Cerpen Duabelas🌷

17 3 0
                                    

DON'T BULLY ME
By: Nur Awalia Riska

Nama pena: Goresan Qolbu dan Queen Dauhgter👑
Ig: @goresan.qolbu_
Wp: @queendaughterr_
Moto: Jika kamu bukan anak seorang ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah📚💪

🌚🌚

Memangnya kenapa jika warna kulit ku gelap?

Memangnya kenapa kalau gigiku tonggos?

Memangnya kenapa jika ukuran tubuhku pendek?

Apa karena itu aku dihindari?, apa karena itu aku dibenci?, diremehkan sana-sini, dihujani dengan tatapan sinis mematikan dari setiap orang yang memandangku?.

Apa karena itu aku tak punya teman pria seorang pun, tak cukup pantas menorehkan prestasi dan menyandang gelar terkenal?. Apa aku seburuk itu Tuhan?.

Jalan menuju sekolah terasa sangat jauh pagi ini, kulangkahkan kakiku di trotoar jalan ibukota yang begitu padat. Puluhan orang yang melewatiku memandangku dengan tatapan tajam dan sinis yang mereka perlihatkan terang-terangan, aku hanya menunduk takut melihat mereka yang menampakkan sirat kebencian.

"Woi curut mau kemana?, lewat maen diam aje, bisu juga lu?," tanya seorang laki-laki dari salah satu segerombolan laki-laki yang tengah duduk dipinggir jalan.

Pertanyaan yang terkesan menghina yang membuat hatiku sedikit tergores memunculkan rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Aku menggeleng pelan kearah mereka, "Maaf Mas, saya mau ke sekolah. Permisi," ujarku kepada mereka, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

Hidup dikota besar memang jauh lebih kejam dari pada di desa, walaupun dulu di desaku juga hampir sama dengan kehidupan di kota. Aku selalu dihujani tatapan sinis dari masyarakat, mendapat cemohan dan cibiran dari mulut mereka. Mengapa?, mungkin karena parasku yang tak secantik mereka, tinggiku yang tak sesempurna mereka dan warna kulitku yang tak secerah mereka.

Aku bersekolah di SMA ternama di kota Jakarta karena mendapat beasiswa untuk bersekolah di SMA elit ini. Sekarang aku menginjak kelas XI IPA 1, kimia membuatku jatuh cinta pada atom-atom serta unsur-unsurnya hingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih jurusan IPA di sekolah ini.

Hanya berbekal uang saku dari orang tua dikampung, aku hidup disebuah kost yang murah, tapi tak apalah asalkan layak digunakan untuk berteduh dari derasnya hujan dan panasnya terik matahari dikala siang dan sore hari, bagiku sudah lebih dari cukup.

Akhirnya aku sampai di sekolah yang megah ini, tapi bukan berarti aku berakhir dari tatapan kebencian dari orang-orang, melainkan memantapkan diri untuk menyambut sindiran yang lebih pedas dari biasanya. Aku menghela nafas gusar, kumantapkan langkah kaki memasuki kelas yang masih nampak sepi.

Sebenarnya aku sangat enggan menerima beasiswa itu karena keuangan bapak dan ibu yang serba kecukupan, tapi akibat dorongan dari mereka yang membuat aku berani untuk menata hidup. Walaupun rasa lapar yang selalu kutahan, harus berpuasa ketika keuangan mulai menipis, dan air mata yang selalu bercucuran di setiap sujud pada sajadah lusuhku.

"Nak, kita memang orang tidak punya, tak punya apa-apa selain kepercayaan kepada Tuhan. Sulit memang rasanya untuk kamu melanjutkan sekolah, tapi Tuhan selalu punya cara untuk memberikan jalan keluar dari sebuah masalah dengan memberikanmu kepercayaan dan anugerah ini. Jadi, sekolahlah nak, biarlah bapak dan ibu saja yang pontang-panting sana-sini mencari nafkah untuk biaya kehidupanmu disana. Gapailah mimpimu, jangan jadi seperti ibu yang bodoh ini."

Begitulah penuturan ibuku ketika membujukku untuk melanjutkan sekolah di Jakarta. Selalu terngiang dalam memoriku bagaimana lembutnya ucapan ibu yang sangat berharap untukku bersekolah. Maka dari itu aku masih di sini, di kota yang kejam ini.

[Seputih Melati]🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang