10. Rahayu Wredha dan Ketidaktahuan Bang Jack Terhadap Cerita-Cerita

14 1 0
                                    

"Mampus kau dikoyak-koyak Tiarma."

"Terima kasih Bang Jack sudah mengingatkan untuk... berapa? Kesejuta kali? Sialan!" caciku gusar. Walakin, yang kudamprat malah tertawa makin lebar, terlihat puas benar.

"Kau mesti betul-betul memeras darah, keringat, dan air mata untuk fotomu nanti, Bhum. Karena sekarang semakin tak ada alasan untuk kalah."

Aku mendesah keras. Sudah dua hari lebih sejak aku memutuskan untuk menerima tantangan Hara, tetapi tak ada satu pun ide yang nyangkut di kepala. Untuk mengikuti kategori yang mana jua aku belum tahu, karena tak mungkin jika harus mengikuti kelima-limanya.

"Makanya, bantu aku Bang," pintaku memelas, kusandarkan kepalaku di punggungnya. Seumur hidup, belum pernah aku sepening ini.

Seperti orang yang sudah hilang empati, Bang Jack dengan kasar menggusah kepalaku. "Iya, iya! Berat, ah! Terus mana si ai toot?"

Demi Tuhan, apakah dia tidak mengerti kalau sahabatnya sedang mengalami mental breakdown?

Bersungut-sungut, aku tetap merogoh ponsel di saku baju, sekalian hendak mengabarkan Kitkat tentang kedatangan kami. "Sudah di dalam. Sebentar... oh, dia di taman."

Setelah memarkir motor, kami berjalan menuju semacam meja resepsionis untuk mengisi data pengunjung.

"Aku masih tak mengerti mengapa ia tega memasukkan ibunya ke tempat ini."

Pernyataan Bang Jack mengejutkanku. Tak tahukah dia?

"Tak pernahkah Kitkat menceritakanmu tentang keluarganya?" tanyaku.

Bang Jack menggeleng, dahinya berkerut-kerut, kentara benar gelisah. "Kurasa kami tak sedekat itu untuk membicarakan hal-hal selain urusan sekolah dan pekerjaan, kau tahu?"

"Ayolah, Bang, kalian kan sudah berteman cukup lama. Tentu kalian dekat."

"Entahlah. Terkadang, ketika ia kupergoki tengah menatapku, dapat kulihat rasa enggan di bola-bola matanya. Atau mungkin saja itu benci. Atau marah. Apa pun itu, mereka tak pernah membuatku merasa baik-baik saja."

Kata-kata Bang Jack membuatku tak mampu berkata-kata. Samar-samar kudengar luka dan sedih hati pada suaranya.

"Jadi... ada apa dengan keluarganya?" desak Bang Jack lagi.

Aku tak langsung menjawab. Kutimbang-timbang dulu apakah pantas jika aku menceritakan kembali kisah Kitkat kepadanya.

Setelah disambut dengan ramah dan senyum lebar, aku diminta menuliskan nama lengkap kami berdua pada sebuah buku tebal bergaris-garis, tepat di bawah nama Kitkat yang sampai lebih dulu. Kitkat meminta izin untuk pulang lebih cepat sehabis istirahat pertama tadi. Katanya, ia butuh lebih banyak waktu untuk memasak masakan kesukaan ibunya.

Kusamakan tujuan kami berdua dengan apa yang sudah ditulis Kitkat. Kemudian, setelah aku menandatangani bagianku, aku mundur sedikit agar Bang Jack dapat menandatangani bagiannya.

Kami berdua kemudian disilakan untuk masuk ke area panti, lewat pintu kayu yang berada di samping meja resepsionis.

Yang kupikirkan kala pertama kali memasuki area Panti Jompo Rahayu Wredha adalah betapa mirip suasananya dengan SMA Kalam Angkasa. Hanya saja bangunan-bangunan di sini lebih memanjang dan tidak memiliki lantai dua.

Setelah melewati pintu tadi, kami disambut dengan taman kecil penuh pepohonan dan bangku-bangku. Beberapa alat fitness outdoor seperti barbel kecil dan air walker juga telah tersedia. Bunga-bunga dan tanaman perdu ada di sini dan di sana, menambah perasaan kerasan yang menyambut kami.

Mengelilingi taman adalah gedung-gedung panti. Meja resepsionis berada di timur, bersama dapur dan gudang penyimpanan. Gedung barat digunakan untuk musala kecil, ruang bersantai dan bermain, serta satu ruang serbaguna yang biasa dipakai untuk kegiatan peribadatan agama lain. Lalu di utara dan selatan adalah kamar-kamar para penghuni panti.

Whatever Float My BoatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang