Trouble : : 09

2.5K 271 143
                                    

Happy reading...

Btw chapter ini aku bikinnya sambil nunggu antrian rumah sakit :v

Wkwkwkwk... Enjoy yaa

____________________________

Empat hari telah berlalu. Keadaan Devin tidak sepenuhnya membaik. Ada hari di mana Devin akan drop parah hingga masuk ruang ICU, lalu kembali sadar dengan keadaan lemah dan pucat.

Hal itu tentu saja memberikan kelaraan dan rasa sesak di hati keluarganya. Kadang Devin dapat mendengar bundanya menangis sendu saat ia dalam kondisi setengah sadar. Lalu ia juga dapat merasakan pelukan hangat yang penuh kerinduan dari ayah dan saudaranya saat ia memejamkan mata. Setelahnya mereka akan menangis lirih, berkata bahwa mereka ingin melihatnya sembuh dan bisa kembali ceria seperti dulu.

Namun walaupun begitu, Devin masih juga enggan berbicara. Ia terus menganggap dirinya gila dan takut akan melukai orang lain. Devin merasa malu, bahkan dengan keluarganya sendiri.

Dian menatap lembut wajah putranya seraya mengelusnya pelan. Mengingat betapa buruknya kondisi Devin saat berada di ruang ICU beberapa hari yang lalu, membuat dada Dian terasa sesak. Berbagai macam selang dan alat medis lainnya dipasangkan ke tubuh Devin hari itu. Kondisinya yang drop parah, membuat para dokter siap siaga menanganinya.

Hal yang Dian lakukan saat itu hanyalah menangis. Menyembunyikan wajah dalam dekapan suaminya lalu terisak. Ia tak sanggup melihat Devin dalam keadaan seperti itu. Ada saat di mana Devin sempat gagal napas, membuat mereka bertiga ketakutan bukan main. Napas Devin tersengal hebat hari itu meskipun alat bantu napas telah dipasangkan.

Saat Devin tak mampu bernapas dengan baik, Dian sempat melihat air mata Devin jatuh menetes namun kedua kelopaknya tidak terbuka. Hal itu sudah cukup menjelaskan bahwa putranya sedang kesakitan namun tak berdaya.

Hari itu para tim medis berhamburan masuk untuk menyelamatkannya. Menyelamatkan Devin yang juga sedang berjuang melawan sakitnya. Doa tak henti-hentinya dipanjatkan.

Namun sekarang putranya itu telah sadar dan membaik. Devin sudah mulai dapat merespon segala hal yang mereka lakukan. Hanya saja ia masih tampak lemas. Setetes air mata Dian jatuh.

"Vin... Kamu diem mulu nggak ngomong-ngomong. Ngomong yuk? Bunda udah empat hari nggak denger kamu ngomong apa-apa." Dian mengelus rambut Devin, "Kamu drop terus akhir-akhir ini, apalagi sampai sempet masuk ICU trus nggak sadar selama dua hari. Bunda sedih... Itu semua buat Bunda sesak, Vin. Bunda ingin kamu sembuh. Kamu harus sembuh buat Bunda... Ya?" Ia meneteskan air matanya.

Tangan Devin perlahan bergerak untuk menggenggam tangan bundanya. Tidak sekalipun ia ingin lepas, takut ditinggalkan.

Dian yang sadar akan hal itu, kembali menggenggam tangan lemah putranya lebih erat. Seolah menenangkannya bahwa ia tidak akan pergi ke mana-mana untuk meninggalkannya lagi.

Tangan Dian yang lain, bergerak mengelus wajah putranya lembut, "Kalau ada sakit atau gimana-gimana, cepet bilang, ya? Biar nanti Bunda bisa panggilin dokter. Sekarang kamu udah mendingan, kan?"

Devin hanya mengangguk. Ia terdiam seraya menonton siaran di televisinya.

Hati Dian terasa sesak melihat putranya menjadi pendiam seperti ini. Devin yang sekarang, sangat jauh berbeda dari Devin kecil yang Dian pernah kenal dulu. Devinnya sudah tidak berulah lagi, tidak juga memperlihatkan senyuman lebar dan nakal seperti dulu. Kedua pupil mata putranya benar-benar menyiratkan luka parah dalam hatinya selama ini.

"Devin..." Dian melirih, "Kamu nggak mau ngomong sama Bunda?" Ia meneteskan air matanya.

Devin menoleh pelan ke arah Dian, "Bunda..." Napasnya tercekat, "Nyesel ya punya anak yang sakit mental kayak Devin?"

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang