Cerpen Lima Belas 🌷

8 4 2
                                    

KERTAS HITAM
By: Nur Awalia Riska


Nama pena: goresan qolbu 💕
Ig: @goresan.qolbu_
Wp: @queendaughter_

📃📃

"Alhamdulillah."

Untuk kesekian kalinya , kata itu terlantar di bibirku lagi.

Untuk kesekian kalinya pula, namaku keluar sebagai juara umum atas prestasi dan buah hasil jerih payah ku disekolah.

Aku, Idam Alamsyah. Pemuda asal Sulawesi Selatan yang baru saja menyelesaikan Pendidikan menengah atas di daerah Bulukumba, salah satu kota terpencil yang terletak di bagian ujung Selatan Pulau Sulawesi.

Kertas putih berisikan deretan nilai sembilan puluh-an kini kuselipkan diketiak, sembari mengubah posisi sepeda ontel tuaku agar mudah untukku kendarai menuju rumah.

"Idam!," Eko memanggil dari belakang.

"Lama sekali kau berlari. Aku sudah menunggumu sedari tadi," ejekku pada Eko yang berada cukup jauh dibelakangku.

"Aih.. Aku tak sanggup berlari sepertimu. Kau lihatlah sendiri badanku ini. Penuh dengan lemak. Tidak sepertimu yang kering kerontang," jawab Eko yang berlari terengah-engah dibelakangku.

Tidak seperti diriku, Eko memiliki badan yang cukup berisi. Ketika aku berdiri disampingnya, akan terlihat seperti angka sepuluh. Dia merupakan sahabat terbaikku di kampung ini.

Seperti hari-hari biasa, aku dan Eko pulang dengan sepeda masing-masing, setelah itu kembali melanjutkan kehidupan dengan memanjat pohon kelapa dikebun juragan Komar.

Aku bukanlah dari keluarga kaya raya dengan mobil mewah dan barang-barang serba wah, aku hanya berasal dari keluarga sederhana, dibesarkan oleh orang tua yang beprofesi sebagai pemanjat kelapa muda.

Aku dan Eko biasanya mendapat upah beberapa peser, dari hasil panjat kelapa itu kami tabung untuk kebutuhan yang mendesak.

"Kamu mandi dulu sana, setelah itu bergegas pergi ke musholla. Kau tau-kan, telat sedikit saja Ustadz Umar akan marah memarahimu," ujar ibuku.

"Siapa 86!!," jawabku dengan semangat sembari berlari menuju kamar mandi.

Walaupun selalu menjadi juara kelas, aku tidak pernah melupakan shalat lima waktuku. Sebuah kegiatan yang menempati list pertama dalam hidupku yang harus aku kerjakan tiap harinya.

"Pak, Bu, Idam berangkat dulu," pamitku pada bapak dan ibu sembari mencium tangan keduanya kemudian melesat menuju mushollah yang tak jauh dari kediamanku.

Seperti kebanyakan cerita lainnya, jam berlalu begitu cepat. Shalat Magrib dan Isya telah kutunaikan. Hingga rumah menjadi tempatku pulang.

Ruangan berukuran dua meter dengan poster paris terpampang megah di dinding pintu lemari, lampu temaran yang menerangi kamarku serta deretan buku-buku kedokteran yang semakin usam karena lelah dibaca.

Dalam kamar ini, aku merenung. Menatap jauh ke masa depan tentang bagaimana keadaan nasibku kedepannya, mengingat aku sudah lulus menengah atas.

Kudengar-dengar Eko akan melanjutkan kehidupannya sebagai penjual es kelapa muda, menerus pekerjaan ayahnya yang telah lanjut usia.

Sedangkan aku? Apa? Cita-citaku menjadi seorang dokter harus kulalui di perguruan tinggi yang jaraknya sangat jauh dari kota, ditambah lagi keadaan ekonomi keluarga yang sangat tidak mendukung.

Malamnya, saat makan bersama, kuberanikan diri untuk berbicara dengan Bapak.

"Pak, Idam hendak kuliah."

[Seputih Melati]🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang