Trouble : : 04

2.7K 328 252
                                    

Hello! Apa kabar? Ini update-an terbaru aku ya!

Happy reading...

______________________________

Selama tiga hari terakhir ini, Devan tidak pernah terlihat tenang. Tak ada senyum di wajahnya, dan selalu ingin menangis setiap saat. Ya ... tentu saja ia takut sesuatu terjadi pada adiknya.

Devan mondar-mandir tak bisa tenang. Hendra dan Dian kebingungan melihat tingkah Devan yang semakin hari, semakin uring-uringan.

"Kamu kenapa sih, Van?" tanya Dian.

Devan memegang kepalanya, lalu duduk di sofa dan menangis pelan. "Devan nggak tau."

"Kamu itu besok ulang tahun loh. Masa uring-uringan gini terus?" Kini Hendra bersuara.

"Besok Devin juga ulang tahun Ayah," lirihnya.

Hendra dan Dian tertegun mendengarnya. Suara Devan terdengar sangat lirih, apalagi ketika menyebut Devin di dalam kalimatnya.

Dian berusaha menahan buliran air mata yang hendak jatuh, "Bunda ke kamar dulu." Perempuan itu beranjak dari sofa dan langsung berjalan menuju kamar. Dia tak kuat jika disuruh berpura-pura tegar di depan mereka. Ada baiknya jika ia menangis sendiri di kamar tanpa ada seorang pun yang tahu.

"Abang!" Suara berat seorang pria terdengar dari depan pintu.

"Andre? Tumben malem-malem dateng." Hendra langsung beranjak dan menghampiri adiknya. Dia mencoba mengalihkan situasi, setidaknya dengan kedatangan Andre, situasi dapat sedikit membaik.

Devan menghapus air matanya, ia langsung berlari memeluk Andre begitu saja. "Om Andre!"

Andre tertawa melihat tingkah keponakannya, entah ada apa dengan Devan sampai mendekapnya secara tiba-tiba. Bahkan cowok itu menangis hingga membasahi seragam polisi milik Andre.

"Ini bocah kenapa dah?" canda Andre ke Devan.

"Van, itu Pak Polisinya disuruh masuk dulu. Jangan terus-terusan dipeluk. Nyaman banget kayaknya," ujar Hendra seraya tertawa kecil.

Devan melepas pelukan itu, lalu menghapus air matanya. Andre menguyal kepala keponakannya itu hingga rambut Devan berantakan.

"Ayo masuk," ujar Hendra mempersilahkan adiknya masuk.

Andre duduk di sofa, ia menghela napas sejenak. "Bang, maaf aku masih belum nemu info apa pun tentang Devin. Dari pihak kepolisian juga udah berusaha nyari, tapi tetep nggak ada info apa pun."

Hendra menahan air matanya yang hendak keluar. Mau bagaimanapun, ia tidak boleh menangis. Apalagi di depan Devan. Ia harus tegar.

Andre menghembuskan napasnya, lalu menggeleng, "Kayaknya Devin udah-"

"Nggak!" sela Devan langsung. Cowok itu menghapus sisa air matanya di pipi, "Udah! Jangan ngomongin Devin lagi. Om Andre, Devan ada sesuatu di kamar. Kita ke sana ya?" ajak Devan langsung.

"Kamu kenapa dah? Kayak anak kecil aja, Van."

Devan tak peduli. Cowok itu meraih tangan Andre dan langsung mengajak pamannya itu pergi ke dalam kamar. Devan menoleh ke arah Hendra, "Ayah nggak boleh ikut! Ini khusus untuk Om Andre aja."

Hendra sebisa mungkin menampakkan senyumnya. Setelah melihat Devan masuk ke dalam kamar bersama adiknya, Hendra langsung menangis kembali. Menangis sejadi-jadinya. Ia lelah berpura-pura kuat seperti ini. Tapi mau bagaimanapun, ia harus tetap melakukannya.

"Devin, kamu di mana, Sayang?" lirih Hendra langsung.

Di sisi lain, Devan mengunci pintu kamarnya. Mungkin hal ini membuat Andre bertanya-tanya. Ada apa dengan keponakannya itu?

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang