untuk dijadikan senjata, satunya lagi untuk berburu.

Seokjin tidak akan heran jika ia akan menemukan tupai, kelinci, ataupun rusa di sekitar sini. Sudah banyak hewan yang keluar dan berkeliaran disekitar gedung-gedung dan bangunan terbengkalai.

Tidak akan sulit, pikir Seokjin. Ia sudah beberapa kali berburu bersama rekan-rekan kerjanya dulu, bukan masalah bagi Seokjin.

Tetapi bedanya, kali ini ia akan berburu sendiri. Terbesit perasaan mengganjal di dalam benak Seokjin, apakah kota ini benar-benar aman baginya, dan bagi Namjoon?

Jangan salah, insting Seokjin kelewat tajam. Ia terlalu sering mencemaskan keadaan sekitar walaupun pada akhirnya ia baik-baik saja. Perasaan was-wasnya terlalu tinggi, Seokjin harus mengurangi kadarnya.

Diarihnya el-diablo kesayangan Seokjin, tak lupa dua buah belati. Satu milik Namjoon, dan satu milik Seokjin. Seharusnya Namjoon tidak akan membutuhkan belatinya selama Seokjin pergi mencari mangsa untuk dilahap.

Kecuali, Namjoon berbuat bodoh.

Seokjin memasangkan kemeja berwarna coklat cerahnya, lalu menautkan kancingnya. Ditatapnya wajah sempurna tersebut dicermin.

Ha ha, pantas saja Namjoon jatuh cinta padanya. Wajah Seokjin memang terlalu tampan. Ia bahkan terheran-heran.

Tubuhnya juga terlalu sempurna. Kecuali bekas luka gigitannya.

Seokjin menggantungkan pistolnya, lalu bergegas keluar dari rumah mewah tersebut. Dibukanya pintu gerbang berwarna putih yang telah berkarat tersebut hingga menyebabkan bunyi berderit, Seokjin sendiri berjengit saat mendengarnya.

PetakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang