Trouble : : 02

3.2K 334 187
                                    

Happy reading...

___________________________

Tangan Devin bergemetar memegang kuas dan palet. Entahlah, sudah sedari tadi ia merasa sangat tidak enak badan. Mungkin karena pukulan-pukulan yang masih terasa sangat menyakitkan di seluruh tubuhnya.

Devin meletakkan kuas dan paletnya di atas meja. Jika dulu ia sangat mencintai seni dan lukisan, maka tidak dengan sekarang. Ia benci, benci terhadap segala hal yang membuatnya terkekang hingga saat ini.

Cowok itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Ia berjalan mendekati arah jendela yang telah diberi pengaman besi tentunya. Setelah aksi nekatnya yang hendak kabur lewat jendela sewaktu kecil, membuatnya semakin tersiksa. Sekarang hanya kehancuran dan kegelapan yang memenuhi hidupnya.

Devin jelas-jelas telah hancur. Ia tidak tahu untuk apa dirinya hidup hingga saat ini.

Walaupun tubuhnya terasa panas, Devin tidak terlalu menghiraukannya. Hal seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Devin sudah terbiasa sakit tanpa ada seorang pun yang peduli. Sekarang Devin ingin tertawa, tertawa menertawai nasibnya yang menyedihkan ini.

Di antara sekian banyak orang, mengapa harus Devin? Mengapa dirinya yang harus mengalami hal menyedihkan seperti saat ini? Mengapa takdir tak pernah membuatnya bahagia kembali? Apa salahnya?

Lantas keluarga. Hal terbodoh yang Devin selalu harapkan untuk datang dan menyelamatkannya. Sudah delapan tahun menunggu, nyatanya tak ada seorang pun dari mereka yang datang untuk membantu Devin. Setidaknya membantu di saat ia terpuruk atau mungkin menanyakan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Bahkan di mimpi sekalipun ia tak pernah didatangi oleh keluarganya.

Devin tertawa menyedihkan. Bodoh! Untuk apa mengingat hal itu? Mereka semua belum tentu mengingat Devin. Apa mereka sengaja melupakannya?

Setetes air mata jatuh. Jujur saja, Devin sangat sangat sangat rindu dengan keluarganya. Rindu dengan Bunda, Ayah dan tentu saja ... Devan. Rasanya sangat tersiksa memendam rindu yang berlebihan seperti ini. Tak hanya itu, ia juga merindukan saat-saat di mana ia masih bisa tertawa dengan bebas dan bahagia.

Tapi sekarang tidak lagi. Ralat, sejak delapan tahun yang lalu tidak ada kebahagiaan lagi. Semuanya hangus dan terbakar sirna.

Ia ingin memiliki tempat untuk bersandar, mengeluarkan segala kesedihan, keluh kesah dan luka yang mengerak dalam hatinya selama ini. Devin selalu memendam semua itu sendiri, tanpa pertolongan ataupun bantuan. Selama ini ia bertahan, berharap suatu hari nanti keluarganya akan datang untuk menolong. Meraih tangannya, mengusap air mata yang senantiasa keluar, mengelus rambutnya dengan lembut, memeluknya erat, dan memberikan hatinya tempat untuk bersandar dari segala gundah. 

Sayangnya hal seperti itu sangat mustahil terjadi. Tak ada yang akan menariknya masuk ke dalam lingkaran hangat keluarga yang sangat ia rindukan.

Selamanya...

Devin menggelengkan kepalanya samar, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di sana ia melihat ke arah cermin besar yang terkadang selalu menjadi bahan pelampiasannya. Jika ia merasa kesepian, cowok itu pasti selalu melihat ke arah cermin. Mengasumsikan orang yang berada di cermin itu adalah Devan, bukan pantulan dirinya sendiri.

Tapi itu semua terasa sangat menyakitkan. Kenyataan pahit ini seperti mendorongnya ke pusaran hitam tak bersisa. Hatinya berdenyut sakit setiap kali mengingat tentang nasib buruknya itu.

Devin kembali membuka loker kamar mandi. Ia mengambil sebuah benda yang selalu ia sebut sebagai pengalih rasa sakit. Sebuah silet kecil yang selalu menjadi temannya hingga saat ini.

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang