Cerpen Tiga🌷

44 5 0
                                    

REMBULAN YANG KELAM
By: Velis Setyani Pangesti

Nama pena : Queen Daffodil
Ig : @velis_sty
Wp : styniip_daffodil
Motto : Melakukan yang terbaik hingga diriku sendiri tak bisa menyesali apa yang terjadi.

🌜🌜

"Kak, ini ada surat," tutur Bintang sembari menyodorkan kertas putih yang terlipat rapi. Tangannya sedikit bergetar, juga pandangannya yang menatap ke bawah.

"Hm..." Bulan menggumam. Surat itu sudah berpindah pada tangannya. Manik matanya menatap bergilir setiap kata yang tertoreh, dia mencermatinya baik-baik. Sebelum akhirnya, raut mukanya tidak bersahabat, sama sekali.

Wajah Bulan merah padam. Dadanya kembang-kempis, kemarahan kembali menguasainya. Matanya mengkilat tajam. "Kamu pasti tahu kakak tidak akan pernah mengizinkan kamu!" nadanya yang tegas membuat Bintang sedikit gemetar.

"Kak, cuma kali ini aja. Aku belum pernah ikut camping, please!" Bintang memelas. Bulan membuang muka dibuatnya. Dia melangkah pergi meninggalkan Bintang dan keinginannya.

"Kak..." suara Bintang terdengar parau sekaligus kata terakhir yang Bulan dengar.

Di kamarnya, Bulan terisak. Perasaan bersalah kembali mencekiknya. Bintang adalah cahaya yang dia punya untuk saat ini. Dia tidak ingin kehilangannya, sungguh.

Usai percakapan menegangkan kemarin, mereka sama-sama diam. Bersuara pun seperlunya.

Mereka sarapan dalam keheningan, sedang Bintang mengeluarkan suaranya ketika pamit bersekolah.

"Kak, aku beneran ngga dapat izin kakak?" cicit Bintang pelan sehabis pulang sekolah. Berharap kakak satu-satunya berubah pikiran. Ya, setidaknya Bintang tidak akan menyerah untuk kali ini.

Bulan menghela napas. Tatapan matanya kosong, penuh kehampaan. "Kamu udah tahu jawabannya." lagi, kata itu yang Bintang dapati untuk kesekian kalinya. Lusa adalah waktu pelaksanaannya, membuat Bintang terkadang uring-uringan.

"Bintang bakal baik-baik, Kak." Bintang kembali mencoba. "Oke. Kakak izinin. Tapi kamu janji harus jaga diri, jangan pisah sama temen ya." Dengan tidak ikhlas Bulan mengucapnya. Walau begitu, Bintang mendengarnya dengan penuh binar.

Hari keberangkatan Bintang mengikuti camping telah tiba. Perasaan Bulan campur aduk sekarang.

Melepas Bintang dalam jangka waktu dua hari membuatnya resah. Pun tanpa komunikasi elektronik, sebab di hutan tempat Bintang berkemah jauh dari jangkauan jaringan, sehingga signal di sana pun susah didapat.

Bulan sendirian dalam rumahnya. Kesepian mendera tanpa henti. Terkadang Bulan merasa gelisah.

Dia menyalakan televisi, menyetel musik dan segala macam kegiatan yang sekiranya dapat membuatnya tenang.

Dua hari berlalu, ini waktu yang ditunggu-tunggu. Bintang, cahayanya akan kembali. Bulan menatap penasaran bus sekolah itu. Satu persatu siswa turun dengan tas gendong yang setia menempel pada punggungnya. Wajah mereka masam, mungkin kelelahan. Namun, sedari tadi Bulan tak kunjung menemukan sang adik.

"Bu Rea," sahut Bulan ketika melihat salah satu guru pendamping Bintang. Bulan menghampirinya.

Bu Rea, dia menghambur ke pelukan Bulan. Mengucapkan maaf dan maaf. Bulan sendiri tidak tahu dia berada dalam situasi apa. 'Kenapa Bu Rea minta maaf?' Pikirannya tertuju pada Bintang. Tidak.

Bintang pasti baik-baik saja. Bulan meyakinkan dirinya.

"Bu- Bulan. Nak... bersabarlah," tutur Bu Rea disela isak tangisnya. Kedua tangannya memegang bahu Bulan begitu erat.

"Kenapa Bu? Ada apa? Ibu ada masalah sama saya? Bintang? Dia, dia dimana Bu? Kenapa belum keluar? Bintang baik-baik kan disana?" Bulan melontarkan pertanyaan beruntun tanpa jeda. Bu Rea semakin tersedu-sedu. Beberapa guru lain pun ikut berkaca-kaca.

"Bintang, dia di Rumah Sakit. Dia kecelakaan saat kemah, terpeleset ke jurang," pungkas Pak Sam, pendamping kemah itu juga.

"Bintang... Tidak! Bintang tidak kenapa-napa. Tolong bilang saya kalau Bintang akan baik-baik saja!"

Bulan terkejut, dia tidak bisa mengontrol dirinya untuk tidak histeris. Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Kakinya kebas, tidak mampu menopang tubuhnya, alhasil dia ambruk di atas aspal jalanan dekat sekolah itu. Setelah menguatkan dirinya, Bulan bergegas bersama beberapa guru menuju Rumah Sakit tempat Bintang berada. Mereka menuju ICU. Disana dokter sedang menanganinya. Beberapa perawat keluar dari ruangan tersebut dengan wajah iba, membuat Bulan semakin diliputi ketakutan.

"Adek Bintang. Dia mengalami patah tulang di kakinya akibat benturan keras, sepertinya terbentur pada batu. Itu membuatnya harus memakai kursi roda hingga keadaan kakinya membaik. Beberapa bagian tubuhnya memar dan lecet kecil. Dan insiden ini mungkin akan membuat jiwanya sedikit terguncang, mungkin seperti trauma berkepanjangan. Dan untuk menghindari hal tersebut, ada baiknya jika kita tidak memperlihatkan benda-benda yang dapat mengingatkannya." penjelasan panjang lebar Bapak Dokter itu membuat Bulan meringis, menahan sungai yang siap mengalir kapan
saja dari matanya. Bulan menggelengkan kepalanya tidak percaya, kenapa Bintang harus mengalaminya?

"Bintang.... " lirih Bulan dengan tatapan kosong.

Usai kejadian tersebut, kini dua minggu setelahnya Bintang kembali ke rumahnya. Keadaannya sudah cukup baik, namun terkadang dia merengek kala mengingat kakinyaa. Melihat itu, Bulan tersenyum miris dan dia hanya mengeluakan kata-kata penyemangat untuk Bintang. Dia juga mengatakan pada Bintang kalau Bintang bisa sembuh, namun perlu waktu lebih untuk memulihkannya. Mendengarnya membuat Bintang berbinar, itu artinya dirinya masih mempunyai kesempatan.

"Kakak" panggil Bintang.

"Ya? Kenapa sayang?" Bulan bertanya, dia telah kembali dari arah dapur setelah membuat segelas susu.

Bintang mendongak, menatap kakaknya dari kursi roda tempatnya duduk. "Kapan Bintang kembali bersekolah?" tanya Bintang lirih. Takut-takut kakaknya itu akan memarahinya.

Bulan menyodorkan gelas berisi susu pada Bintang. "Nanti yah, kalau kamu udah mendingan," jawabnya. Nadanya yang lembut membuat Bintang tersenyum senang. Setelahnya, Bulan mengelus puncak kepala Bintang dengan sayang.

"Sekarang kamu belajar di rumah dulu. Bareng kakak, oke?" Bintang mengangguk antusias, lantas ia menggerakkan tangannya membuat gerakan hormat, "Siap Bos!"

Keduanya terkekeh bersama. Sepertinya waktu yang mereka berdua lewati selama ini tidak begitu hangat. Terakhir kali Bulan merasa kebersamaan itu hidup kala adiknya yang satu masih hidup. Dan Bulan menyadarinya sekarang betapa Bintang merindukan kehangatan ketika manik mata keduanya
bertubrukan. Sorot kerinduan terpancar begitu jelas dari iris milik Bintang.

"Maafin kakak ya, Bintang." Bulan memeluk Bintang, mendekapnya begitu erat.

Bintang membalas pelukannya. "Lho, kakak kenapa? Kok minta maaf." Bintang berujar dengan menjaga agar genangan air di pelupuk matanya tidak mengalir.

Bulan mengurai pelukannya, dia tersenyum. "Ngga kok." Bulan menggeleng kecil, lalu kembali memeluk Bintang.
Saat sendiri, Bulan menangis pilu. Air matanya tumpah ruah. Kata-kata putus asa selalu ia lontarkan saat malam tiba, saat rembulan malam bertengger pada langit kelam berhiaskan taburan bintang.

Bulan merasa gagal menjadi seorang kakak untuk kedua kalinya. Pelangi, adik pertamanya itu mengalami kecelakaan saat berkemah, naasnya dia meninggal. Hingga kejadian tersebut terulang kembali pada adik bungsunya, beruntung tidak sampai meregang nyawa. Itulah alasan Bulan melarang Bintang.

Bulan selalu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada adik-adiknya. Dia kakak yang lalai. Dia gagal. Untuk seumur hidupnya Bulan merasa gagal, dia menjadi kakak yang buruk. Dan ternyata dia tidak bisa mencegah mimpi buruknya kembali. Bulan kehilangan cahayanya, lagi.

-END-

Vote dan komen teman teman😊

[Seputih Melati]🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang