Aku menatap nanar diriku di cermin rumah sakit. Penampilanku—sangat buruk. Perban di kepala, memar di wajah, beberapa goresan di leher dan di tangan, dan potongan rambut yang gak rata. Persis kayak orang gila
Ah—memang kenyataannya aku orang gila
Ini hari kedelapan aku dirawat di rumah sakit. Dan dua hari yang lalu, Dokter mengklaim kalau aku mengidap Post Traumatic Stress Disorder. Atau bisa dibilang gangguan stress karena trauma. Setelah kejadian dimana aku ketemu Ayah Jeno, aku terus-terusan bermimpi yang aneh-aneh. Seperti dibully Chaewon sampai meninggal, bangun di ruangan putih gak berujung, melihat diriku sendiri di rumah duka dan semua orang yang melayat terlihat bahagia saat aku meninggal, bahkan Jeno yang selalu mengejarku sambil membawa pisau dapur. Aku selalu terbangun dengan nafas terengah-engah dan mata yang basah oleh air mata. Jadi iya, aku gila
Tanpa kusadari, aku mulai menangis. Aku mengambil gunting yang berada di nakas kamar rumah sakit lalu menggunting rambutku. Memperbaiki karya yang Chaewon ciptakan di kepalaku. Ingatan-ingatan itu kembali, bagaimana sulitnya dua minggu kebelakang aku jalani. Disaat satu-satu orang perlahan pergi. Semuanya berantakan. Sekolahku, semuanya berantakan. Aku gak tau setelah ini aku harus pulang kemana dan kesiapa. Bahkan satu-satunya orang terdekatku pergi juga.
Aku menatap gunting yang kupegang lalu mengarahkan ke pergelangan tanganku dan menggores-goreskannya. Walaupun sakit tapi gak berdarah, tapi rasanya seluruh kekhawatiranku bisa kulampiaskan ke gunting kecil ini. Tangisanku semakin deras. Aku tertawa melihat diriku di cermin. Rasa sakit dan lega bercampur menjadi satu
“JOANNE, CUKUP!”
Aku menatap ujung kakiku masih dengan tangis sesegukan“jangan lakukan itu lagi, saya mohon” ujar Pak Sekretaris kepadaku
“kenapa? Bahkan saya gatau sekarang hidup untuk apa” ujarku kesal. Pak Sekretaris hanya menghembuskan nafasnya kasar lalu memperbaiki posisi duduknya
“you are loved, Joanne. Kamu gak boleh ngomong kayak gitu. Masih ada Bunda sama Kak Rose, mereka ada untuk kamu”
Aku berdecak kesal “bapak ngasih tau mereka kalau saya dirawat ?”Pak Sekretaris menunduk “maaf, tapi saya harus”
“kapan ngasih taunya?” tanyaku kesal
“dari hari kedua kamu dirawat” jawabnya
“terus mereka jawab apa?”Pak Sekretaris hanya menggeleng “chat saya hanya diread. Tapi Bunda kamu langsung transfer uang untuk biaya rumah sakit”
Aku menghela nafas kasar. Benar, ucapanku benar adanya. Sekarang aku benar-benar sendiri. Gak ada yang butuh dan gak ada yang menginginkan aku
“saya kesini sebenarnya mau ngabarin kalau besok pengadilan kakakmu. Saya kira kamu lebih baik istirahat di sini aja, biar saya yang wakilkan. Tidak ada yang tau kalau kamu di rumah sakit selain Bunda dan Kakak perempuanmu, jadi jangan kha—”
“gak, saya ikut ke pengadilan”
Ruang pengadilan bisa dibilang termasuk salah satu traumaku. Tempat ini selalu menjadi tempat dimana aku mendapatkan jawaban yang paling menyakitkan selama hidupku. Tapi kenapa takdir membawaku ke tempat ini lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Puzzle Piece | Jeno Lee ✔
Fanfiction❝rather than trying to have everything, it's more important to not lose a single thing, jo❞