Chapter 11

21 5 0
                                    

Pagi berikutnya atau lebih tepatnya, lewat tengah hari, kami berbagi beberapa potong pizza sisa tadi malam, setidaknya cukup untuk mengisi kekosongan perut kami selama beberapa jam ke depan. Rencananya kami akan makan di luar setelah berkunjung ke pemakaman Emily. Nico sudah menungguku di depan sambil memanaskan mesin mobilnya. Usai berganti pakaian dan membereskan kekacauan semalam di depan perapian, aku beranjak keluar dari rumah lalu mengunci pintu dari luar.

"apa kau akan baik-baik saja?" tanyaku untuk Nico setelah masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt.

"tenang saja, aku akan berusaha" jawab pria itu sambil tersenyum hampa. Tanpa perlu basa-basi lagi, ia pun menjalankan mobilnya.

Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh keheningan, kami berdua cukup larut dalam pikiran masing-masing sehingga tampaknya tidak akan ada yang ingin memulai percakapan, cuaca di luar sini tidak menunjukkan adanya perubahan sedikitpun, langit masih terlihat gelap seperti hari sebelumnya. Di cuaca sedingin ini, biasanya aku selalu membayangkan saat-saat dimana keluarga kecilku masih lengkap, rumah terasa menghangatkan di waktu seperti ini, aku duduk di depan perapian bermain bersama ayah lalu ibu menyiapkan segelas coklat panas dan nenek seperti biasanya duduk di kursi goyang sambil merajut sweater untukku. Oh, sungguh kehidupan yang menenangkan. Ironisnya, kehidupan sudah berbalik, kini aku harus menguatkan hati dan mengabaikan kenangan indah itu, dunia yang kujalani saat ini cukup keras dan aku tidak pernah sekalipun merasakan kehangatan di dalamnya. Kenyataan ini harus kutelan bulat-bulat.

Tidak butuh waktu lama, kami pun tiba di area pemakaman, Nico memberhentikan mobilnya lalu melihat ke arahku setelah sedari tadi mengabaikanku. "kita sampai!" senyuman pahit menghiasi wajahnya, aku jadi merasa tak enak hati padanya.

Kami berdua turun, berjalan setapak demi setapak menuju pemakaman Emily yang terletak di bagian yang agak jauh dari jalanan. Nico berjalan di depanku, ia melangkah dengan cepat karena sudah tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan Emily, menyenangkan sekali rasanya jika ada seseorang yang mencintaimu seperti ini, apa aku diizinkan untuk merasakannya? Sepertinya tidak. Dari awal, aku sudah tahu jika aku tidak ditakdirkan untuk hidup seperti itu, kematian keluarga kecilku saja sudah bisa menjadi salah satu buktinya, hampir setiap pria yang kutemui hanya mengincar tubuhku saja.

Nico berhenti di dekat sebuah pemakaman yang kuyakini sebagai makam Emily. "hai, sayang! Maaf aku baru mengunjungimu" bisa kulihat pria itu berusaha untuk tersenyum.

"apa kau baik-baik saja? Jika tidak, kau boleh kembali ke mobil, jangan khawatirkan aku"

Pria itu menoleh sehingga aku bisa melihat wajah sedihnya "aku akan menunggumu di mobil, jangan terlalu lama di luar sini"

Aku mengangguk paham lalu Nico pun beranjak pergi meninggalkanku sendirian di samping makam Emily. Aku pun berlutut di sebelah makam sahabatku ini, tanah pemakamannya sudah mulai ditumbuhi rerumputan. "maaf Emily, karena sikap egoisku yang ingin meninggalkan tempat ini, meninggalkanmu dan Nico serta kenangan masa lalu kita" perasaan bersalah menyeruak seketika begitu aku mulai berbicara "terimakasih sudah mencoba bertahan walaupun akhirnya kau tidak kuat menanggung semuanya lagi. Aku yang bodoh ini tidak mungkin bisa mengerti perasaanmu waktu itu, di balik senyum riangmu ternyata kau menyimpan rasa sakit yang luar biasa" tanpa terasa, air mata sudah berlinangan di pipiku, aku pun mengusapnya "tapi kau tega sekali, bagaimana bisa kau meninggalkan Nico tanpa persiapan? Kau tau? Dia sangat mencintaimu. Bukankah rasanya menyenangkan dicintai begitu besar?"

Tidak ingin berlama-lama lagi, aku berdiri lalu membersihkan pakaianku dari rumput-rumput liar yang menempel. "sudahlah, aku tidak bisa berlama-lama disini. Sampai jumpa lagi Emily" salah satu tanganku mengusap batu nisan Emily, saat itu juga sebuah benda kecil berwarna putih berjatuhan di atas tanganku, aku langsung menatap sekitar, menyaksikan salju pertama yang turun di musim dingin ini. Rasanya sangat menakjubkan, kupejamkan mataku agar bisa merasakan sihir yang dibuat oleh alam ini, kepingan-kepingan salju dingin berjatuhan di atas tubuhku.

The Devil's LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang