Hai semua... Udah lama tak jumpa wkwkwkwk. Ini ada cerita baru dari aku edisi libur corona 😂😂
Hopefully nggak ada typo, happy reading!
___________________________
"Aarrgghh!!" Dian menangis keras. Hatinya bagai diremukkan secara paksa hingga tak bersisa. Ia meremas-remas baju putranya yang telah menghilang entah ke mana selama dua puluh empat jam lebih. Pertahanannya runtuh, bahkan ia nyaris dibuat gila akan hal ini.
"Bun-Bunda... Maafin Devan." Devan menunduk dengan ucapan yang terbata-bata karena tangis. Anak lelaki berusia delapan tahun itu terisak begitu juga dengan air matanya yang mengalir deras dari kedua kelopak mata.
Dian menggeram, "Devan! Kamu itu seorang kakak! Harusnya kamu bisa jaga Devin! Kamu tau tugas seorang kakak, kan?! Apa tugas kakak, hah?! Tugas seorang kakak itu, jaga adiknya baik-baik! Kamu lupa?!"
Devan semakin terisak, ia tahu ini semua adalah kesalahannya. Devin, adik kandung yang memiliki wajah identik dan sama persis dengannya itu, dibawa pergi oleh orang yang tak dikenal entah ke mana. Sudah dua puluh empat jam hingga saat ini belum juga ditemukan.
Devan mengutuki diri sendiri. Ini semua adalah kesalahannya. Jika saja saat itu Devan tidak mengajak Devin untuk bermain petak umpet di luar rumah, maka ini semua tidak akan terjadi. Devan terus menyalahkan diri sendiri, ia bersedia menerima hukuman apa pun yang akan diberikan. Karena ia tahu, ia pantas menerimanya.
"Aarrgghhh!!" Teriakan dan kegetiran Dian semakin menjadi-jadi. Jantungnya memicu lebih cepat dari biasanya, sensasi menusuk jelas ia rasakan sekarang. Dian memegang dadanya yang terasa sesak. Tapi seketika tangan itu mengepal dan memukul dadanya sendiri untuk mengalihkan rasa sakit yang seperti menusuk hingga tembus ke belakang.
"Dian!" Suara berat Hendra terdengar dari kejauhan. Pria berpostur tegap itu datang menghampiri dan mendekap Dian langsung. "Udah, Sayang... Jangan hukum diri kamu kayak gini."
Dian memberontak minta dilepaskan, tapi dengan tenang Hendra kembali mendekapnya. Mau bagaimanapun, Hendra harus tetap terlihat tegar dan kuat. Dirinya adalah sosok Ayah yang akan selalu menjadi panutan dalam keluarga. Jika dirinya sendiri hancur, bagaimana dengan keluarganya? Hendra harus menyimpan lukanya dalam-dalam. Kekuatan dan ketegaran itu harus tetap ada saat ia berada di depan anggota keluarganya. Walau mungkin ketegaran itu ... hanyalah pura-pura.
Hendra mendekap Dian kuat, "Kamu yang kuat. Kita pasti bakal temuin dia. Serahin aja semua sama polisi. Kamu jangan hukum diri kamu kayak gini. Kamu harus tenang."
Dian memberontak kembali, "Tenang?! Tenang gimana maksud kamu, Mas?! Aku harus tenang saat anak aku sendiri hilang entah ke mana?! Devin lagi dalem bahaya, dan kamu nyuruh aku buat tenang?!" teriak Dian.
Hendra kembali mendekap Dian, sesekali air matanya jatuh. "Polisi pasti bakal nemuin Devin. Devin bakal baik-baik aja. Kamu harus percaya sama aku."
Dian menangis keras dalam pelukan Hendra. Jantungnya dipicu untuk memompa lebih cepat. Ketakutan ini menggerogoti tubuhnya. Derai air mata mengalir deras hingga membasahi baju Hendra. Rasanya sakit, sangat sakit. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sangat sulit.
Di sisi lain, Devan hanya terisak. Tangannya mengepal erat. Salah satu bagian dari dirinya telah dibawa pergi ke suatu tempat yang tentu saja ia tidak ketahui.
Ia jelas-jelas telah kehilangan separuh jiwanya.
Tubuh Devan melemas. Hatinya seperti dibakar hangus menjadi serpihan debu kecil. Ia masih menyalahkan diri sendiri atas semua kejadian ini. Devan merasa ini semua adalah salahnya. Ia adalah anak bodoh, anak lalai dan kakak yang tak bertanggung jawab. Devan terisak tanpa suara. Rasanya sangat menyakitkan. Bahkan kakinya seperti tak mampu menyangga bobot tubuh yang sedang bergemetar. Tak selang beberapa detik, tubuh mungilnya ambruk begitu saja.
BRUGGHH...
"DEVAN!!" teriak Dian dengan mata yang langsung terbuka lebar. Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Hendra dan langsung meraih putranya.
Kedua mata Devan tertutup rapat. Kendati air mata masih mengalir dari celah-celah kelopak mata. Tubuhnya lunglai dalam pelukan Dian, begitu juga dengan Hendra yang sudah berada di dekatnya dengan perasaan khawatir.
Devan benar-benar telah menghukum dirinya sendiri.
🍁🍁🍁
"Jangan nangis, bodoh!" Teriak Fiera bersamaan dengan tali cambukan yang menghantam kulit Devin hingga terdengar bunyi yang amat mengerikan.
Tiga orang antek-anteknya menjaga di sekeliling, jangan sampai ada yang mendengar keributan ini, atau jika tidak, mereka akan terjeblos ke dalam sel penjara.
Dengan sisa tangis yang masih ada, Devin terdiam lemas di pojok ruangan. Beberapa luka garis merah gelap tercetak di lengannya akibat cambukan berkali-kali dari seorang perempuan jahat yang ia tidak ketahui. Air matanya turun membasahi pipi, isakan tangis itu kembali terdengar.
Fiera berjongkok, menyamai kedudukannya dengan Devin. Senyum miring terpatri di wajah perempuan berusia sekitar tiga puluh tahunan itu. Fiera meraih dagu Devin dan mendongakkannya.
"Denger Devin, kamu nggak bakal bisa ke mana-mana. Ayah kamu nggak bakal bisa nemuin kamu di tempat terpencil kayak gini." Fiera semakin mencengkeram dagu mungil Devin. "Kamu pinter ngelukis, kan? Saya tau kamu pinter ngelukis dari Ayah kamu. Bodohnya dia nggak tau kalau saya udah rencanain ini semua."
Senyum miring Fiera makin melebar ketika melihat wajah Devin yang ketakutan. "Kamu harus bekerja untuk saya. Kamu harus melukis yang bagus dan menghasilkan banyak uang untuk saya. Kalau kamu tidak mau menurut, kamu tau kan apa hukumannya?" Fiera memainkan tali cambukan itu di depan wajah Devin dengan senyuman seringai menyeramkan.
Air mata Devin jatuh begitu saja. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Memberontak? Tangannya terikat ke belakang. Berteriak? Itu sama saja dengan bunuh diri. Yang ia bisa lakukan hanyalah menangis. Menangis ketakutan, berharap orangtuanya akan segera datang untuk membawanya pergi dari tempat ini.
Seringai tajam Fiera seketika berubah menjadi senyuman manis. Tapi tentu saja itu tidak merubah tingkat keseramannya. Tangan Fiera beralih mengelus rambut Devin, "Mulai sekarang kamu bakal tinggal sama saya. Patuhi saya dan jangan pernah melakukan hal yang macam-macam lagi! Mengerti?" Fiera menampakkan senyumnya sekilas kemudian berubah seketika. Perempuan itu berdiri, ia menatap lurus ke arah Devin.
"Mulai besok, kamu mulai ngelukis dan cari duit. Kalau kamu turuti saya, saya akan carikan guru pengajar untuk menggantikan sekolah kamu. Lumayan, kalau kamu makin pinter, saya makin bisa dapetin banyak duit. Tapi kalau kamu macem-macem, tiga orang di sana bakal ngehukum kamu." Fiera menunjuk ke arah antek-anteknya.
Senyum seringai kembali terpasang, Fiera melepas tali yang mengikat kedua tangan mungil Devin. Sekali lagi senyuman manis namun menyeramkan itu tampak di wajah Fiera, "Patuhi saya, maka saya akan bersikap baik kepadamu."
Fiera berdiri, kemudian dia beserta antek-anteknya pergi dan meninggalkan Devin sendirian di kamar yang telah disediakan khusus untuknya itu. Devin terdiam kaku, cowok itu hanya bisa menangis sembari melihat ke arah pintu yang sepertinya telah dikunci dari luar.
Devin mengepal tangannya yang bergemetar ketakutan. Hatinya berdenyut sakit, sangat sakit. Ditambah lagi dengan luka-luka cambuk yang baru saja diberikan. Ia hanya bisa menangis, berharap ada keajaiban datang untuknya.
"Ayah, Bunda... Jemput Devin pulang," lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅
Teen Fiction[BEBERAPA PART TELAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] Tempat yang paling hangat itu, dalam pelukan lembut Bunda. Tempat yang paling aman itu, dalam dekapan lengan lebar Ayah. Saat-saat yang paling menyenangkan adalah saat aku masih bisa menggen...