"Depan belok kanan," aku menunjukkan arah perkomplekan rumahku kepada Tama.
"Itu, di depan rumah itu aja," kataku sambil menunjuk rumah bercat putih dan banyak bunga mawar merah di halamannya.
Aku mencoba turun dari motor sport hitam itu tapi kesusahan lagi, karena kaki yang tidak langsung mencapai tanah. Karena merasa aku tidak turun-turun akhirnya Tama bicara.
"Pegang pundak gue aja" dengan ragu-ragu aku memegang pundak Tama dan turun dari motornya.
"Makanya jadi orang jangan pendek-pendek" aku kesal mendengar ucapannya. Padahal menurut papa tinggiku normal kok. Kenapa dia sok tahu sekali.
"Enak aja, gue gak pendek kok. Kata papa tinggi gue normal-normal aja. Lo aja yang sok tau!!!" bantahku tidak terima.
"Terserah." Tama hendak menggunakan helm-nya. Tapi aku teringat untuk meminta maaf padanya.
"Oh iya, gue mau ngomong" Tama meletakkan kembali helm-nya dan mengangkat satu alisnya sebagai respon.
"Gue...gue maaauuu minta maaf soal kejadian waktu itu di kantin. Meskipun lo yang nabrak gue sih tapi apa salahnya minta maaf, toh dengan minta maaf derajat gue gak akan turun kan? Jadi tolong maafin gue ya." Tama mengerutkan dahinya bingung.
"Kenapa lo berubah pikiran?" Tama bertanya padaku dengan wajah datar. Aku bingung harus menjawab apa. Masa aku jawab supaya aku tidak diganggu fans-nya lagi. Kan terlalu kelihatan ada maunya sekali.
"Ehm... Yaaa gue cuma mau minta maaf aja. Kan waktu itu lo yang suruh gue buat minta maaf ke elo kan?"
"Gak bisa. Waktu di toilet gue udah kasih lo kesempatan buat minta maaf kan? Dan lo gak minta maaf. Gue gak bisa narik ucapan yang udah keluar dari mulut gue." Tama memakai helm dan menyalakan mesin motornya.
"Kenapa lo nyebelin banget sih, gue cuma mau lo maafin gua doang, lagian waktu itu lo yang nyuruh gua buat minta maaf. Dasar aneh. Yaudah makasih udah nganterin gue. " aku langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal, tidak menghiraukan Tama yang masih di depan rumah. Meskipun kesal, aku masih tahu etika karena Tama sudah mengantarku pulang.
Aku membuka pintu dan mengucapkan salam. Berjalan ke arah mama untuk mencium tangannya. Kulihat mama sedang memasukan adonan kue ke dalam loyang.
"Kenapa Athi? Baru pulang sekolah kok mukannya udah cemberut aja. Pulang naik apa nak?" tanya mama melihat anak gadisnya yang masuk rumah dengan wajah tertekuk.
"Gak papa ma. Tadi naik taksi." kataku berbohong. Masa aku bilang di antar oleh cowo, bisa geger nanti mama dan memberitahu ke papa dan Galang.
"Yaudah, kamu langsung ganti baju setelah itu makan ya nak," aku mengangguk dan melangkahkan kaki ke arah tangga.
"Enak aja dia. Gue udah baik-baik minta maaf malah gak diterima maafnya. Padahal waktu itu dia sendiri yang suruh gue minta maaf. Kenapa harus gue sih yang ditabrak dia? Kenapa bukan orang lain aja? DASAR COWO NYEBELIN!!!"
Aku merebahkan diri di atas kasur. Aku sangat lelah hari ini. Belum genap satu minggu Tama mengancamku, tapi sudah banyak yang berubah dari hidupku. Setiap jalan di lorong aku selalu mendapatkan tatapan kesal dan cibiran dari semua siswi. Tadi siang aku sudah dilabrak oleh kakak kelas. Apa aku bisa bertahan? Sedangkan Tama tidak mau menerima permintaan maafku. Tanpa sadar aku merasakan kantuk yang teramat sangat. Dan setelahnya semuanya gelap digantikan oleh alam mimpi yang sudah menunggu.
****
Aku dan Lintang berjalan menuju toilet untuk mengganti pakaian, karena saat ini adalah jam pelajaran olahraga. Setelah selesai berganti pakaian, kami berjalan menuju lapangan. Semua siswa sudah berkumpul di tengah lapangan, menunggu Pak Beni ~guru olahraga~ datang.
Semua siswa tampak asik berbincang, membicarakan hal-hal yang sedang trend saat ini. Aku juga mendengar beberapa siswa membicarakan Tama, mungkin mereka salah satu fans-nya. Bicara tentang Tama, untung saja kemarin saat Tama mengantarku pulang tidak ada siswa yang melihat. Kalau saja ada yang melihat mungkin sekarang aku sudah habis oleh Renata.
Pembicaraan siswa seketika selesai saat Pak Beni berjalan ke arah lapangan. Tetapi, beliau tidak jalan sendiri, ada satu orang siswa yang mengikutinya di belakang. Saat tepat berhenti di depan kami, seketika semua siswa kaget, ada yang berbisik-bisik, memuji, melihatnya sambil tersenyum-senyum malu. Aku juga tidak tahu siapa yang dibawa, karena aku berada tepat di bawah sinar matahari, kalau aku mendongak ke atas wajahku akan langsung diterpa sinar matahari. Silau men.
"Emang siapa yang dibawa ke sini Lin?" tanyaku yang juga penasaran pada Lintang.
"Itu kapten basket. Mungkin materi olahraga hari ini basket ya?" aku hanya mengangguk menyetujui kalimat Lintang.
"Oke anak-anak semua. Jadi, materi kita hari ini adalah permainan bola besar, lebih tepatnya basket. Dalam permainan bola basket ada banyak teknik yang digunakan salah satunya adalah Lay Up. Nah, teknik yang akan kita pelajari hari ini adalah teknik Lay Up atau tembakan melayang." Pak Beni menjelaskan.
"Hari ini saya membawa kapten basket SMA Tunas Bangsa untuk memberikan contoh pada kalian semua. Ayo coba contohkan." lanjut pak Beni memberi perintah.
Kapten Basket sudah bersiap-siap berdiri di tengah lapangan. Kemudian mendrible bola mendekati ring, saat hampir sampai di ring dia melompat dan sempurna bolanya masuk dengan mulus ke dalam ring. Seketika semua siswi berteriak sambil bertepuk tangan.
Kapten Basket itu berjalan ke arah kami dan berdiri di samping Pak Beni.
HAH KAK KEVIN?
Jadi yang kemarin menolongku itu kapten basket SMA Tunas Bangsa?
"Jangan bengong, nanti kesambet." kata kak Kevin sambil tersenyum ke arahku. Seketika semua siswi terdiam dan melihat ke arahku.
****
Salam:
Penarasaa 🌹🌹7 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
My Strange Enemy
Teen FictionZiya Athisya cewek dengan kehidupan biasa saja. Ia berharap masa SMA nya normal. Tetapi harapan tinggalah harapan. Semua kehidupan SMA Ziya berubah karena masalah kecil. Tama Adelard The Most Wanted Boy di SMA Tunas Bangsa tak menyangka jika ada seo...