Sri berjalan memimpin teman-temannya. Dika memilih tidak ikut bergabung dengan mereka. Saat mereka tiba, kelas IPA 3 terlihat sudah kosong tanpa ada seorang pun di dalam.Sri membalikkan badannya kemudian menatap Yessa dan Indra. "Kalian bilang sudah janjian dengan Jinda. Mana dia?"
Yessa buru-buru meraih gawainya kemudian menelepon Jinda. "Oke lo tunggu disana." Kata-kata itu mengakhiri percakapan telepon Yessa dan Jinda.
"Dia ada di IPA 1, sama beberapa anak OSIS katanya."
"Astaga, gue lupa bilang. Tadi Ardi sudah pamit mau ada rapat OSIS." Vista menepuk pelan dahinya.
"Lo kok disini, Ren?" Sri menatap Renzo penuh tanya.
"Gak ada hal yang lebih penting dari sahabat gue."
Leony terkejut mendengar pernyataan Renzo, Fras tersenyum bangga sedangkan Yessa dan Indra saling menatap satu sama lain.
"Gue suka gaya lo." Sri tersenyum ke arah Renzo.
Setelah rapat OSIS selesai, mereka menghampiri Jinda yang masih bersama dengan beberapa anak OSIS lainnya. Dengan ramah Fras berbincang dengan anak OSIS tersebut kemudian mengusir mereka secara halus.
Jinda sadar kalau saat ini ia dikelilingi oleh orang-orang yang siap menyerangnya kapanpun, namun bukannya panik ia justru tersenyum. "Ada acara apa nih kok kalian sampai harus menunggu gue selesai rapat?"
"Kita duduk aja kali ya? Pencegahan siapa tau gue bisa bertindak gegabah." Sri menyunggingkan senyum yang mengintimidasi.
Dengan cepat Atha, Yessa dan Indra langsung menarik beberapa kursi dan menyusun kursi-kursi tersebut hingga membentuk lingkaran tidak sempurna. Fras sibuk mengamati Renzo yang ia takutkan bisa meledak tiba-tiba. Setelah susunan kursi selesai Sri mempersilahakan mereka untuk duduk. Sri dan Jinda duduk berhadapan dan di kanan Sri duduk Leon, Yessa dan Indra sedangkan di bagian kiri ada Atha, Renzo dan Fras. Ardi tidak ikut bergabung dengan alasan ada kegiatan lain.
Sri memulai pembicaraan, "Gue gak biasa menyelesaikan masalah seperti ini dengan duduk bersama tapi karena kata Leon lo sahabatnya, gue mengubah cara penyelesaian masalah ini."
"Masalah apa ya? Gue gak merasa punya masalah." Jinda mengangkat bahunya malas.
"Lo..." Suara Renzo tertahan karena dengan sigap Fras meremas salah satu lengannya.
"Lo gak punya masalah, tapi lo menyebabkan masalah. Sekarang gue tanya, kenapa lo bawa bawa Leon dalam pertengkaran lo dengan Dika?"
Jinda tersenyum sinis. "Gue gak bawa-bawa nama Leon tuh, jangan terlalu pede deh."
Atha tidak bisa tinggal diam, ia mengangguk kemudian menatap Indra. Seperti mengerti kode yang diberikan Atha, Indra pun buka suara.
"Gue dan Yessa menyaksikan pertengkaran kalian. Lo bilang Kak Ros yang sudah mengadu ke Dika tentang perselingkuhan lo." Indra memelankan suaranya saat mengatakan dua kata terakhir.
"Ooh jadi yang kalian maksud gue menuduh Leon gitu. Buktinya apa?"
"Lo lebih baik minta maaf sekarang supaya masalah ini selesai bukannya malah memperkeruh suasana." Yessa bergerak menghampiri Jinda kemudian menatapnya serius.
"Buktinya apa? Seenaknya kalian datang buat menyudutkan gue. Gue korban disini, bukan Leon. Dia yang sudah rusak hubungan gue." Mata Jinda berkaca-kaca.
"Jinda, tolong. Lo bisa kehilangan kami kalau lo keras kepala. Akui kesalahan lo sekarang. Gue dan Indra lihat semuanya. Bukti apa lagi yang lo butuhkan?"
"Gue memang selalu jadi antagonis di hidup kalian." Air mata Jinda menetes tanpa permisi.
"Gue diam dari tadi bukan tanpa alasan. Yessa sebaiknya lo balik ke kursi lo." Sri menatap tajam ke arah Yessa yang sekarang berdiri memunggunginya.
"Semua orang yang ada di ruangan ini gue minta untuk bersumpah tidak akan membahas apapun yang akan kita dengar saat ini." Sri mengedarkan pandangannya ke seluruh orang yang ada di ruangan tersebut.
Anggukan dari mereka membuat Sri berdiri bergerak menuju Jinda. Langkah Sri sempat tertahan oleh Leon yang menduga akan terjadi hal yang tidak diinginkan, namun Sri tetap melanjutkan langkahnya.
"Gue tanya sama lo, apa salah Leon? Kalau lo korban itu artinya harus ada tokoh antagonisnya. Tokoh antagonis itu Leon kan? Sekarang lo kasih tahu apa salah Leon?"
Jinda menatap mata Leon yang duduk di depannya. "Dia selalu dapat apa yang gue mau. Dia ambil Yessa dan Indra yang awalnya sahabat gue, dia juga ambil Dika dengan alasan persahabatan, dan yang paling jahat adalah dia merebut orang yang gue suka."
"Dan orang itu Renzo." Fras ikut berdiri di tempatnya. "Lo terlalu konyol kalau menganggap Leony sudah mengambil semua yang lo punya dan apa yang lo mau. Lo membuat Leony menjadi tokoh antagonis karena keinginan lo sendiri. Lo menghakimi dia sepihak." Tidak ada emosi dalam nada suara Fras, yang ada hanya nada lembut yang menenangkan.
"Gue rasa lo cuma salah paham. Bukan Leony yang sudah merusak hubungan lo dengan Dika tapi lo sendiri yang menghancurkannya. Sekarang gue tanya, lo pacaran sama Tri?" Sri menatap mata Jinda dengan lembut.
Jinda meremas sisi roknya, tangannya bergetar dan kepalanya menunduk dalam.
"Jinda..." Setelah melihat Jinda menangis, tangan Sri bergerak menyentuh bahu Jinda.
Jinda menepis tangan Sri kemudian ia bangkit berdiri. Jinda mengambil tasnya yang tergeletak di salah satu meja kemudian ia melangkah ke arah pintu kelas.
Jinda sempat berhenti sebentar kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. "Gue mau pulang." Setelah mengucapkan kata-kata itu Jinda berjalan dengan cepat ke arah parkiran.
Melihat hal tersebut membuat Yessa bangkit dari duduknya, "Lo gak akan menyelesaikan masalah dengan lari. Gue sudah bilang lo bisa benar-benar kehilangan kami."
Sri melanjutkan, "Kalau lo tetap pilih keluar dari pintu itu, gue akan menganggap lo sudah memutuskan semua hubungan dengan orang-orang yang ada di ruangan ini."
Langkah Jinda seketika terhenti. Ia terlihat ragu untuk menolehkan kepalanya. Tangannya kembali meremas sisi roknya. Namun akhirnya ia tetap melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Terima kasih sudah membaca 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
LELUCHON ✓
Teen FictionLeony Adiandra Rose terjebak diantara orang orang yang memiliki kisah masa lalu yang rumit. Apakah waktu akan membantu hubungan Leony dengan orang orang itu atau justru waktu membuat segalanya menjadi lebih rumit?