Matahari menelusup masuk ke kamar gadis yang masih tertidur pulas dengan selimut tebal menutupi separuh tubuhnya. Ziya tidak bergerak sama sekali padahal jam sudah menunjukkan pukul 08.00.
Sebenarnya ini hari sabtu. Ya hari libur. Tidak ada yang ingin bangun pagi di hari libur bukan?
"Ya ampun, anak perawan kok jam segini belum bangun sih. Bangun Athi, udah siang ini. Gak malu sama ayam? Masa duluan ayam bangunnya." Itulah kalimat panjang yang selalu mengawali harinya di hari libur.
"Hooahhhh, apasih ma? Masa Athi disamain sama ayam." Gumam Ziya dengan mata yang tetap terpejam.
"Ya makanya bangun, udah siang ini. Mending kamu jogging kan dari pada tidur" kata mama sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Ziya.
"Hmm"
"10 menit mama tunggu di bawah untuk sarapan, kalau tidak bangun juga mama hukum kamu bersihin toilet lantai 1 sama 2 sendirian. selama seminggu" ancam mama dengan penekanan di akhir kalimat dan keluar dari kamar Ziya.
Sontak Ziya langsung membuka matanya lebar. Tidak mungkin kan dia membersihkan toilet lantai 1 dan 2 sendirian, selama seminggu lagi. Ziya langsung masuk ke kamar mandi, mengabaikan rasa kantuknya yang masih teramat sangat.
Tak butuh waktu lama, ia sudah selesai mengenakan pakaian dan segara turun ke bawah untuk sarapan.
"Pagi papa" sapa Ziya pada papa kemudian mengecup pipi papanya.
"Pagi sayang, tumben udah bangun. Biasanya juga sampai siang tidurnya" ucap papa dengan senyum usil berniat mengganggu Ziya. Ya, memang kalau saja tidak dibangunkan mama dengan ancaman, Ziya tidak akan bangun sampai siang. Semua orang dirumahnya tau itu.
"Biasa pa, ada yang ngamuk" ucap Ziya kesal sambil melirik mama yang sedang mengangkat telur dari penggorengan.
"Ehhh, ngomingin mama ya kamu?" Tanya mama dengan mata melotot.
"Eh, hehehe enggak kok ma, mama salah denger kali" jawab Ziya cengengesan.
"Udah, udah. Mending makan aja yuk" ajak papa menengahi.
Ziya mengambil nasi goreng ke atas piringnya dan tak lupa telur mata sapi. Setelah berdoa papa, mama, dan Ziya mulai makan tanpa suara. Hanya suara sendok menyentuh piring yang terdengar.
"Teman kamu gimana sayang?" Tanya papa di sela-sela sarapan.
"Temen? Temen yang mana pa?"
"Yang kemarin katanya jatuh dari motor" jawab papa.
-Flashback on-
"Tama bangun. Udah sampe di rumah sakit nih." ucapku dengan menepuk-nepuk pundak Tama pelan.
"Hmm" Tama hanya menggeliat.
"Woi, ini udah sampe. Bangun-bangun!" Ucapku lebih keras.
Tama membuka matanya dan langsung meringis, mungkin karena merasa nyeri di sekujur tubuhnya. Dia melepas rangkulan tangannya di pinggangku dan menegakkan tubuhnya.
"Sakit ya? Gue turun dari motor ya?" Ucapku pada Tama. Aku segera turun dari motor dan membantu Tama turun.
"Pelan-pelan aja," aku memapah Tama berjalan ke pintu masuk rumah sakit.
Saat sudah di depan pintu, suster langsung datang dengan membawa kursi roda. Aku mendudukan Tama di kursi roda dibantu oleh suster tadi. Kemudian suster mendorong kursi roda ~ku ikuti dari belakang~ ke sebuah ruangan.
Setelah di dalam ruangan aku membantu suster membaringkan Tama di atas ranjang rumah sakit, kemudian suster itu meninggalkan kami berdua. Cukup lama kami menunggu dokter tanpa percakapan. Aku hanya melihat ke arah kakiku, sedangkan Tama? Entahlah.
"Lo pulang aja" Tama memulai percakapan, menyudahi keheningan.
Aku menoleh ke arah Tama. "Serius?" Tama mengangguk.
"Terus nanti lo sama siapa di sini?" Dia mengedikkan bahunya.
"Atau gue teleponin orang tua lo dulu ya?" Tawarku
"Gak usah" jelas, singkat, dan padat. Aku melihat perubahan di raut wajah Tama. Rahangnya mengeras.
"Nanti gue telepon temen gue aja" lanjutnya.
"Yaudah kalo gitu, gue duluan ya." Tama mengangguk.
Sebenarnya aku ragu meninggalkan Tama sendirian, tapi papa dari tadi sudah banyak mengirim pesan ke ponselku. Lagi pula Tama juga sudah di rumah sakit. Tinggal menunggu dokter datang.
-Flashback off-
"Kok malah bengong?" Ucap papa lagi.
"Eh, udah di rumah sakit kok pa." Kata Ziya sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut.
"Syukur deh, berarti sudah ditangani oleh dokter." Ziya mengangguk sebagai jawaban. Padahal ia tidak mengetahui kondisi Tama saat ini.
Selesai makan, Ziya membantu mamanya membereskan meja makan dan mencuci piring kotor.
"Emang teman kamu yang jatuh dari motor cewe apa cowo sayang?" Tanya mama saat Ziya baru saja selesai mencuci piring kotor.
"Cowo ma" jawab Ziya.
"Perasaan kemarin kamu pergi sama Lintang kan?" Tanya mama bingung.
"Iya ma. Sebenernya pas di jalan pulang Athi lihat teman Athi dikeroyok ma. Dikeroyok sama empat orang preman. Kan gak mungkin Athi biarin aja, jadi Athi tolongin. Tapi maaf, Athi bohong bilangnya nolongin temen jatuh dari motor. Takutnya mama sama papa khawatir." Jawab Ziya jujur.
"Hah? Ya ampun. Tapi kamu gak papa kan sayang?" Mama langsung datang ke arah Ziya dengan khawatir.
"Gak papa kok ma" jawab Ziya meyakinkan mama.
"Syukur deh kalo gitu. Memangnya teman kamu siapa?"
"Tama namanya ma" mendengar jawaban Ziya, mama mengernyitkan dahi.
"Tama? Kayanya mama pernah denger nama itu. Tapi dimana ya?" Mama mencoba mengingat-ingat.
"Masa sih ma. Yang namanya Tama kan bukan cuma satu orang ma"
"Oh iya juga ya. Yasudah, mudah-mudahan saja teman kamu cepat sembuh."
"Aamiin, yaudah ma, Athi ke kamar dulu ya"
Melihat mama yang mengangguk, Ziya langsung berjalan menuju tangga untuk ke kamarnya.
****
Ya ampunnn maafkan aku kawan-kawan.
Aku bener-bener lupa up kemaren mohon maaf.
Tapi tetep jangan lupa tinggalin vote & komennya ya.
Maaciw sayang ❣
Salam:
Penarasaa 🌹🌹26 Juni 2020
![](https://img.wattpad.com/cover/225897293-288-k73144.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Strange Enemy
أدب المراهقينZiya Athisya cewek dengan kehidupan biasa saja. Ia berharap masa SMA nya normal. Tetapi harapan tinggalah harapan. Semua kehidupan SMA Ziya berubah karena masalah kecil. Tama Adelard The Most Wanted Boy di SMA Tunas Bangsa tak menyangka jika ada seo...