Trouble : : 08

2.6K 287 102
                                    

Happy reading.... Enjoy!

_____________________________

Dian terduduk di sebelah ranjang Devin, perempuan paruh baya itu melihat nanar ke arah putranya yang sudah enam jam tidak bangun dari tidur. Mungkin Devin merasa tidak enak badan. Atau mungkin juga, Devin telah lama tidak tidur panjang dan tenang seperti ini.

Dian tersenyum pedih, ia mengelus rambut Devin dengan penuh kasih sayang walaupun orang yang sedang ia elus masih tertidur lelap. Dian mengompres kening Devin, kemudian mendekatkan diri ke wajahnya dan mencium pipi kanan Devin cukup lama.

Ia merindukan saat-saat di mana ia masih bisa mencium pipi anaknya itu dulu. Dulu pipi Devin masih sangat mungil, dan sekarang Dian mencium pipi putranya yang sudah beranjak dewasa. Ada banyak hal yang Dian ingin ajarkan kepadanya, namun ia tidak mendapatkan kesempatan itu selama bertahun-tahun. Devinnya terkekang, terpisah, hidup dengan beribu-ribu luka yang diberikan, dan harus memikul beban berat seorang diri. Dian merasa terkoyak ketika mengingat segala hal pahit yang hampir membuat Devin depresi dan gila selama delapan tahun.

Dian meneteskan air matanya, ia terus menerus mengelus rambut Devin. "Kamu harus cepet sembuh, Sayang."

Sejak tadi Dian selalu berusaha membujuk Devin makan, tapi sama sekali tidak diindahkan oleh putranya itu. Alhasil sekarang Devin memilih untuk tetap tertidur pulas dan tidak makan hingga dokter memasukkan selang infus ke tangannya kembali.

"Vin!" teriak Devan yang sedang berjalan masuk. "Jawaban lo bener semua! Wuhu!"

Dian melihat ke arah putranya satu lagi, "Kamu udah pulang sekolah?"

Devan mengangguk, "Udah, Bun. Tadi Devan satu-satunya yang dapet nilai tugas tertinggi. Seratus! Kemarin Devin yang bantu, sekarang Devan mau nanya jawaban tugas lainnya." Devan nyengir begitu saja.

Dian menghela napas, "Devin demam, Van. Udah dari tadi dia tidur, katanya lagi nggak enak badan. Kamu bikin tugasmu sendiri aja sana! Atau mau Bunda bantuin?"

Devan berjalan ke arah sofa, "Devin beneran demam, Bun?"

"Tadi dokter udah ke sini ngecek pas dia lagi tidur. Katanya Devin demam sama sakit mag karena nggak pernah makan secara teratur," ujar Dian dengan raut wajah sedih.

Devan mengepalkan tangannya geram, "Dia mana pernah dikasih makan teratur di sana. Jangankan makan, sehari aja bisa nggak dapet makanan apa-apa dia."

"Bunda kasihan liat adikmu, Van."

"Mmmm... Bunuh!" Devin mengigau.

Dian dan Devan langsung menoleh ke arahnya. Mereka mengernyit.

"Bunuh aja Devin sampai mati! Pukul, pukul Devin terus, Tante! Devin nggak mau hidup lagi!" Devin meracau sembari menangis. Keringat basah turun dari keningnya, bersamaan dengan gerak tubuh yang tak dapat tenang.

Dian langsung meraih putranya, "Sayang... Tenang, ada Bunda di sini." Perempuan paruh baya itu mengelus rambut Devin. Seketika cairan bening Dian jatuh begitu saja dari matanya ketika melihat mental putranya terganggu.

"Pukul! Pukul terus sampe Devin mati! Bunuh!" racau Devin.

Devan datang mendekati ranjang adiknya. Sedangkan Dian terus berusaha menenangkan Devin. "Sadar, Sayang... Sadar!"

Mata Devin tiba-tiba terbuka lebar. Tubuhnya bergemetar seketika. Tampak jelas pupil matanya memperlihatkan kecemasan yang dalam.

"Bunda ada di sini..." Dian memeluknya erat.

Devin menghembuskan napas sejenak, ternyata itu semua hanyalah mimpi buruk. Devin menelan salivanya yang terasa pahit, "Bunda?"

Dian melepas pelukan itu, ia beralih mengelus rambut Devin kembali. "Iya, Sayang. Ada Bunda di sini. Tenang, ya? Kamu mau apa?"

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang