the truth

1K 180 35
                                    

Jeno menggenggam tanganku erat. Sangat erat. Sedari tadi kami di mobil polisi sampai kami di ruang kantor polisi. Dari tadi Jeno gak banyak bicara. Malah nyaris gak ngomong
Bisa kurasakan kalau Jeno sangat takut. Nafasnya menggebu-gebu dan tatapan matanya risau. Sesekali aku mengelus punggung tangannya seolah mengatakan ‘jangan takut’





“ini” ujar salah satu polisi sambil memberi sebuah map hitam kepada Jeno


Jeno membuang nafasnya kasar sebelum memberanikan diri membuka map itu. Aku merenggangkan sedikit genggamannya, bahkan hampir melepasnya agar Jeno bisa leluasa membolak-balikan map itu. Tapi dia malah mengeratkannya kembali

“jangan di lepas, gue mohon. Gue takut” ujarnya

“tabrak lari dikarenakan pengemudi sedang mabuk saat itu. Jalanan sepi sehingga pelaku bisa pergi dengan aman dan itu membuat korban meninggal” ujar polisi itu yang membuat Jeno gagal membuka mapnya

“kasus ini tidak ditangani oleh polisi karena tidak ada laporan sama sekali. Tapi kami baru mendapat laporan bukti dua hari lalu. Bisa dibilang ini penyelidikan susulan. Pelaku juga terjerat kasus lain. Saat kasusnya sudah ditutup dan pelaku sudah dinyatakan bersalah, salah satu dari tim penyelidik kami menemukan kejanggalan pada suatu laporan dan membuatnya ingin mencari tau tentang ini. Ternyata pelaku melakukan penyogokan terhadap suatu kedai kecil yang CCTVnya menangkap kejadian itu. Memintanya untuk menghapus rekamannya. Pada saat kejadian, pemilik kedai sedang pergi keluar kota dan kebetulan esoknya ia pulang dan pelaku langsung mendatangi kedainya dan menyogoknya. Kemarin tim kami menghampiri kedai itu. Pemilik kedai mengakui ia disogok dan telah menghapus rekamannya” jelas polisi itu panjang lebar



Jeno makin mengeratkan genggamannya. Dia ketakutan

“untungnya, si pemilik kedai baru ingat kalau dia memasang lebih dari satu CCTV. Jadi kami memiliki bukti yang cukup kuat” ujar polisi itu—menenangkan





“Jangan bertele-tele Pak, cepet bilang siapa pelakunya” gertak Jeno
















“ah itu, putra dari pemilik perusahaan PARKTEX, Park Chanyeol”


















“APA?” ujar Jeno histeris sambil menepis tanganku kuat-kuat


Aku membulatkan mataku. Tenggorokkanku tercekat. Mataku berair
Apa mungkin? Kak Chanyeol?

Aku menutup mulutku. Air mataku turun sangat deras. Kulihat Jeno membalikkan halaman-halaman map kasar. Melihat bukti-bukti yang diberikan
Aku mendekat kearah map untuk melihat bukti yang diberikan. Aku gak masih gak percaya dengan ini semua

Dan kenyataannya memang seperti itu, gambar itu menunjukan kalau Kak Chanyeol keluar dari mobil sebelum meninggalkan Ayah Jeno.
Aku menangis terlebih lagi Jeno




“J-Jen” gugupku sambil memegang lengan Jeno


Lagi-lagi Jeno menepis tanganku kasar, “Jangan pegang gue” Lalu matanya menatapku jijik “Pembunuh!”

Ia mendorong tubuhku menjauh sebelum ia pergi dari ruangan. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku menangis hebat. Aku gak peduli polisi melihatku seperti apa


Kenapa? Kenapa harus kakak? Kenapa harus anggota keluargaku? Kenapa harus Jeno? Kenapa harus Ayah Jeno? Kenapa?







































Hujan turun lagi. Mengguyurku yang masih menggunakan seragam sekolah. Dan tebak, aku sedang berdiri di depan rumah Jeno. Berpikir berulang kali untuk diketuk pintunya atau jangan.
Aku menghela nafasku dan memilih mengetuk pintu rumahnya








TOK TOK TOK









Gak ada jawaban














TOK TOK TOK






Aku menggigit bibir bawahku. Aku takut








TOK TOK T—







“mau apa lagi” ujarnya dingin



Aku menatap matanya dalam. Dia gak baik baik aja. Rambutnya berantakan, bajunya berantakan, matanya sembap






Aku menundukan wajahku. Aku menangis lagi “g-gue minta maaf”



“gue gabutuh maaf dari lo atau dari kakak lo” lagi-lagi dingin “orang yang harusnya dapet permintaan maaf itu Ayah gue”





Aku memeluk Jeno dan membuat pakaiannya basah karena seragamku yang basah. Menangis sejadi-jadinya di pelukan Jeno. Tanpa kusangka, Jeno malah mendorongku kasar. Ia menutup matanya, seolah memikirkan sesuatu


“Pergi” ujarnya ketus






“J-Jen g-gue—”


Lagi-lagi ia mendorongku kasar. Kenapa Jeno menjadi sekasar ini?



“GUE BILANG PERGI YA PERGI!” bentaknya



“jangan berani-berani lagi muncul di hadapan gue”






BLAM




Pintu rumahnya tertutup kasar dan membuatku sedikit terjingkrak karena kaget






Perkiraanku benar, Jeno juga pergi. Ucapannya beberapa jam lalu seolah gak berarti. Air mata dan air hujan bercampur menjadi satu. Suara tangisanku terkalahkan dengan derasnya air hujan

Hebat sekali, permainan takdir. Dunia, apa kamu puas? Puas kalau sekarang aku menyerah? Puas melihatku menderita? Kamu senang melihat orang-orang yang aku sayang pergi?


Aku tersungkur di halaman rumah Jeno. Sekujur tubuhku basah kuyup. Baju seragamku kotor. Mengingat tentang semua kejadian yang terjadi satu minggu kebelakang membuatku tambah tersiksa. Aku benar-benar sendiri. Ayah dan Kak Chanyeol, Bunda dan Kak Rose, kemudian Renjun dan sekarang Jeno


Ayah Jeno meninggal karena perbuatan keji kakakku. Gak salah kalau Jeno bersikap seperti itu kepadaku. Siapa yang ingin berteman dengan adik dari pembunuh ayahnya?













Ayah Jeno, aku minta maaf

-

Selamat malam,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat malam,

Cuma mau bilang, makasih udah mau baca ceritaku. Ini di luar ekspektasi aku banget. Ini bener-bener pencapaian terbesarku selama berada di dunia perwattpadan

Terimakasih banyak, ngebaca komen-komenan kalian itu bener-bener ngebuat aku terharu

Jangan berubah ya? Hehe

Sayang kalian banyak-banyak ♡

Missing Puzzle Piece | Jeno Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang